Dalam 5 tahun terakhir, LBH Jakarta menerima pengaduan kebebasan berserikat yang terjadi secara sistematis. Dikatakan sistematis karena pelanggaran dilakukan dengan pola yang serupa, aktor serupa, motif dan dampak yang serupa.
Terhadap pelanggaran kebebasan berserikat ini, pemerintah bersikap pasif dan sengaja membiarkan hal tersebut terjadi. Bahkan dalam sejumlah kasus pemerintah turut menjadi pelaku aktif pelanggaran.
Pada tahun 2011 saja, LBH Jakarta menerima pengaduan 11 kasus pemberangusan serikat buruh (Union Busting). Para Aktivis serikat buruh yang menuntut perbaikan hak normatif dan keleluasaan berserikat di kriminalisasi, dihalang-halangi dengan cara PHK, skorsing dan mutasi, kantor mereka ditutup oleh perusahaan. Kriminalisasi serikat buruh dialami oleh SP. PT. Carrefour, SP PT. Asietex, Serikat Pekerja PT. PLN, Serikat Pekerja PT. Dok dan Koja Bahari, Buruh PT. Indofood Sukses Makmur. Sementara itu pengawas ketenagakerjaan, dan Kepolisian justru melindungi pengusaha yang melakukan kejahatan anti serikat dengan tidak memproses laporan-laporan pidana dari pihak serikat Buruh yang direpresi. Laporan pidana oleh buruh PT. Dian Matra Jalasindo Transportama, Buruh PT. Daya Cipta Komasindo, Serikat Pekerja British International School, Serikat Pekerja PLN, Serikat Pekerja Bank Swadesi dan Serikat Pekerja PT. Dok dan koja Bahari digantung tanpa kejelasan dari pihak kepolisian. Dampak dari dibiarkannya kasus-kasus kejahatan anti serikat adalah semakin terlanggarnya hak-hak normatif yang lain yang di derita semua buruh dan karyawan di perusahaan-perusahaan tersebut.
1. Mengapa kebebasan berserikat?
Sedikit masyarakat dan pembuat kebijakan yang menyadari pentingnya kebebasan berserikat. Problem kebebasan berserikat dianggap tidak sepenting problem upah, jaminan social dan outsourcing, dsb. Padahal serikat adalah alat untuk buruh memperjuangkan hal-hal tersebut. Sebab hak-hak buruh tidak pernah diberikan begitu saja oleh pengusaha, tanpa adanya desakan secara kolektif dari buruh
Secara umum tujuan serikat buruh mencakup 2 hal yaitu yang bersifat utilitarian (praktis) dan bersifat normatif dengan adanya tujuan moril. Tujuan utilitarian artinya bahwa serikat buruh ada untuk mencapai menfaat tertentu bagi anggotanya seperti kenaikan upah, jaminan sosial, pembatasan jam kerja, dan lain-lain. Sedangkan tujuan normatif/moril adalah terciptanya rasa kebersamaan dan kolektivitas antara buruh.
Di sejumlah negara yang memiliki serikat buruh yang kuat, negara dan pengusaha tidak dapat sewenang-wenang melanggar hak-hak pekerja. Kesejahteraan buruh relatif membaik dengan adanya kenaikan periodik upah minimum, adanya jaminan sosial, jaminan kerja dengan sulitnya proses PHK, meningkatnya subsidi pemerintah atas layanan dasar dan barang-barang kebutuhan pokok. Oleh karena itu, pengusaha merasa sangat berkepentingan untuk mengontrol buruh untuk menjaga “kepentingan nasional”, yaitu biaya produksi yang murah dan menciptakan suasana yang kondusif (baca: bebas dari mogok dan demonstrasi). Oleh karena itu di masa pemerintahan Soeharto, keberadaan serikat buruh dianggap sebagai ancaman. Mereka yang bergabung dengan serikat buruh dituduh komunis, membangkang terhadap negaran, subversif. Hal ini karena kebijakan pemerintah yang berorientasi pada pembangunan dan mengabaikan persoalan hak asasi manusia.
