Obsesi Presiden Joko Widodo dipenghujung tahun 2019 yang menyatakan hendak mempercepat perputaran arus modal investasi, sepantasnya membuat masyarakat sipil khawatir dengan nasibnya. Dengan memboyong draf RUU Cipta Kerja ke DPR, Pemerintah sedang mengingkari amanat konstitusi yang dipikul. Sebab, substansi yang dikandung dalam RUU Cipta Kerja sangat jauh arang dari api. Untuk merealisasikan iklim kerja yang produktif dan berkualitas Pemerintah harus mengawali dengan memberikan perlindungan maksimal bagi kaum pekerja yang menjadi fondasi perekonomiannya. Artinya, pekerja harus dilihat sebagai subjek, bukan sekedar objek. Sayangnya, piramida kebijakan yang digunakan Pemerintah dalam RUU Cipta Kerja justru terbalik: menempatkan pengusaha pada hirarki proteksi tertinggi sementara menempatkan pekerja pada lapisan terbawah.
Metode legislasi yang digunakan Pemerintah untuk membuat produk RUU Cipta Kerja juga tidak biasa. Dengan dalih efisiensi biaya dan waktu pembahasan, Pemerintah memilih menggunakan metode ‘Omnibus Law’ untuk merealisasikan formulanya, meski sebenarnya metode tersebut tidak dikenal dalam konstruksi Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dalam UU No. 15 Tahun 2019. Seolah tutup mata, Pemerintah menafikan bahwa di berbagai belahan dunia lain, metode Omnibus Law dianggap sebagai cara yang tidak-demokratis bahkan despotis. Masyarakat sipil mengkhawatirkan bagaimana anggota DPR nantinya dapat berkomitmen untuk melakukan pembahasan yang holistik dan kritis terhadap masing-masing pasal RUU Cipta Kerja. Sebab, dalam serangkaian produk terakhir yang disahkan di gedung tersebut, para wakil rakyat tampak tak sungguhsungguh melakukan pembahasan sehingga ada banyak pasal yang keliru.
Selengkapnya UNDUH