Permenakertrans No. 19 Tahun 2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain terbit dengan tujuan baik. Beleid ini diharapkan bisa menyelesaikan persoalan ketenagakerjaan yang muncul akibat penyelewengan praktik alih daya atau outsourcing. Namun, Permenakertrans itu dinilai justru membuat rancu norma alih daya.
Penilaian itu datang dari Hadi Subhan, dosen hukum ketenagakerjaan Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya. Subhan melihat Permenakertrans Outsourcing membuka peluang bagi asosiasi sektor usaha untuk menentukan jenis pekerjaan mana yang dikategorikan kegiatan penunjang sehingga bisa dialihdayakan dan mana yang tidak (kegiatan inti). Akibatnya, peluang outsourcing penyedia jasa pekerja dibuka lewat pemborongan pekerjaan. Padahal, dalam UU Ketenagakerjaan, kedua jenis outsourcing itu punya norma yang berbeda.
Atas dasar itu Subhan menilai walau Permenakertrans Outsourcing membatasi lima jenis pekerjaan yang dapat dialihdayakan lewat mekanisme penyedia jasa pekerja, tapi dengan dalih pemborongan pekerjaan, jenis pekerjaan lainnya termasuk kegiatan inti bisa dialihdayakan. Menurut Subhan, cara itu ditegaskan lewat SE Menakertrans No. 04 Tahun 2013 tentang Pedoman Pelaksanaan Permenakertrans Outsourcing.
“Sebenarnya praktik outsourcing itu ada di UU Ketenagakerjaan dan dibatasi dengan putusan MK tentang outsourcing. Tapi itu dioplos pemerintah lewat Permenakertrans tentang Outsourcing dan SE Menakertrans No.4 Tahun 2013,” kata Subhan dalam jumpa pers di kantor LBH Jakarta, Rabu (5/3).
Misalnya, Subhan melihat asosiasi perbankan menentukan jenis pekerjaan teller sebagai penunjang. Kemudian, pekerjaan itu di-outsourcing menggunakan mekanisme pemborongan pekerjaan. Padahal, peran teller dapat dikatakan ujung tombak pelayanan yang digelar perbankan. Merujuk pada UU Ketenagakerjaan, pemborongan hanya untuk praktik outsourcing yang menggunakan mekanisme pemborongan pekerjaan, bukan untuk outsourcing penyedia jasa pekerja. “Sekarang beralih, kalau dulu pekerja di-outsourcing (lewat penyedia jasa pekerja,-red) sekarang diborongkan,” urainya.
Untuk membenahi praktik outsourcing, Subhan mengusulkan agar Permenakertrans tentang Outsourcing direvisi dan SE Menakertrans No. 04 Tahun 2013 dicabut. Menurutnya, lebih baik ketentuan outsourcing mengacu pada UU Ketenagakerjaan dan putusan MK tentang outsourcing. Ironisnya, karut-marut praktik outsourcing itu diperparah dengan lemahnya pengawasan. Sehingga penyelewengan dalam praktik outsourcing tidak dapat ditindak tegas. “Maka harus ditegakan normanya, pengawas ketenagakerjaan harus konsekuen tegakan aturan tentang outsourcing,” tandasnya.
Selain itu Subhan mengusulkan dalam menentukan mana kegiatan inti dan penunjang jangan diserahkan sepenuhnya kepada asosiasi sektor usaha. Tapi harus melibatkan serikat pekerja yang ada di sektor yang bersangkutan. Jika penentuan alur kegiatan produksi itu tidak dapat diselesaikan secara bipartit, barulah pemerintah melaksanakan perannya sebagai penengah. “Kalau pembahasan bipartit buntu, barulah pemerintah yang memutuskan apakah kegiatan inti atau penunjang,” paparnya.
Pada kesempatan yang sama, advokat publik LBH Jakarta, Maruli Tua Rajagukguk, mengatakan berlarutnya penyelesaian masalah outsourcing tak lepas dari minimnya kemauan politik pemerintah. Misalnya, dalam menuntaskan penyelewengan praktik outsourcing di BUMN, walau DPR telah menerbitkan rekomendasi, tapi sampai sekarang pemerintah belum melaksanakannya. Pemerintah, khususnya Menteri BUMN, hanya mengumbar janji di DPR untuk menyelesaikan masalah outsourcing di BUMN. Hal serupa juga dilakukan dalam rapat kerja antara Komisi IX DPR dengan Menteri BUMN kemarin.
Secara hukum, Maruli menilai rekomendasi itu dihasilkan dari kesepakatan antara Menteri BUMN dan Komisi IX DPR. Oleh karenanya, jajaran direksi di berbagai BUMN yang tersangkut masalah outsourcing harus melaksanakan rekomendasi itu secara menyeluruh. “Rekomendasi itu kesepakatan Komisi IX dan Menteri BUMN, punya kekuatan hukum yang mengikat karena itu perjanjian. Jadi secara hukum perdata, memenuhi syarat perjanjian yang sah dan berlaku seperti UU,” pungkasnya. (hukumonline.com)