Dukungan sebagian kaum pekerja terhadap capres yang berlatarbelakang militer mengkhawatirkan sejumlah pihak. Menurut Direktur Eksekutif Imparsial, Poengky Indarti, kaum pekerja harus merujuk sejarah perjuangan buruh Indonesia, terutama yang dilakukan Marsinah pada era Orde Baru. Pada masa pemerintahan yang didominasi militer itu perjuangan pekerja digerus demi kepentingan investasi. Marsinah salah satu korbannya.
Poengky menjelaskan sekitar tahun 1993 gerakan pekerja meningkat, ditandai demonstrasi dan mogok kerja menuntut kenaikan upah. Termasuk Marsinah dan rekan-rekannya. Menanggapi tuntutan itu Gubernur Jawa Timur saat itu menyetujui kenaikan upah tapi pengusaha menolak. “Marsinah dan kawan-kawannya menuntut kenaikan upah, tapi pengusaha dan pemerintah menganggapnya sebagai gangguan terhadap investasi,” kata mantan pengacara Marsinah itu dalam diskusi di gedung YLBHI Jakarta, Jumat (09/5).
Kemudian pihak militer di Sidoarjo, Jawa Timur, menginstruksikan kepada perusahaan tempat Marsinah bekerja untuk memberikan nama-nama pekerja yang aktif melakukan demonstrasi. Poengky mengatakan sejumlah nama pekerja disodorkan. Kemudian mereka diundang ke kantor Kodim dan dipaksa mengundurkan diri.
Mendengar kabar itu Poengky mengatakan Marsinah langsung menyambangi kantor Kodim dan menolak tindakan tersebut. Setelah itu Marsinah pulang ke rumah dan pergi pada malam hari. Sejak itu Marsinah tidak pulang kembali ke rumahnya dan ditemukan tewas pada 9 Mei 1993.
Menurut Poenky di masa Orde Baru internvensi militer dalam perjuangan pekerja sangat besar. Mengacu kasus Marsinah terlihat jelas militer bertindak di luar wewenangnya yaitu memutus hubungan kerja dengan cara mendesak pekerja yang bersangkutan untuk mengundurkan diri.
“Kasus Marsinah itu menunjukan intervensi militer terhadap perburuhan di Indonesia. Maka sangat ironis jika kaum buruh memilih capres mantan militer,” tegas Poengky.
Selaras hal itu Poengky berpendapat dalam sejarah Indonesia ada perbedaan kepentingan antara kaum pekerja dan militer. Misalnya, pada masa Orde Baru militer lebih mengutamakan investasi masuk ke Indonesia ketimbang kebijakan upah layak. Selain itu militer lebih mengutamakan garis komando, padahal kaum pekerja perlu berunding dengan pengusaha untuk membahas kepentingan mereka.
Pengurus bidang multimedia Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP), Ari Widiastari, mengatakan sampai saat ini intervensi militer masih terjadi dalam gerakan pekerja. Ia mengaku kondisi itu terjadi di tempat kerjanya. Sebab, pekerja yang menuntut kenaikan upah dihadapkan oleh pihak kepolisian untuk berunding. Padahal, perundingan itu harusnya dilakukan antara pengusaha dan pekerja. “Kami dihadapkan dengan polisi berseragam,” papar pekerja di perusahaan yang memproduksi tusuk gigi di Jakarta itu.
Direktur LBH Jakarta, Febi Yonesta, mencatat ada dua perusahaan milik bakal capres berlatar belakang militer yang dilaporkan puluhan pekerjanya ke LBH Jakarta. Mereka mengadu karena dipaksa mengundurkan diri, upah tidak dibayar dan tidak didaftarkan menjadi peserta Jamsostek.
Bagi pria yang disapa Mayong itu fakta tersebut patut diperhatikan kaum pekerja dalam memilih capres pada Pemilu 2014 agar pekerja tidak mudah terbujuk rayu janji manis capres berlatar belakang militer. “Buruh jangan naif menerima janji salah satu capres yang akan penuhi 10 tuntutan buruh. Bisa saja 10 tuntutan itu nanti dikesampingkan,” tukasnya.
Menanggapi hal tersebut dosen ilmu pemerintahan Universitas Padjajaran, Muradi, menjelaskan dalam Pemilu legislatif (Pileg) 2014 ada kolaborasi antara partai politik yang dipimpin mantan petinggi militer dan sebagian serikat pekerja. Itu ditandai dukungan resmi yang diberikan sebuah konfederasi serikat pekerja terhadap bakal capres yang berlatar belakang militer. “Kolaborasi itu semakin intensif pasca Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mendeklarasikan dukungan,” urai Muradi.
Menurutnya hal itu terjadi karena beberapa hal yaitu pimpinan serikat pekerja melihat Pemilu sebagai ajang meraih tujuan politik taktis. Atau karena ketidaktahuan akan sejarah militer dan perjuangan buruh di Indonesia. Tapi ia cenderung yakin dukungan yang diberikan sebagian kalangan buruh itu karena minimnya pengetahuan tentang intervensi militer dalam gerakan buruh di Indonesia. Walau begitu Muradi melihat ada juga sebagian serikat pekerja yang menolak capres berlatar belakang militer. (hukumonline.com)