kisah pilu PP, anak putus sekolah yang menjadi korban penyiksaan polisi, rekayasa bandar narkoba dan tidak didampingi penasihat hukum saat penyidikan.
Senin (13/11), lantai 7 Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat hening hampir tanpa suara. Hanya terdengar sayup-sayup suara seorang hakim bernama Hastopo. Siang itu duduklah seorang anak memakai rompi tahanan berwarna merah tertunduk bingung mendengar putusan pidana yang dibacakan terhadap perkaranya.
Dari raut wajah yang ditampilkannya, sama sekali tidak dapat dipahami apa yang sedang ia pikirkan. Anak yang berinisial PP itu hanya sesekali melihat ke arah penasehat hukumnya dan sambil menaikkan alisnya. Penasihat hukum PP berada tepat di meja sebelah kanan kursi pesakitan yang didudukinya. Penasehat hukum PP lantas memanggilnya kemudian menjelaskan putusan hakim.
“Hakim telah memvonis kamu dengan Pasal 114 ayat 2 UU 39 tahun 2009 tentang Narkotika (UU Narkotika), kamu dihukum 3 tahun penjara dan 3 bulan kerja sosial, apakah kamu sudah mengerti?” Jelas Shaleh Al Ghiffari penasihat hukum PP dari LBH Jakarta.
Menit-menit berlalu, anak yang harus putus sekolah di kelas 1 SMA itu masih tidak berkata-kata hingga akhirnya dia melihat ke arah belakang ruang sidang. Di deretan awal bangku penonton, duduk seorang Ibu paruh baya yang langsung menengok dan menengadah seolah menanyakan apakah ada sesuatu yang harus ia lakukan.
Penasihat hukum PP pun memanggil ibunda PP untuk mendekat. Penasihat hukum PP mengulangi penjelasan vonis hakim kepada ibunda PP.
“Oh 3 tahun ya? Iya saya sudah mengerti,” katanya lirih.
Mendengar jawaban demikian, Penasihat hukum PP kembali melanjutkan penjelasan kepada PP apakah ia akan mengajukan banding atau tidak.
bahwa PP sebagai anak yang berkonflik dengan hukum dan sudah dijatuhi hukuman oleh pengadilan tingkat I (pengadilan negeri) berhak untuk keberatan dengan putusan tersebut dan dapat mengajukan banding.
“Jadi bagaiamana? Menerima putusan atau banding? Atau pikir-pikir dahulu? Kamu punya waktu 7 hari untuk memutuskan,” tanya hakim tunggal anak Hastopo memotong diskusi kecil PP dengan penasihat hukumnya.
Keheningan ruang sidang anak itu pun pecah. Sambil meminta waktu sedikit lagi untuk memberikan jawaban, penasihat hukum PP menanyakan menekankan pertanyaan yang sama lagi kepada PP dan keluarganya.
Menurut penasihat hukum PP, jika saja keberatan soal adanya penyiksaan dan tidak adanya kuasa hukum saat penyidikan diterima hakim, PP kemungkinan besar bisa bebas. Penasihat hukum PP juga menyatakan bahwa penerapan Pasal 114 ayat 2 UU Narkotika tidak cocok untuk PP. Hal tersebut didasarkan pada argumen bahwa PP tidak mengetahui barang bukti seberat 100 gram. Barang bukti tersebut juga dititipi oleh RC.
“Kita ada dasar untuk banding,” kata Shaleh al Ghiffari kepada PP.
Tingkah laku PP diselimuti kegusaran, dengan penuh kebingungan dan ragu-ragu. Kepada penasihat hukumnya PP mengutarakan kekhawatirannya perihal pengajuan banding. PP khawatir jika ia mengajukan banding, hukumannya akan dinaikan.
Bagi orang dewasa, menjalani hukuman di dalam penjara merupakan fase hidup berat yang harus mereka jalani, apalagi bagi seorang anak. PP mengaku tidak tahan menjalani hidupnya di dalam penjara. Seperti kebanyakan anak-anak pada umumnya, PP merindukan untuk dapat kembali pada keluarganya, dan berharap dapat segera melanjutkan sekolahnya.
Pada akhirnya, penasihat hukum PP memutuskan untuk pikir-pikir terlebih dahulu. Pernyataan tersebut dilontarkan setelah penasihat hukum meminta PP dan keluarganya (ibunda PP) untuk memikirkan dengan matang rencana banding atau tidaknya. Menurut penasihat hukum, PP dan keluarganya akan butuh waktu untuk memikirkan kemungkinan-kemungkinan dan resiko yang akan diterima.
