Oleh: Jaya Suprana
Dimasa kini memang sedang merajalela beraneka ragam jenis berita termasuk berita yang benar alias sesuai dengan kenyataan namun ada pula berita bohong alias sama sekali tidak sesuai dengan kenyataan bahkan masih ada pula berita agak-bohong-agak-benar sebab agak tidak terlalu sesuai dengan kenyataan yang terjadi.
Maka sebenarnya wajar apabila saya merasa terkejut kemudian bingung ketika mendengar sebuah berita bahwa dua pengabdi hukum yang tergabung di LBH Jakarta ditangkap polisi kemudian disidang oleh Pengadilan Negeri pada 21 Maret 2016. Saya terkejut dan bingung karena peristiwa terkait masalah hukum tersebut tidak sesuai dengan pengertian bentuk-bentuk bantuan hukum (Pasal 4 ayat 3 UU No 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum) yang meliputi masalah keperdataan, pidana, dan tata usaha negara baik litigasi maupun nonlitigasi. Berdasarkan Pasal 11 UU No 16 Tahun 2011, Pemberi Bantuan Hukum yang sedang melaksanakan tugas-tugasnya dalam memberi bantuan hukum tidak dapat dituntut perdata maupun pidana. Hal tersebut dijelaskan secara rinci sebagai berikut: “Pemberi Bantuan Hukum tidak dapat dituntut secara perdata maupun pidana dalam memberikan bantuan hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang dilakukan dengan itikad baik di dalam maupun di luar sidang pengadilan, sesuai dengan Standar Bantuan Hukum berdasarkan peraturan perundang-undangan dan/atau Kode Etik Advokat.”.
Kriminalisasi terhadap pengabdi bantuan hukum memang pernah terjadi pada diri Yap Thiam Hien dan Adnan Buyung Nasution. Namun, peristiwa kriminalisasi tersebut terjadi di masa rezim Orba dimana memang hukum kerap tidak dipedulikan oleh pihak penguasa apabila dianggap berbahaya bagi kewibawaan apalagi kekuasaan pihak penguasa. Bahwa peristiwa kriminalisasi terhadap para pengabdi bantuan ternyata kembali terjadi di masa Orde Reformasi semoga dapat dimengerti bahwa saya merasa terkejut yang memang terpaksa tidak mematuhi satu di antara sekian banyak wejangan bijak pak Harto yaitu Ojo Kagetan alias jangan mudah merasa terkejut.
Bahkan rasa terkejut saya kemudian berkembang menjadi rasa bingung. Semoga dapat dimengerti pula bahwa saya merasa bingung sebab sangat membingungkan apabila praktek zaman Orba kembali dipraktikan di masa kini yang disebut sebagai masa reformasi yang sangat bersemangat menegakkan kembali pilar-pilar hukum di persada Tanah Air tercita ini.
Apalagi di masa Reformasi telah dibentuk undang-undang yang secara khusus mengatur pengabdian bantuan hukum yang dilakukan oleh mereka yang melalui jalur hukum ingin membantu rakyat kecil, miskin, papa, tergusur, tertindas yang tidak mampu membela diri mereka dari ancaman angkara murka penindasan. Apalagi di masa Reformasi kesadaran atas hak asasi manusia sedemikian tinggi sehingga telah dibentuk lembaga yang khusus melindungi HAM yaitu Komnas HAM.
Maka dapat dimengerti bahwa saya benar-benar merasa terkejut dan bingung bahwa kriminalisasi terhadap para pengabdi bantuan hukum ternyata masih dilakukan oleh para penegak hukum di Indonesia masa Reformasi. Apakah kita memang akan kembali ke sikap dan perilaku hukum di masa Orde Baru karena Orde Baru memang ternyata dianggap lebih baik ketimbang Orde Reformasi?
Menyadari bahwa diri saya hanya seorang rakyat awam yang tidak memiliki pengetahuan apalagi kekuasaan di bidang hukum maka saya mengharapkan bahwa berita yang saya dengar, baca dan simak ternyata hanya satu di antara sekian banyak berita bohong yang memang kini sedang mewabah di persada Nusantara ini. Apabila ternyata berita tersebut memang benar adanya maka sebagai seorang insan awam hukum namun sempat menimba pemahaman mengenai hukum dan keadilan dari almarhum Prof. Dr. Adnan Buyung Nasution yang mewariskan mahakarya Lembaga Bantuan Hukum bagi bangsa Indonesia tidak berdaya apa pun kecuali melalui naskah sederhana yang diperkenankan dimuat di Suara Pembaharuan, saya dengan penuh kerendahan hati memberanikan diri memohon kepada para Yang Mulia Penegak Hukum di persada Nusantara tercinta ini untuk berkenan memperlakukan para pengabdi bantuan hukum bukan hanya berdasar tafsir terhadap apa yang tersurat dan tersirat di KUHP belaka namun juga sesuai dan selaras dengan asas ke dua Pancasila yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab. (Harian Umum Sore Suara Pembaruan | Jumat 01 April 2016)
Penulis adalah Pembelajar Asas Kemanusiaan
[box type=”note” align=”aligncenter” ]Disclaimer: Seluruh tulisan dalam rubrik Opini merupakan representasi pribadi penulis sebagai personal dan bukan merupakan representasi dari LBH Jakarta.[/box]