Pada 1 September 2021 lalu, beredar Rilis yang dibuat oleh salah satu pekerja di Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang menjadi korban kekerasan seksual dan perundungan di tempat kerja yang dialaminya sejak 2011. Dalam rilis tersebut, Korban menceritakan bahwa Korban mengalami bullying dan pelecehan seksual berupa serangkaian perbuatan yang dilakukan oleh 7 orang rekan kerjanya (terduga Pelaku), diantaranya memaki Korban dengan muatan SARA dan transphobic, melakukan kekerasan seksual, mengintimidasi Korban, melakukan kekerasan terhadap Korban dan merendahkan Korban. Adapun kemudian Korban melaporkan perundungan dan pelecehan seksual yang dialaminya ke Polres Metro Jakarta Pusat.
Celakanya, pada 6 September 2021, terduga Pelaku perundungan dan pelecehan seksual justru merencanakan untuk melaporkan balik Korban dengan dalih identitas pribadi mereka yang disebar melalui rilis. Para terduga Pelaku mengklaim bahwa mereka justru adalah korban dari cyber bullying akibat dari Rilis yang disebarkan. Terhadap permasalahan tersebut, LBH Jakarta menilai bahwa korban pelecehan seksual yang angkat bicara atas apa yang dialaminya tidak bisa dilaporkan balik oleh Pelaku, justru sebaliknya kepentingan Korban harus diutamakan dan Korban harus mendapatkan pemulihan serta perlindungan atas apa yang dialaminya. Menyikapi hal tersebut LBH Jakarta berpandangan sebagai berikut:
Pertama, bahwa Korban tidak dapat dilaporkan balik oleh Pelaku dan dalam hal ini pun Korban dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, khususnya Pasal 10:
-
- Saksi, Korban, Saksi Pelaku, dan/atau Pelapor tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, atau telah diberikannya, kecuali kesaksian atau laporan tersebut diberikan tidak dengan itikad baik.
- Dalam hal terdapat tuntutan hukum terhadap Saksi, Korban, Saksi Pelaku, dan/atau Pelapor atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, atau telah diberikan, tuntutan hukum tersebut wajib ditunda hingga kasus yang ia laporkan atau ia berikan kesaksian telah diputus oleh pengadilan dan memperoleh kekuatan hukum tetap.
Kedua, Korban harus mendapatkan perlindungan dan pemulihan. Khususnya bagi korban yang mengalami kekerasan seksual dan rentan kedudukannya. Beban yang dialaminya pasti tidak mudah sebab Korban juga harus menjalani proses panjang laporan yang dilakukannya dan besar kemungkinan bagi korban untuk menceritakan apa yang dialaminya berulang-ulang kali. Sehingga penting untuk adanya perspektif korban bagi Aparat Penegak Hukum yang menangani kasus kekerasan seksual. Adapun kita ketahui bersama kalau sampai saat masih adanya kekosongan hukum yang dihadirkan oleh Negara yang masih belum mampu melindungi korban Kekerasan Seksual dengan tidak disahkannya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, sehingga sampai saat ini belum adanya payung hukum yang melindungi korban Kekerasan Seksual.
Bahwa Komnas Perempuan telah mendefinisikan dengan mengelompokkan bentuk-bentuk kekerasan seksual, salah satu diantaranya yang dilakukan oleh Para terduga Pelaku adalah Pelecehan Seksual, di mana dilakukannya tindakan seksual lewat sentuhan fisik maupun non-fisik dengan sasaran organ seksual atau seksualitas korban; termasuk menggunakan siulan, main mata, ucapan bernuansa seksual, mempertunjukan materi pornografi dan keinginan seksual, colekan atau sentuhan di bagian tubuh, gerakan atau isyarat yang bersifat seksual sehingga mengakibatkan rasa tidak nyaman, tersinggung, merasa direndahkan martabatnya, dan mungkin sampai menyebabkan masalah kesehatan dan keselamatan.
Cyber bullying yang diklaim terjadi dan dialami oleh para terduga Pelaku tidaklah sebanding dengan apa yang dialami oleh Korban selama hampir 10 tahun harus mengalami malu, sakit, dan trauma berkepanjangan, ditambah hal tersebut dilakukan di tempat di mana Korban bekerja. Perspektif dan kepentingan korban haruslah diutamakan.
Ketiga, permasalahan yang dialami oleh Korban merupakan permasalahan struktural. Adanya relasi kuasa yang timpang antara Korban dengan Para terduga Pelaku sebagai atasan dan bawahan di lingkungan KPI sebagai tempat kerja. Relasi kuasa ini menghadirkan adanya ketidakberdayaan korban dikarenakan posisi atau statusnya di lingkungan kerja lebih rendah dari pelaku. Selain itu juga, akibat dari Negara yang belum menghadirkan perlindungan bagi korban kekerasan seksual ditambah adanya pemangkasan beberapa Pasal penting dalam draft RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang kian melemahkan kedudukan korban. Diantaranya sebagaimana catatan penting dari LBH Jakarta: tidak diaturnya hak-hak korban, keluarga korban, saksi dan ahli membuat mereka berada dalam posisi rentan ketika menjalani proses penegakan hukum, tidak adanya kewajiban Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) untuk melindungi dan memenuhi hak-hak korban, tidak dimuatnya larangan aparat penegak hukum (APH) melakukan tindakan diskriminatif dalam proses penegakkan hukum tindak kekerasan seksual sama halnya mengamini status quo yang tidak berpihak pada korban. (Selengkapnya baca: https://bantuanhukum.or.id/16-catatan-penting-lbh-jakarta-tentang-ruu-pks-versi-baleg-dpr-ri/)
Berdasarkan dari uraian di atas dan demi kepentingan korban kekerasan seksual di hari ini serta masa mendatang, maka LBH Jakarta mendesak untuk:
- Kepolisian Republik Indonesia mengutamakan perlindungan dan pemulihan bagi korban serta segera dilakukannya penyidikan kasus;
- Kepolisian Republik Indonesia untuk tidak menindaklanjuti laporan dari para terduga Pelaku sebagaimana ketentuan Pasal 10 UU Perlindungan Saksi dan Korban;
- Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban serta Komnas HAM untuk mengawal dan memberikan perlindungan bagi Korban;
- Komisi Penyiaran Indonesia untuk bertanggung jawab atas jaminan perlindungan bagi korban dan menutup ruang bagi terduga pelaku kekerasan di lembaga tersebut;
- Badan Legislatif DPR-RI dan Presiden RI segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan rumusan yang mengutamakan kepentingan korban.
Jakarta, 8 September 2021
Hormat Kami,
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta