Jakarta, 16 Desember 2025 – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta telah mengajukan Amicus Curiae (Sahabat Pengadilan) untuk Terdakwa Perempuan Berhadapan dengan Hukum atas nama Laras Faizati Khairunnisa dalam Perkara Nomor 675/Pid.Sus/2025/PN.JKT.SEL pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Laras Faizati dalam kasus ini telah menjadi korban kriminalisasi dengan menggunakan UU ITE yang menyasar konten story Instagram pribadinya.
Sebagai Lembaga yang memiliki misi untuk menanamkan, menumbuhkan, dan menyebarluaskan nilai-nilai negara hukum yang berkeadilan sosial, demokratis, serta menjunjung tinggi HAM kepada seluruh lapisan masyarakat tanpa kecuali, pada pokoknya kami menyatakan bahwa ekspresi yang disampaikan Laras dalam media sosialnya bukanlah tindak pidana, melainkan suatu bentuk kritik terhadap institusi negara, yakni Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Polri dalam hal ini bukanlah institusi yang terbebas dari kritik, sehingga ekspresi kemarahan Laras terhadap tindakan Polri merupakan bentuk kritik yang sah dan dilindungi.
Adapun isi dari Amicus Curiae yang kami susun, pada intinya menguraikan hal-hal berikut:
Pertama, kritik yang dilakukan oleh Laras Faizati Khairunnisa (LFK) merupakan ekspresi sah yang dilindungi, dan karena itu, bukan merupakan pelanggaran Pasal 45A ayat (2) jo. Pasal 28 ayat (2) UU ITE. Kami memandang konstruksi dakwaan JPU terkesan memaksakan, sebab dalam pasal a quo, subjek hukum korban yang dirugikan seharusnya adalah “kelompok masyarakat tertentu berdasarkan ras, kebangsaan, etnis, warna kulit, agama, kepercayaan, jenis kelamin, disabilitas mental, atau disabilitas fisik.” JPU kemudian juga tidak membuktikan narasi mana yang mengandung “sifat menghasut, mengajak, atau memengaruhi orang lain sehingga menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan terhadap individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu….” Padahal konteks hate crimes dimaksudkan untuk mencegah terjadinya pelanggaran HAM yang berat, seperti genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan, sehingga korban dari hate crimes adalah orang-perseorangan atau kelompok masyarakat yang merupakan subjek dari pemangku hak dalam kerangka HAM. Hal ini juga bertentangan dengan Komentar Umum No. 34 yang merupakan tafsiran otoritatif dari International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), yang menekankan bahwa “Negara tidak boleh melarang atau mengkriminalisasi kritik terhadap institusi, seperti angkatan bersenjata atau administrasi.”
Kedua, Jaksa Penuntut Umum (JPU) telah salah menggunakan pasal dalam Dakwaan Kedua. Sehingga, bertentangan dengan Asas Legalitas, karena LFK didakwa dengan rumusan delik yang tidak jelas (lex certa) yang menyebabkan ketidakpastian hukum. Dalam Dakwaan Kedua, JPU mencantumkan Pasal 32 ayat (2) UU ITE, tetapi rumusan yang terkandung di dalamnya justru tidak sesuai dengan rumusan Pasal 32 ayat (2) UU ITE itu sendiri. Hal ini menyebabkan Dakwaan Kedua tidak jelas dan berdampak terhadap pemidanaan seseorang yang tidak bersalah.
Ketiga, kekecewaan LFK atas peristiwa kematian Affan Kurniawan akibat dilindas kendaraan taktis (rantis) Brimob merupakan ekspresi kemarahan yang sah. Ekspresi kekecewaan ini dilindungi oleh Pasal 28E ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 dan Pasal 19 angka 2 ICCPR. Selain itu, pertimbangan hukum dalam Putusan MK No. 7/PUU-VII//2009, MK menyatakan bahwa seluruh rakyat memiliki hak yang sama untuk berpartisipasi dalam politik, sehingga aspirasi rakyat yang beragam harus dapat dijamin keberlangsungannya dalam negara demokrasi. Dibuktikan pula dengan tidak adanya tindak lanjut atas penegakan hukum dalam kasus dilindasnya Affan Kurniawan oleh rantis Brimob.
Maka, berdasarkan uraian-uraian dalam amicus curiae ini, kami meminta agar Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara a quo untuk menjatuhkan putusan bebas kepada LFK demi menghindari proses peradilan yang sesat (miscarriage of justice).
Hal ini menjadi penting bagi lembaga peradilan untuk menegaskan kembali posisinya sebagai benteng terakhir bagi para pencari keadilan.
Unduh amicus curiae di sini.






