Jakarta, bantuanhukum.or.id—MR (16 Tahun) Tersangka kasus penganiayaan, yang diduga melakukan penyerangan terhadap seorang polisi menggunakan taring babi saat acara pelantikan Jokowi sebagai Presiden RI di Monas, kini bisa bernafas lega. Usahanya selama 2 bulan 17 hari untuk melakukan perdamaian dengan Briptu MA selaku korban, menemui titik terang. Briptu MA selaku korban memutuskan untuk menyelesaikan perkara secara kekeluargaan dan mencabut laporannya, sehingga Kanit Reskrim Polsek Metro Gambir Komisaris Polisi Budi Setiadi, S.H., M.Hum., memutuskan untuk menghentikan penyidikan perkara yang membelit MR.
Didampingi Pengacara Publik LBH Jakarta Hardi Firman, S.H., di Polsek Gambir, MR menuturkan menyesali perbuatannya dan ingin pulang ke kampungnya. “saya menyesal pak, kasihan sama bapak ibu saya, Sabtu besok saya mau mudik ke Grobogan naik bis. Saya senang bisa mudik dan tidak lagi harus bulak balik wajib lapor setiap minggu ke polsek”, tutur MR dengan polosnya.
MR juga mengaku akan meneruskan pendidikannya yang sempat terhenti. “iya saya mau sekolah lagi di pesantren, bapak sudah mendaftarkan di pesantren Futuhiyyah-Grobogan”, lanjut MR sambil menunjukkan sebuah surat dari pesantren Futuhiyyah yang ditanda tangani Gus Achmad Sahal Manshur selaku pimpinan pesantren.
Kasus ini bermula saat MR menghadiri acara pelantikan Presiden RI tanggal 20 Oktober 2014. MR yang ikut merayakan euforia di Monas ditangkap pihak berwajib karena diduga melakukan penyerangan terhadap polisi dengan menggunakan taring babi. MR mengaku lelah dan sebenarnya ingin pulang, namun busnya tidak ada yang berhenti. Dia menduga supirnya diberitahu polisi untuk tidak mengangkutnya. Atas dasar itu, pada malam hari dia gelap mata sehingga melakukan perbuatan yang kemudian disesalinya tersebut.
Perkara MR ini menjadi contoh bagaimana seharusnya penegak hukum menangani perkara anak yang berkonflik dengan hukum. Undang-Undang Sistem Peradilan Anak No. 11 Tahun 2012 (UU SPPA) mengamanatkan untuk mengedepankan asas keadilan restoratif yakni penyelesaian tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan (Pasal 1 angka 6 UU SPPA).
LBH Jakarta yang mengawal kasus ini sejak awal memberikan apresiasi terhadap sikap Polsek Metro Gambir. “Kami mengapresiasi penghentian penyidikan yang dilakukan oleh Polsek Gambir, karena kasus ini merupakan kasus anak yang sudah semestinya penyelesaiannya dilakukan diluar proses pidana dengan mekanisme diversi sesuai Undang-Undang Sistem Peradilan Anak, dan mengedepankan musyawarah serta pendekatan kekeluargaan”, ujar Muhamad Isnur, S.H.I., Kepala Bidang Penanganan Kasus LBH Jakarta. (AdeLo)