Lembaga Pemasyarakatan yang bertugas melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan mengemban misi agar mereka bisa hidup kembali secara wajar dan bertanggung jawab. Namun, LP terus bergejolak dengan munculnya tragedi di Tanjung Gusta, Medan, Sumatera Utara. Narapidana memicu terjadinya kerusuhan dan membakar lapas. Ratusan napi melarikan diri. Kemudian kejadian serupa terjadi di LP Labuhan Ruku, Sumatera Utara. Napi membakar lapas dan sebagian kabur. Di Batam, pada Juli 2013 yang lalu, 11 Napi kabur dengan menyerang petugas lapas. Kemudian terjadi juga kerusuhan di Lapas Klas II B Tulung Agung, Jawa Timur. Hal ini memunculkan pertanyaan, berhasilkan misi pemasyarakatan ini dilaksanakan?
LBH Jakarta menganalisis terjadinya permasalahan-permasalahan di Lapas, karena beberapa sebab:
1. Over capacity
Jumlah narapidana dan tahanan (kapasitas dan keadaan di lapangan)
Keterangan | Batam | Tanjung Gusta | Labuhan Ruku | Tulung Agung |
Kapasitas | 411 | 1,054 | 300 | 250 |
Jumlah Riil | 948 | 2,180 | 867 | 285 |
Kerusuhan yang beruntun tersebut bukan terjadi serta merta, namun hal ini merupakan bom waktu yang saat ini sedang berletupan. Bagaimanakah kondisi Lapas sehingga memicu kerusuhan? Berdasarkan data Ditjen Pemasyarakatan, dari 33 Kanwil Provinsi, 28 diantaranya mengalami over capacity tahanan dan narapidana. Beberapa yang perlu di garisbawahi terhadap tragedi ini adalah Pertama, Lapas merupakan muara akhir sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana di Indonesia. Kedua, over capacity Lapas merupakan akibat dari menumpuknya jumlah tahanan dan narapidana yang ini berhubungan dengan fungsi kepolisian sebagai aparat penegak hukum yang menjalankan fungsi penyelidikan dan penyidikan kasus pidana.
Jumlah Tempat Penahanan di Indonesia yang dikelola Ditjen Pemasyarakatan
No | Jenis Tempat Penahanan | Operasional | Belum Operasional | Jumlah |
1 | Lembaga Pemasyarakatan | 180 | 14 | 194 |
2 | LAPAS Narkotika | 16 | 28 | 44 |
3 | LAPAS ANAK | 16 | 1 | 17 |
4 | LAPAS Wanita | 7 | 1 | 8 |
5 | LAPAS Pemuda | 2 | – | 2 |
6 | LAPAS Terbuka | 5 | – | 5 |
7 | Rumah Tahanan | 141 | 59 | 200 |
8 | Cabang Rutan | 57 | 7 | 64 |
9 | Balai Pemasyarakatan | 70 | 2 | 72 |
TOTAL | 494 | 102 | 596 |
Sumber: Penelitian ICJR (Ditjen Pemasyarakatan)
Tempat Penahanan yang secara khusus dinyatakan sebagai rumah tahanan negara masih tetap jumlahnya, yakni sebanyak 264. Jumlah ini sebenarnya tidak jauh berbeda sejak tahun 1983, bahkan mengalami penurunan dari 291 menjadi 264 rumah tahanan negara. Dengan meningkatnya jumlah narapidana dan tahanan namun peningkatan sarana dan prasarana lapas dan rutan yang lambat, tentu masalah over capcity semakin parah tiap tahunnya.
Peningkatan Jumlah Narapidana dan Tahanan
Keterangan | 2007 | 2008 | 2009 | 2011 | 2012 | 2013 |
Kapasitas | 86550 | 88599 | 90853 | 99.637 | 101.968 | 108.143 |
Kondisi Riil | 127995 | 130075 | 132372 | 140.217 | 150.688 | 156.467 |
%Kelebihan | 47.89% | 46.81% | 46.70% | 71.06% | 67.67% | 69.11% |
%Kenaikan | 1.63% | 1.76% | 5.9% | 7.47% | 3.83% |
Sumber: Website Ditjen Pemasyarakatan
Berdasarkan data yang disajikan oleh Ditjen Pemasyarakatan per Agustus 2013, sebanyak 156,467 tahanan dan narapidana yang menjalani proses di Lapas. Padahal kapasitas lapas hanya sanggup menampung 108,103 tahanan dan narapidana. Tentu kenaikan sebesar 30,9% dari kapasitas Lapas berpengaruh terhadap pemenuhan fasilitas dan kebutuhan dasar narapidana dan tahanan.
2. Kebutuhan Dasar Napi tidak Terpenuhi
Sejumlah napi tidak terpenuhi kebutuhan dasar, seperti makanan. Di Polres Kupang dan Jakarta Selatan, napi mendapatkan jatah makanan sebanyak 2x sehari, padahal berdasarkan Perkap No 4 Tahun 2005 tentang standar tahanan mengharuskan tahanan mendapatkan makan 3x sehari, dengan anggaran 11.000/ hari. Di Rutan Pondik Bambu, tahanan yang ada dalam Rutan ini setiap harinya diberi jatah makan 3 kali, dengan alokasi anggaran sebesar Rp. 7625/hari. Di Rutan Cipinang, setiap harinya tahanan diberi makan sebanyak 3 kali. Besarnya alokasi jatah makanan untuk satu orang tiap harinya adalah 7.500/ hari. Sedangkan di Rutan Salemba, tiap harinya tahanan diberikan makan sebanyak 3x dengan anggaran sebesar 7.672/ tahanan per hari.
Kondisi Lapas yang buruk menyebabkan penyakit terhadap napi. Dalam penelitian BH Jakarta tahun 2012, tejadi penempatan anak dalam tahanan yang sama orang dewasa. 75 responden ditahan bersama dengan orang dewasa ketika di tahan di ruang tahanan kepolisian dan 29 responden ditahan bersama orang dewasa saat berada dalam rumah tahanan. Berdsarkan data Ditjenpas, Kemenhukham tahun 2007, penyakit yang diderita tahanan berupa Penyakit Pernafasan (2489); Penyakit Kulit (2054); Penyakit Perut (1156); Penyakit Jantung dan Darah (210); Penyakit Syaraf (163); Penyakit Mata (149); Penyakit Kelamin (113); Ganggunan Jiwa (13); TBC (11); dan Lain-lain (1213). Tidak pernah ada penaganan medis yang serius dan menyeluruh terhadap napi, dengan minimnya ketersediaan tenaga medis di tahanan.
3. Napi Korban Rekayasa Kasus
“Sejumlah napi mendekam di Lapas bukan benar-benar pelaku kriminal. Dalam penelitian LBH Jakarta pada tahun 2008 dan 2010, sebanyak 83,65% dari 367 responden atau setara dengan 307 responden menyatakan saat berada di tingkat kepolisian telah mengalami kekerasan. Penyiksaan dilakukan aparat kepolisian saat interogasi untuk memaksa tersangka mengaku. Pengakuan inilah yang dijadikan bukti untuk memidanakan seseorang“ ujar Maruli Tua Rajagukguk, pengacara public LBH Jakarta. Dalam proses ini, Polisi kerap kali melakukan penyiksaan untuk menggali informasi. Penyiksaan tersebut dilakukan untuk mendapatkan informasi yang sesuai dengan keinginan Polisi. Angka kekerasan yang terjadi saat BAP di beberapa kota, sebagai berikut: Aceh 81,2 %; Jakarta 65,3%; Makassar 67%; dan Surabaya 97,9%.
4. Pidana Penjara Bukan Satu-satunya Solusi
“Konflik di Lapas dan Rutan merupakan akibat dari buruknya sistem peradilan pidana di Indonesia. Masyarakat dan penegak hukum sebenarnya sudah cukup lama menyadari bahwa pidana penjara bukan satu-satunya solusi mengurangi tingkat kejahatan. Sejumlah solusi telah ditawarkan, termasuk pendekatan restorative justice dalam RUU KUHAP menawarkan penyelesaian di luar pengadilan untuk perkara tertentu. Dengan ketentuan ini, pelaku tindak pidana tidak harus dipenjara tapi diwajibkan membayar kerugian terhadap korban. Hal ini dimungkinkan utnuk tindak pidana tertentu.” Ujar Restaria Hutabarat, Wakil Direktur LBH Jakarta.
Fungsi Hakim Pengawas Pengamat (Hamaswat) yang ada di KUHAP saat ini pun seharusnya dapat menjadi alat untuk mengawasi berjalannya eksekusi. Namun fungsinya tidak berjalan dengan semestinya karena menumpuknya kasus yang ditangani Pengadilan.
“Selain dari bentuk tindak pidana, berdasarkan Laporan Kasus pidana yang ditangani oleh LBH Jakarta menunjukkan bahwa narapidana dan tahanan yang menghuni sebagian besar merupakan masyarakat ekonomi lemah. Misalnya dalam kasus anak, kebanyakan anak di lapas adalah anak dari orang tua miskin “ ujar Eny Rofiatul, Pengacara Publik.
Solusi yang ditawarkan oleh Kementerian Hukum dan HAM adalah menggagas adanya satuan tugas keamanan dan ketertiban untuk mengatasi ketertiban di Lembaga Pemasyarakatan, padahal permasalahan sebenarnya tidak sesederhana itu. Terjadinya kericuhan saat ini merupakan runtutan permasalahan yang terus menerus terjadi di dalam Lembaga Pemasyarakatan.
Berdasarkan fakta-fakta di atas, LBH Jakarta sebagai lembaga yang mendorong reformasi sistem peradilan di Indonesia bersikap:
- Mendesak DPR dan Pemerintah untuk segera membahas Perbaikan KUHAP yang menekankan substantif dan restorative justice sebagai gerbang masuk reformasi sistem peradilan pidana di Indonesia;
- Mendesak Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia meningkatkan kualitas dan kuantitas Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan sehingga tidak terjadi penumpukan jumlah narapidana;
- Mendesak Polisi memenuhi prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia dan Undang-undang dalam menegakkan keadilan.