Disiksa dan Tidak Didampingi Saat Penyidikan
Kebingugan PP bukan tanpa alasan. Tepat tanggal 21 September yang lalu ia ditangkap saat sedang tertidur di rumah temannya di daerah Kampung Rawa, Johar Baru, Jakarta Pusat. PP dibangunkan paksa dengan ditendang dan ditampar oleh 5 orang polisi berpakaian preman yang kemudian diketahui berasal dari unit narkoba Polsek Tanah Abang. Saat itu juga dia dipaksa mengaku memiliki 1 paket shabu seberat seratus gram yang ada di bawah kasur tempat ia tidur. PP dan tiga orang temannya di sana kemudian dibawa ke Polsek Tanah Abang untuk diperiksa sebagai tersangka.
Episode kekerasan terhadap PP tidak berhenti saat penangkapan, sesampainya di Polsek Tanah Abang, PP kemudian disekap di dalam ruangan interogasi yang berada di lantai 3. Dua orang polisi yang mengaku penyidik kemudian mencecar PP dengan pertanyaan-pertanyaan memaksa. PP dipaksa mengaku bahwa ia adalah pengedar dan telah melakukan transaksi shabu seberat 100 gram. PP sudah menjawab dengan sebenarnya bahwa ia hanya dititip oleh seseorang bernama RC, dia tidak pernah tahu bahwa itu adalah shabu seberat 100 gram. PP mengatakan bahwa penyidik tersebut tidak puas dengan jawaban-jawaban yang saat itu ia berikan lalu menyiksa PP sedemikian rupa.
4 Oktober 2017, LBH Jakarta menerima pengaduan dari ibunda PP, HY. Tahun ini merupakan tahun terberat dalah hidup HY. Pada awal tahun, ia baru saja kehilangan suaminya, dan diakhir tahun, ia mendapati anaknya ditangkap polisi.
Kepada LBH Jakarta, HY mengadukan anaknya yang telah ditangkap. Ia juga tidak dapat menemui anaknya yang ditahan oleh Polsek Tanah Abang. Setelah LBH Jakarta memutuskan untuk menangani kasus PP, pada 10 Oktober 2017, LBH Jakarta langsung mendatangi Polsek Tanah Abang. LBH Jakarta meminta PP dikeluarkan dari tahanan polisi karena sudah lewat dari maksimal 15 hari penahanan anak yang diatur UU Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA).
PP menceritakan perihal pengalaman pahitnya selama berada di Polsek Tanah Abang kepada para penasihat hukumnya dari LBH Jakarta. Menurut cerita PP, setelah dirinya ditangkap sejak sekitar pukul 01.00 sampai pukul 05.00 pagi dirinya mengalami penyiksaan.
“Seorang penyidik memaksa saya untuk mengaku bahwa barang tersebut milik saya yang telah saya beli dan akan diedarkan. Saya dipukul, ditampar, dan ditendang. Bahkan, saya sempat mendengar suara senjata api yang ditembakkan mengarah persis disamping telinga saya. Suaranya sangat keras dan memekakkan telinga. Telinga saya sampai mengeluarkan cairan. Bukan hanya itu saya juga diterror dengan letusan-letusan petasan, jumlahnya sebanyak 2 bundel. Kepala dan tulang kering saya juga dipukul menggunaan kunci inggris oleh Penyidik tersebut,” cerita PP mengenang penyiksaan yang ia alami.
Selain mengalami penyiksaan, dan ditahan melewati batas penahanan anak, PP juga tidak didampingi penasiha hukum, orang tua dan Pembina Kemasyarakatan (Bapas) saat diperiksa. Dalam UU SPPA hal tersebut merupakan prasyarat wajib dalam pemeriksaan dugaan pidana yang dilakukan oleh anak.
“Ibu saya tidak datang karena tidak tahu, penasihat hukum yang ditunjuk polisi dan orang Bapas pun baru datang setelah saya di BAP malam itu,” tambah PP.
Penyiksaan, dalam kondisi keadaan apapun dilarang oleh hukum. Bahkan, UUD 1945 Pasal 28 I dengan tegas menyatakan, “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa,… adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.”
Secara khusus, Indonesia telah meratifikasi Konvensi Internasional Menentang Penyiksaan melalui UU No.5 tahun 1998. Siapapun, termasuk aparat hukum dilarang keras melakukan tindakan-tindakan menyiksa. Dengan dasar tersebut, penasihat hukum PP sudah melaporkan dugaan penyiksaan terhadap PP ke Bidang Profesi dan Pengamanan Polda Metro Jaya.
“Selain melaporkan penyiksaan, kami juga melaporkan terkait adanya dugaan Pelanggaran Disiplin Profesi terkait pemalsuan tanda tangan ibunda PP di surat kuasa dan BAP PP,” kata Shaleh Al Ghiffari salah satu penasihat hukum PP dari LBH Jakarta.
Penasihat hukum mengaku baru mengetahui hal tersebut setelah melihat ada kejanggalan pada BAP PP. Dalam BAP PP terdapat tanda tangan surat kuasa ke penasihat hukum yang tidak hadir dalam pemeriksaan PP. Dalam BAP tersebut juga terdapat tanda tangan ibunda PP yang juga tidak mendampingi PP saat PP diperiksa.