Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta dan Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) bersama dengan saksi-saksi mendatangi Unit 4 Paminal Propam Polda Metro Jaya, guna memberikan keterangan terkait kasus dugaan penyiksaan yang dilakukan anggota Polres Tangerang dan Polda Metro Jaya terhadap Muhammad Riski Riyanto (21) dan Rio Imanuel Adolof (23), korban pemidanaan yang dipaksakan atas tindakan membuat mural di Tangerang.
Bahwa saksi-saksi yang kami hadirkan berjumlah 4 (empat) orang yakni orang tua Riski Riyanto, orang tua Rio Imanuel dan 2 (dua) orang temannya. Pemeriksaan berlangsung selama kurang lebih 6 (enam) jam. Dalam keterangannya, baik orang tua Rio dan Riski bersaksi bahwa surat tembusan dari pihak kepolisian terkait upaya paksa yang dilakukan, tidak mereka terima. Selain itu, orang tua korban juga menjelaskan bahwa anaknya mengalami penyiksaan hingga meninggalkan luka yang menghitam.
Sejalan dengan kesaksian kedua orang tua korban, teman-teman Rio dan Riski yang saat itu berada di lokasi penangkapan memberikan keterangan bahwa pada tanggal 9 April Pukul 20.00 WIB, sekitar 10 orang polisi dari Polres Tangerang yang ketika itu tidak menggunakan seragam datang menemui korban. Saat diminta menunjukan surat penangkapan dan surat tugas, anggota kepolisian hanya menunjukan surat tugas bulanan, sedangkan korban diintimidasi dengan senjata laras panjang. Selain itu, kepala korban juga dipukul menggunakan helm sebanyak dua kali.
Dugaan tindakan penyiksaan terus dialami korban, berdasarkan temuan kuasa hukum, penyiksaan dilakukan dari tanggal 9-11 April 2020. Bentuk penyiksaan yang dialami korban berupa dipukul, ditendang, diborgol menggunakan kabel tie hingga darah membeku dan tangan membengkak. Lebih lanjut, kedua korban dipukul dengan besi di beberapa bagian tubuh dan kepala kedua korban dibungkus dengan plastik hingga tidak dapat sadarkan diri.
Tidak hanya dugaan penyiksaan, pelanggaran hukum lainnya pun terjadi yaitu adanya penghalang-halangan akses bantuan hukum yang dilakukan anggota Unit 1 dan 3 Keamanan Negara Polda Metro Jaya. Sejak kedua korban diperiksa di unit Keamanan Negara Polda Metro sejak tanggal 12 April 2020 hingga tanggal 4 Mei 2020, kuasa hukum selalu dipersulit dan dihalang-halangi untuk bertemu dengan korban.
Ketika ditangkap, pihak kepolisian juga melakukan penyitaan pada barang-barang yang tidak relevan dengan perbuatan, termasuk buku-buku milik korban di antaranya;. Corat-Coret Di Toilet karya Eka Kurniawan, Indonesia Dalam Krisis terbitan Kompas, Aksi Massa karya Tan Malaka, Pencerahan Tanpa Kegerahan karya Aldentua Siringoringo, Surat Kepada Kanjeng Nabi karya Cak Nun, Ex Nihilo karya Dwi Ira Mayasari, dan beberapa buku puisi. Buku-buku tersebut dianggap memengaruhi pemikiran korban dalam melalukan perbuatannya.
Selanjutnya, kepolisian berkali-kali menuduh korban sebagai anggota Anarko dengan menginterogasi secara terus-menerus siapa yang mendalangi perbuatan mereka. Saat konfrensi pers di Polda Metro pada 11 April 2020, polisi bahkan menyebut bahwa akan ada penjarahan sepulau Jawa yang akan dilakukan oleh kelompok Anarko.
Kami menilai, bahwa tindakan anggota Polres Tangerang dan Polda Metro Jaya merupakan sebuah bentuk pelanggaran baik pelanggaran terhadap aturan internal di kepolisian maupun sejumlah peraturan perundang-undangan, yang antara lain Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dan Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian.
Bahwa berdasarkan uraian dan penjelasan kami di atas, maka dengan ini kami mendesak:
- Kabid Propam Polda Metro Jaya untuk segera memanggil anggota Polres Tangerang dan Polda Metro Jaya yang diduga melakukan penyiksaan dan pelanggaran hukum lainnya. Lebih lanjut, dalam pengembangan kasus tersebut, Kabid Propam juga harus berkoordinasi dengan Dirkrimum Polda Metro Jaya sebab selain diproses secara disiplin/etik, para terlapor juga harus diproses dan diadili secara pidana;
- Mendesak Kapolri memberikan perintah kepada masing-masing Kapolda di seluruh Indonesia untuk memegang dan menjalankan prinsip nilai-nilai hak asasi manusia sebagaimana diatur dalam Peraturan Kapolri No 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam melakukan tugas-tugasnya guna mencegah peristiwa penyiksaan tidak terulang Kembali.
Jakarta, 22 Juli 2020
Tim Advokasi untuk Demokrasi