Jakarta – Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Febi Yonesta menilai adanya kejanggalan dalam Undang-undang Nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPD, DPR, dan DPRD (UU MD3). Febi menduga kuat syarat penyidikan pada Pasal 245 UU MD3 merupakan siasat dewan agar terhindar dari perbuatan yang memalukan di luar tindakan pidana.
Menurut Febi, perilaku anggota dewan di luar tindak pidana umum yang mencoreng wajah sendiri semisal prostitusi, zinah, narkotika dan gratifikasi. Apabila muncul kasus ini, maka kasusnya hanya akan sampai di Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) untuk diselesaikan secara internal.
“Kami mencari-cari apa alasan mereka mengesahkan ini selain dari pidana umum. Ternyata kemungkinan perbuatan anggota dewan yang bisa menciderai adalah zinah, prostitusi, pornografi, gratifikasi. Ini kan aib oleh karena itu jangan ditangkap polisi dulu. Dimoderasi dulu dengan Mahkamah Kehormatan Dewan,” ujar Febi saat diskusi bertajuk Polemik UU MD3 di Komisi Hukum Nasional, Menteng, Jakarta, Rabu (3/9/2014).
Febi pun menduga bahwa pasal-pasal tersebut sengaja dirancang untuk melindungi anggota DPR karena bunyi pasal 245 ayat (1) yang mengatur soal pemeriksaan bukan soal penahanan. Bunyi lengkapnya adalah ‘pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan.
Febi optimis UU MD3 yang telah diujimaterikan di Mahkamah Konstitusi (MK) tersebut akan diterima. Menurut dia, salah satu pasal yang dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 adalah Pasal 245.
“Kita optimis karena MK pernah membatalkan izin pemeriksaan kepala daerah harus izin tertulis dari presiden melalui uji materi UU Pemda. Dengan preseden itu kami cukup optimis seharusnya MK berada dalam kofisi yang sama,” ujar Febi. (tribunnews.com)