Serikat pekerja merupakan alat penting bagi buruh untuk melindungi dirinya. Dengan kebebasan berserikat buruh mampu bernegosiasi dengan pengusaha dan membuat aturan perburuhan berjalan. Hal-hal yang dilakukan oleh serikat buruh berkaitan langsung dengan kepentingan buruh. Yaitu mewakili buruh anggota yang mengalami permasalahan di perusahaan.
2. Pola Pelanggaran Kebebasan Berserikat
Pelanggaran kebebasan berserikat terjadi secara sistematis dan meluas. Sistematis karena menggunakan metode dan dengan tujuan yang serupa. Meluas karena menimpa serikat buruh di berbagai sektor, skala perusahaan, dan tipe serikat.
2.2. Bentuk Pelanggaran
Pelanggaran kebebasan berserikat dilakukan bukan hanya dengan menghalang-halangi pendirian serikat pekerja,[2] tetapi juga menghalangi serikat pekerja yang ada menjalankan perannya[3] bahkan dengan motif untuk memusnahkan serikat pekerja. Penghalangannya pun dilakukan dengan menggunakan ketentuan hukum seperti mempidanakan pengurus,[4] menggunakan pasal dalam peraturan perusahaan, maupun dengan cara non hukum bahkan cara yang melawan hukum seperti intimidasi menggunakan preman,[5] mengadu domba serikat pekerja[6] hingga PHK sepihak.[7]
Bentuk Pelanggaran Kebebasan Berserikat dalam Lima Tahun Terakhir
Tahun | Bentuk Pelanggaran |
2009 |
|
2010 |
|
2011 |
|
2.2. Kelompok Target
Pelanggaran juga dilakukan terhadap serikat buruh di dalam perusahaan maupun serikat pekerja di luar perusahaan, terhadap serikat pekerja dengan keanggotaan yang sedikit maupun keanggotaan banyak. Terhadap serikat pekerja tingkat pabrik maupun serikat buruh yang berafiliasi dengan serikat buruh di tingkat nasional bahkan internasional. Terjadinya pun di perusahaan dengan produksi skala besar,[8] menengah maupun kecil. Bahkan dalam perusahaan BUMN, pelanggaran lebih terkomando karena melibatkan manajemen pusat yang merupakan pejabat negara.[9]
Ancaman pelangaraan kebebasan berserikat terjadi secara sistematis dengan eskalasi yang meningkat. Ancaman tersebut menimpa serikat pekerja manapun, di manapun dan jenis apapun, tanpa pandang bulu. Hal ini menunjukan adanya resistensi pengusaha dan pemerintah yang luar biasa terhadap keberadaan serikat pekerja. Keberadaan serikat pekerja lebih dianggap sebagai ancaman bagi pengusaha dan pemerintah daripada sebagai sebuah perwujudan demokrasi.
2.3. Buruh dan Keluarga sebagai Korban Utama
Korban utama dalam pelanggaran hak kebebasan berserikat para buruh dan keluarganya yang turut menanggung dampak, karena kebebasan berserikat dilanggar dengan cara pengurangan upah, pemutusan hubungan kerja ataupun kriminalisasi. Berdasarkan sebelas kasus yang ditangami LBH Jakarta mengenai pelanggaran hak kebebasan berserikat pada tahun 2011 ditemukan union busting dilakukan dengan cara PHK, mutasi, skorsing, tidak ada pengakuan terhadap serikat pekerja, hal ini dialami oleh SP. Bank Swadesi, SP British International School, SP Perusahaan Listrik Negara, SP PT Dok dan Perkapalan Koja Bahari , PTP Progresip PT Daya Cipta Kemasindo, SP. Carrefour Indonesia, dan SP. Londre Indonesia. Sedangkan union busting dengan cara kriminalisasi dilakukan terhadap pengurus serikat pekerja sebagaimana dialami oleh Serikat Pekerja di PT. Asietex, SP PT Dok dan Perkapalan Koja Bahari, Pekerja PT. Mayora Cibitung Bekasi, Daryoko ketua umum SP Perusahaan Listrik Negara. Dengan terjadinya pelanggaran hak kebebasan berserikat tersebut maka telah terjadi pelanggaran HAM berganda yang menyebabkan terlanggarnya hak atas kehidupan yang layak, hak atas pendidikan bagi anak-anak para pekerja/buruh, sehingga rantai kemiskinan yang selama ini menjerat oleh kaum buruh akan semakin panjang demi untuk sebuah nama pembangunan dan investasi yang membutuhkan suasana kondusif, dan di maknai tanpa adanya kritik dari serikat buruh.
