JAKARTA, KOMPAS.com – Kasus salah tangkap dan salah mengadili diduga kuat terjadi lagi.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mendesak penyidik Polda Metro Jaya mengembangkan fakta baru pembunuhan pengamen bernama Dicky Maulana (18) di kolong jembatan Cipulir, Jakarta Selatan, akhir Juni lalu. Fakta tersebut adalah pengakuan seorang pengamen berinisial IP (18) yang mengaku terlibat dalam pembunuhan tersebut.
Kepala Bidang Penanganan Kasus LBH Jakarta Muhammad Isnur pada konferensi pers di Jakarta, Selasa (22/10), mengatakan, pengakuan IP didorong rasa bersalah dan takut yang terus menghantuinya.
“IP mengakui bahwa dia melihat pembunuhan Dicky oleh temannya, yakni KH alias Brengos dan Jub alias Jubai. Dia menegaskan bahwa enam orang yang kini menjadi terpidana dan terdakwa tidak terlibat sama sekali,” kata Isnur.
IP, yang turut hadir dalam konferensi pers di LBH Jakarta, mengatakan, setelah melihat pembunuhan, ia melarikan diri dan berpindah-pindah tempat. Namun, IP dapat dijebak dan ditangkap keluarga AS (18), satu dari enam terdakwa kasus pembunuhan Dicky.
“Aku ikutan karena dijanjikan Brengos dan Jubai dapat bagian dari penjualan sepeda motor Dicky. Motor laku Rp 1 juta dan aku dapat Rp 300.000,” kata IP.
Menurut dia, selain alasan ingin menguasai sepeda motor korban, pelaku juga kesal karena Dicky yang pengamen baru dianggap kurang sopan.
Johanes Gea, pengacara publik LBH Jakarta, mengingatkan, IP, Brengos, dan Jubai merupakan nama baru yang muncul dalam kasus pembunuhan Dicky. Untuk enam terdakwa yang sesama pengamen, yakni AS (18), NP (23), F (13), APS (14), FP (16), dan BF (17), diyakini korban salah tangkap penyidik. “Terdakwa terpaksa mengaku karena dalam pemeriksaan mendapat siksaan,” katanya.
Padahal, akibat dugaan salah tangkap, lanjut Johanes, PN Jakarta Selatan telah menjatuhkan vonis terhadap empat dari enam terdakwa pada Selasa (1/10). FP dijatuhi 4 tahun penjara, BF 3 tahun, F 3,5 tahun, dan AP 3 tahun. Mereka dinilai terbukti melakukan tindak pidana sesuai dakwaan Pasal 338 juncto Pasal 55 Ayat 1 KUHP.
Keenam terdakwa tersangkut kasus ini karena menemukan Dicky dalam kondisi sekarat. Mereka menolong serta memberi tahu satpam dan polisi. Namun, justru mereka dipanggil dan diperiksa sebagai saksi lalu dijadikan tersangka. Kini mereka menjadi terdakwa dan terpidana. “Saya sudah mengadu ke Komnas HAM, KPAI, Kontras, dan Propam Polri dengan keyakinan mereka tidak bersalah,” ujar Marni, ibu AS.
Tak sesuai
“Kami sudah memeriksa IP bersama lima perwakilan dari LBH dan sembilan anggota keluarga para terdakwa. Berdasarkan keterangannya, IP sama sekali tidak melihat dan melakukan pembunuhan. Namun, Brengos dan Jubai yang mengeksekusi korban. Sekarang dua orang itu tidak jelas keberadaannya,” kata Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Rikwanto.
Menurut Rikwanto, ada keganjilan dari kesaksian IP. Menurut IP, ia bersama Brengos dan Jubai membunuh Dicky sekitar pukul 23.00. “Padahal, korban ditemukan terbunuh sekitar pukul 10.00,” katanya.
Namun, ia pun menegaskan, polisi akan menindaklanjuti kesaksian IP serta segera mengejar Brengos dan Jubai.
Ahli hukum Luhut MP Pangaribuan mengatakan, salah tangkap dan salah mengadili merupakan perbuatan yang lebih kejam daripada kejahatan itu sendiri. Untuk itu, semua penegak hukum harus secepatnya memproses bukti dan saksi baru dari LBH.
“Yang paling pas adalah LBH mengajukan surat beserta bukti dan saksi baru kepada kejaksaan. Kejaksaan akan membawa surat, bukti, dan saksi ke sidang pengadilan. Hakim akan memutuskan kasus diputus dan semua terdakwa dibebaskan hari itu juga,” katanya. (NEL/BRO/K06/K12)