Rekayasa kasus maupun salah tangkap sudah sangat sering terjadi dalam peradilan Indonesia. Pada umumnya korban ketidakadilan tersebut berasal dari kalangan miskin, buta hukum, dan termarjinalkan. Ziman alias Oten, seorang supir angkot yang merupakan tulang punggung keluarga untuk menghidupi isteri dan seorang anaknya, menjadi salah satu korban rekayasa kasus. Ia dituduh sebagai pelaku pencabulan terhadap bayi AA (9 Bulan) dan sekarang menjadi terdakwa.
Sekitar Maret 2014, orang tua bayi AA mendatangi LBH Jakarta dan meminta agar Ziman segera didampingi dan diberikan bantuan hukum. Kedatangannya membuat LBH Jakarta bingung, sebab baru kali ini orang tua korban datang dan meminta agar si terdakwa dibela oleh Penasehat hukum. Berangkat dari hal ini, kemudian LBH Jakarta melakukan penulusuran mendalam terhadap saksi-saksi maupun berkas-berkas kepolisian. Hasil penelusuran tersebut menerangkan bahwa kasus ini sesungguhnya telah direkayasa, dan ziman adalah korban rekayasa kasus tersebut. Tidak ada dasar hukum maupun alat bukti yang menerangkan bahwa Ziman terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana pencabulan ataupun persetubuhan terhadap bayi AA. Selain itu beberapa saksi maupun orang tua yang melihat kondisi vagina maupun anus AA tidak ada masalah sama seklai, sehingga LBH Jakarta pun siap menjadi kuasa hukum Ziman dalam persidangan.
Selama persidangan, LBH Jakarta mencatat adanya banyak keganjilan dalam kasus ini, diantaranya: (1) Semua saksi yang dihadirkan oleh Penuntut Umum tidak pernah tahu ataupun melihat kalau Terdakwa mencabuli/setubuhi AA, bahkan satupun tidak ada saksi yang pernah melihat Ziman sedang berdua atau menggendong bayi AA tanpa ada orang tua nya; (2) Yang melaporkan tindak pidana ini bukanlah orang tua korban, namun penyidik yang menangani kasus ini, padahal pelapor haruslah orang yang tahu mengenai tindak pidana tersebut, dan penyidik sebagai polisi tidak mengetahuinya; (3) Bukti visum dan rekam medis yang berubah dan berbeda-beda mediskripsikan luka/lecet pada anus maupun vagina AA; (4) Tidak dilakukan tes mikrobiologi untuk membuktikan apakah bakteri pada AA identik dengan terdakwa, tes yang dilakukan hanya tes untuk mendiagnosa apakah terdapat bakteri pada AA dan terdakwa, namun belum tentu identik; (5) Berdasarkan hasil otopsi, penyebab kematian AA bukan karena kekerasan seksual, tapi adanya benda tumpul yang masuk kedalam mulut AA sehingga itu menekan pernepasannya dan menyebabkannya mati lemas; (6) Tes polygraph dilakukan tidak sesuai dengan prosedur karena tidak ada persetujuan dari terdakwa maupun pemberitahuan kepada Kuasa Hukum, dan pada saat itu kondisi Ziman dalam keadaan emosi yang tidak stabil, dalam keadaan tertekan ketika melewati tes kebohongan.
Penuntut umum selama persidangan bukan membuktikan adanya fakta hukum namun hanya membuktikan asumsi-asumsi. diantaranya: (1) Karena Isteri Ziman menjaga AA sekitar ½ Jam di rumah AA, maka JPU mengasumsikan kalau Ziman pelakunya; (2) Karena Ziman supir angkot yang tidak memiliki jam kerja yang ketat, JPU asumsikan Ziman Pelakunya; (3) Karena Ziman pernah sekali pulang disiang hari untuk ambil kunci mobil, JPU asumsikan Ziman pelakunya; (4) karena Ziman pernah “jajan” ke PSK, JPU asumsikan Ziman pelakunya; (5) Karena ziman perna gendong bayi AA didepan orang tuanya, JPU asumsikan Ziman pelakunya; (6)Karena Ziman memiliki nama bakteri yang sama tapi tidak identik dengan AA, JPU asumsikan bakteri itu tertular dari Ziman; (7) Karena pada anus dan vagina AA ada kemerahan dan luka, JPU asumsikan kalau luka atau kemerahan itu karena Ziman pelakunya. Apakah Majelis Hakim akan memenjarakan Ziman berdarkan semua asumsi dan keganjilan tersebut?. Mari kita saksikan sidang putusannya, semoga keadilan masih tetap hadir bagi dia yang miskin ini, dan Hakim yang Mulia selaku perwakilan Tuhan di Bumi dapat memutus berdasarkan hukum, keadilan dan hati nurani yang murni, abaikan intervensi pada kebebasan hakim.