2.4. Eskalasi yang Meningkat
Jumlah kasus pelanggaran kebebasan berserikat dalam 5 tahun terakhir relative meningkat. Kecuali pada tahun 2008 terjadi penurunan kasus dibandingkan tahun 2007. Namun setelah kasus meningkat terus secara konsisten. Peningkatan disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, buruh semakin sadar mengenai pentingnya berserikat, sehingga semakin banyak geliat untuk membentuk ataupun membangkitkan kembali serikat buruh di sejumlah perusahaan. Kedua, peningkatan kesadaran tersebut direspon secara negatif oleh pengusaha dengan membatasi pengaruh serikat buruh dalam perusahaan. Ketiga, buruh semakin sadar bahwa tindakan pengusaha melanggaran hukum sehingga buruh mencari cara agar pengusaha pelaku pelanggaran diproses hukum.
No | Tahun | Jumlah Kasus |
1 | 2007 | 8 |
2 | 2008 | 2 |
3 | 2009 | 6 |
4 | 2010 | 7 |
5 | 2011 | 11 |
Sumber: Data Litbang LBH Jakarta
3. Jaminan tanpa Penegakan
3.1. Paradox dalam Penegakan Hukum
Indonesia telah meratifikasi sejumlah instrument HAM terkait dengan jaminan kebebasan berserikat, termasuk Konvensi ILO No. 98, Konvensi ILO No. 187, Kovenan Internasional Hak Ekosob. Bahkan UUD 1945 amandemen ke-4 mencantumkan kebebasan berserikat sebagai HAM, juga UU No. 39 Tahun 1999. Hal tersebut menunjukan bahwa di Indonesia secara normative, kebebasan berserikat diakui sebagai hak asasi manusia dan hak konstitusional yang dijamin negara. Namun pengakuan tersebut tidak konsisten dengan prakteknya. Di tengah banyaknya instrument yang menjamin, negara terus membiarkan terjadinya pelanggaran kebebasan berserikat bahkan turut melakukan pelanggaran tersebut. Bentuk pelanggaranpun semakin komplek yang melibatkan bukan hanya pengusaha atau pemerintah saja, melainkan juga kelompok preman dan sesame serikat buruh melalui adu domba.
3.2. Mogok Pekerja dibalas Laporan Pidana
Mogok merupakan upaya terakhir buruh setelah berusaha berunding dengan pengusaha namun tidak menghasilkan kesepakatan. Bagi buruh, melakukan mogok bukanlah hal yang mudah, karena selain membutuhkan persiapan yang matang dan menghabiskan banyak daya, buruh juga harus berhitung mengenai efektifitas mogok. Sejak adanya hukum perburuhan, mogok telah diakui sebagai hak buruh, manifestasi kolektivitas buruh dalam bernegosiasi dengan pengusaha untuk kepentingannya. Sebab buruh, secara individual, selalu lebih lemah daripada pengusaha dan karenanya tidak dapat bernegosiasi dalam posisi setara tanpa adanya tindakan kolektif. Jika pengusaha memiliki sederet wewenang dan instrumen untuk memaksa buruh memenuhi keinginannya, buruh hanya memiliki mogok sebagai alat untuk memaksa pengusaha memenuhi keinginan/kepentingan buruh. Bahkan dalam banyak kasus, mogok dilakukan bukan hanya untuk mengubah kondisi di dalam perusahaan, melainkan untuk mempengaruhi kebijakan. [10]
Sayangnya, meskipun hak mogok dijamin di Indonesia, namun mogok masih dianggap sebagai sebuah tindakan bertentangan dengan hukum, yang kerap disamakan dengan makar atau menganggu kepentingan umum. Sejumlah tindakan mogok dibalas dengan laporan pidana, yang sayangnya diterima dan diproses oleh aparat kepolisian.[11]
Hal ini dikarenakan kebanyakan pengusaha yang memandang negatif atas keberadaan serikat pekerja di perusahaan, pengusaha kuatir jika serikat pekerja akan menjadi kuat sehingga pengusaha tidak dapat lagi melakukan tindakan semena-mena kepada pekerja seperti pekerja melakukan lembur tidak dibayar pengusaha sesuai dengan UU Ketenagakerjaan yang berlaku.
3.3. Ketika Negara menjadi Pelaku Pelanggaran
Kepolisian dan pengawas ketenagakerjaan mengambil peran dalam menyuburkan dan melestarikan pelanggaran hak kebebasan berserikat, dengan cara; pertama berbuat (by commision) dengan melakukan kriminalisasi terhadap aktivis serikat pekerja/buruh yang kritis dalam memperjuangkan hak-haknya dengan melakukan kriminalisasi tindak pidana pencemaran nama baik dan perbuatan tidak menyenangkan oleh pihak kepolisian, kedua tidak berbuat (by ommision) dengan berbagai modus operandi yakni dengan melakukan penolakan atas laporan/pengaduan serikat pekerja/buruh kepada pihak kepolisian atau pengawas ketenagakerjaan, lamban dalam menangani pengaduan serta tidak ada niat dari kepolisian dan pengawas ketenagakerjaan untuk membongkar kejahatan pemberangusan serikat yang dilaporkan oleh serikat pekerja/buruh. Sehingga laporan/pengaduan serikat pekerja atas pelanggaran hak kebebasan berserikat berhenti dimeja kepolisian atau di pengawasan ketenagakerjaan.
Negara dalam hal ini kepolisian RI dan pengawas ketenagakerjaan tidak berbuat apa-apa atas semakin markanya pelanggaran hak kebebasan berserikat bahkan khususnya Kepolisian dengan aktif melakukan kriminalisasi terhadap aktivis serikat pekerja/buruh. Sebaliknya sejumlah laporan buruh terkait pelanggaran kebebasan berserikat tidak diproses aparat penegak hukum.[12] Hal ini semakin melemahkan serikat pekerja.
4. Simpulan dan Rekomendasi
Berdasarkan uraian di atas, maka terlihat bahwa pelanggaran kebebasan berserikat erat kaitannya dengan lemahnya penegakan hukum, menguatnya kekuasaan penguasa terhadap buruh dan negara, meningkatnya pelanggaran hak-hak buruh. Buruh yang dilanggaran hak-hanya terjebak dalam lingkaran ketidakpastian dan ketidakberdayaan hukum untuk menindak pengusaha pelaku pelanggaran. Ketika buruh menempuh cara-cara non legal formal melalui serikat pekerja, buruh berada di bawah ancaman penggembosan serikat pekerja tanpa ada perlindungan negara. Penyelesaian persoalan perburuhan diserahkan begitu saja kepada tarik menarik kepentingan buruh dan pengusaha, tanpa adanya peran aktif negara. Bahkan negara justru semakin memperlemah buruh dengan turun melakukan pelanggaran kebebasan berserikat. Akibatnya buruh berada dalam kondisi kerja yang buruk, dengan masalah upah rendah, jam kerja berlebihan, tidak adanya jaminan kesehatan dan keselamatan kerja, ketidakpastian hubungan kerja, dan PHK.
Untuk itu, dalam peringatan hari buruh internasional (Mayday) 2012), kami memandang pentingnya memprioritaskan persoalan kebebasan berserikat sebagai salah satu solusi strategis untuk memperbaiki kesejahteraan buruh. Perlu ada tindakan dan perubahan segera untuk menegakan kebebasan berserikat agar buruh dapat dengan leluasa memperjuangkan hak dan kepentingannya. Tindakan dan perubahan tersebut harus dilakukan di tingkat kelembagaan negara dan penegakan hukum, yang merupakan porsi terbesar dari pemerintah, dengan rincian sebagai berikut:
- Kepada Negara khususnya Aparat Penegak hukum (Kepolisian Republik Indonesia, Kejaksaan Agung, dan Mahkamah Agung) untuk membentuk unit khusus mengenai tindak pidana perburuhan dan anti serikat pekerja, dan melakukan pelatihan khusus kepada aparat penegak hukum dalam membongkar kejahatan mengenai tindak pidana perburuhan dan anti serikat pekerja;
- Kepada Negara khususnya kepada Menteri Tenaga Kerja untuk membuat aturan Internal di Kementerian Tenaga Kerja yang bertujuan untuk membuat batasan waktu dan membangun transparansi dalam menangani pengaduan tindak pidana dibidang perburuhan serta membangun mekanisme komplain untuk penjatuhan sanksi apabila pengawas ketenagakerjaan tidak melakukan tugas dan fungsinya dengan baik.
- Kepada Serikat Buruh dan Masyarakat Sipil, perlu untuk melakukan tindakan hukum untuk meminta pertanggungjawaban negara karena tidak berbuat sesuatu dalam kapasitasnya (by omission) untuk menjamin dan memastikan terwujudnya bagi buruh/pekerja secara bebas dalam menjalankan tugas dan fungsi serikatnya melalui gugatan secara kolektif (mekanisme citizen law suite, class action, legal standing), mengajukan gugatan hak uji materiil kepada Mahkamah Konstitusi, melakukan eksekutif dan legislatif review untuk harmonisasi terhadap tiga paket hukum perburuhan dalam kerangka memperkuat dan mewujudkan kebebasan berserikat .
Demikian kertas posisi ini kami buat untuk kepentingan buruh dan masukan bagi para pembuat kebijakan dan aparat penegak hukum.
Jakarta, 1 Mei 2012
LEMBAGA BANTUAN HUKUM JAKARTA
CP: Restaria Hutabarat (0856 956 30844)/Pratiwi Febry (0813 874 00670).
[1] Disusun oleh Restaria Hutabarat (Litbang LBH Jakarta)
[2] Cemi, dkk membentuk SP di tingkatan pabrik dan melakukan penuntutan beberapa hak kepada pengusaha dituangkan dalam sebuah pamflet. Pihak pengusaha melaporkan pengurus SP/SB ke kepolisian dengan tuduhan perbuatan tidak menyenangkan
[3] SP BIS sedang melakukan pembelaan terhadap 2 orang pekerja yang di-PHK tanpa memperoleh pesangon dan kepada pekerja kontrak selama bertahun-tahun tanpa ada kepastian untuk menjadi pekerja tetap bahkan tidak diikutsertakan dalam program jaminan social tenaga kerja, akan tetapi pihak manajemen YBIS melakukan PHK sepihak terhadap Ketua dan Sekertaris SP BIS kemudian para pekerja melakukan mogok kerja, tindakan mogok dibalas oleh pihak perusahaan dengan melakukan pemotongan upah, pada bulan Mei serikat pekerja melaporkan tindakan management tersebut ke Polda Metro Jaya dan ke pengawasan ketenagakerjaan.
[4] G adalah Ketua Serikat di Dok & Kodja Bahari (DKB) Group. PT. DKB adalah BUMN. K juga adalah Direktur Utama PT. Kodja Terramarin (anak perusahaan PT. DKB). Berulang kali G sebagai pimpinan Serikat Pekerja mengkritisi kebijakan manajemen, akibatnya G dimutasi menjadi staff ahli Dirut PT. DKB, kemudian Selain itu G juga dilaporkan Dirut DKB ke Polda dengan tuduhan 310, 311, 335 KUHP dan kemudian ditetapkan sebagai tersangka. Hingga tulisan ini dibuat, G telah meninggal dunia dengan status tersangka yang melekat dengannya.
[5] Pada Kasus PT. Hand Sum Tex, pengusaha menggunakan preman untuk melakukan penganiayaan terhadap buruh.
[6] Pihak Manajemen PT. PLN mengintervensi masalah internal serikat pekerja, dengan hanya menangakui kepemimpinan Riyo Supriyanto dan menyangkal Kepemimpinan Ahmad Daryoko. Bahkan pihak manajemen menyingkirkan pengurus dan anggota Serikat Pekerja yang dipimpin oleh Ahmad Daryoko melalui mutasi dan PHK sepihak. tidak sah.
[7] Pada tahun 2009 buruh PT Lemonde menuntut hak normatif buruh tidak terpenuhi (Upah sesuai UMK, cuti buruh diberikan, dan serikat diberikan sekretariat oleh perusahaan ) , serikat buruh melakukan mogok kerja dan dibalas mengenakan Surat Peringatan ketiga dan dengan lock out dengan perusahaan. Beberapa pengurus akhirnya di PHK secara sepihak.
[8] Pada tahun 2011 Buruh PT Carrefour Indonesia melakukan mogok kerja terkait dengan perundingan PKB yang mengalami deadlock. Sebelum melakukan mogok kerja, buruh memakai pita hitam di lengan sebagai bentuk tindakan pra kondisi mogok. Akibat memakai pita hitam dan mogok kerja yang dilakukan sekitar 300 orang diberikan sanksi SP1, SP 2, SP 3 sampai dengan skorsing yang diberikan berbeda-beda untuk setiap
Pada tahun 2011 Buruh PT Carrefour Indonesia melakukan mogok kerja terkait dengan perundingan PKB yang mengalami deadlock. Sebelum melakukan mogok kerja, buruh memakai pita hitam di lengan sebagai bentuk tindakan pra kondisi mogok. Akibat memakai pita hitam dan mogok kerja yang dilakukan sekitar 300 orang diberikan sanksi SP1, SP 2, SP 3 sampai dengan skorsing yang diberikan berbeda-beda untuk setiap
[10] Mogok nasional pernah dilakukan pada tahun 2006 untuk menolak revisi UU Ketenagakerjaan. Pada tahun 2010-2011 juga dilakukan rangkaian mogok nasional untuk mendorong disahkanya UU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
[11] Dalam kasus Karta Dilaga, dkk Para pekerja vs PT. Dianmatra Jalasindo Transportama, pekerja telah berulang kali meminta pengusaha untuk membayar upah sesuai dengan ketentuan UMP,namun pengusaha tidak memenuhi permintaan tersebut. Pada Bulan Desember 2010 Pekerja melakukan mogok. Namun pengusaha tetap menolak berunding dengan para pekerja yang mogok dan justru meliburkan tempat kerja. Para pekerja melaporkan pengusaha ke Polda Metro Jaya dengan tindak pidana anti serikat dan tindak pidana pemberian upah dibawah UMP. Kemudian melalui pengawasan ketenagakerjaan Suku Dinas tenaga kerja memaksa pengusaha untuk memenuhi hak-hak normatif pekerja, yang pada akhirnya pengusaha memenuhi hak-hak normatif pekerja dan pekerja bekerja kembali.
[12] Pada tahun 2011 serikat pekerja swadesi yang anggotanya sebanyak 297 orang. Manajemen Bank Swadesi melakukan intimidasi dengan cara menyuruh anggota SPSC mengundurkan diri dengan menandatangani surat pernyataan yang disediakan perusahaan dengan ancaman mutasi dan tidak mendapatkan bonus tahunan. Akibatnya sejumlah anggota SPSC yang mengundurkan diri dari serikat pekerja, kemudian melaporkan tindakan anti serikat pekerja tersebut ke Polda Metro Jaya pada bulan mei 2011.