Wacana ERP di Jakarta
Pada 10 Januari 2023 lalu muncul wacana dari Pemprov DKI Jakarta yang akan melakukan penerapan jalan berbayar atau Electronic Road Pricing (ERP) sebagai solusi dalam mengurai kemacetan yang sudah menjadi rutinitas masyarakat Jakarta. Wacana tersebut tentu bukan wacana baru melainkan sudah mencuat sejak tahun 2004 di era Gubernur Jakarta Sutiyoso dengan wacana penerapan jalan berbayar bagi kendaraan pribadi yang melintasi ruas jalan Blok M – Kota. Wacana berlanjut pada tahun 2009 di era Gubernur Fauzi Bowo hingga tahun 2012 wacana pemberlakuan ERP di DKI Jakarta belum direalisasikan. Sejak Jokowi menjadi Gubernur Jakarta hingga sampai Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan penerapan ERP pada ruas jalan di DKI Jakarta masih belum terealisasikan.
Adapun dalam rencana penerapan jalan berbayar (ERP) akan mengkapling setidaknya 25 ruas jalan di DKI Jakarta, pengendalian lalu lintas secara elektronik pada ruas jalan tersebut diberlakukan setiap hari dimulai pukul 05.00 WIB sampai dengan pukul 22.00 WIB, dalam pembahasan Raperda tersebut tarif bagi pengendara kendaraan bermotor sebesar Rp5.000,00 hingga Rp19.000,00.
Rekayasa Pengendalian Lalu Lintas Yang Sudah Dicabut
Rekayasa pengendalian lalu lintas dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan beberapa bentuk seperti mekanisme 3 in 1 (three in one), penerapan ganjil genap bahkan sampai melakukan pembatasan-pembatasan terhadap sepeda motor yang melintasi Jalan Jenderal Sudirman sampai jalan MH Thamrin yang diatur dalam Pergub No. 195 Tahun 2014 juncto Pergub DKI No. 141 Tahun 2015 tentang Pembatasan Lalu Lintas Sepeda motor yang sudah dicabut melalui mekanisme judicial review dengan putusan bernomor 57P/HUM/2017 dalam putusan tersebut majelis hakim menyatakan bahwa aturan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang – undangan yang lebih tinggi.
3 Permasalahan ERP
LBH Jakarta melhat terdapat 3 permasalahan dalam wacana pemberlakuan ERP oleh Pemprov DKI Jakarta saat ini, yaitu:
Pertama, minimnya partisipasi masyarakat. Bahwa pembentukan Peraturan Daerah (Perda) mengenai rencana penerapan jalan berbayar atau Electronic Road Pricing (ERP) tidak melibatkan partisipasi masyarakat dan dalam keadaan yang terburu-buru (meaningfull participation). Adapun Pasal 96 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Peraturan Pembentukan Perundang-undangan telah mengatur bahwa masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam pembentukan Perda tersebut.
Kedua, aksesibilitas transportasi publik masih buruk. Kebijakan ERP saat ini digulirkan justru ketika sikap Pemprov DKI Jakarta dalam memprioritaskan aksesibilitas transportasi publik kembali dipertanyakan. Kami sepakat bahwa kebijakan pembangunan kota harus diarahkan untuk memprioritaskan transportasi publik ketimbang kendaraan pribadi dengan memastikan aksesibilitas dan keberadilannya terhadap masyarakat yang termarjinalkan. Sayangnya, Pemprov DKI justru berencana memotong subsidi PSO Transjakarta dan menghapuskan anggaran pembangunan jalur sepeda dalam Kebijakan Umum Anggaran (KUA) dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS) 2023 Pemprov DKI yang kontradiktif dengan tujuan tersebut. Belum lagi dibarengi dengan wacana kenaikan tarif Commuter Line berdasarkan kelompok ekonomi masyarakat yang justru menjauhkan aksesibilitas masyarakat terhadap transportasi publik. Keterjangkauan transportasi publik untuk daerah sub-urban (Periphery) tempat mayoritas masyarakat kelas menengah bertempat tinggal juga masih buruk sehingga masih banyak sekali yang menggantungkan pada transportasi pribadi.
Ketiga, ERP akan mempersulit kelompok ekonomi lemah. Dalam situasi kini, masyarakat miskin kota masih berjibaku untuk memulihkan kondisi ekonominya pasca Covid-19. Di tengah kondisi masih buruknya aksesibilitas transportasi publik, kebijakan ERP hanya akan dapat dinikmati masyarakat ekonomi menengah ke atas dan semakin mempersulit kondisi masyarakat dengan ekonomi lemah. Belum lagi kebijakan ERP juga akan dikenakan terhadap ojek online yang memiliki perlindungan hukum pekerja yang lemah dan menjadi opsi mata pencaharian informal masyarakat miskin kota. Dalam situasi tersebut, kebijakan ERP justru menjadi solusi yang tak berkeadilan dan menjauhkan Jakarta sebagai kota yang inklusif.
Berdasarkan hal tersebut kami LBH Jakarta meminta kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan DPRD DKI Jakarta untuk menunda pemberlakuan peraturan daerah terkait kebijakan ERP dan memprioritaskan anggaran untuk memperluas aksesibilitas transportasi publik yang berkeadilan dan tidak meminggirkan masyarakat yang termarjinalkan. Untuk itu, Pemprov DKI Jakarta dan DPRD DKI Jakarta juga harus membuka partisipasi publik yang bermakna seluas-luasnya.
Hormat kami,
LBH Jakarta
Narahubung:
- Jihan Fauziah Hamdi (0812 8467 6829)
- M. Charlie Meidino Albajili (0812 2402 4901)
Dukung layanan bantuan hukum gratis dengan berdonasi ke SIMPUL LBH Jakarta melalui www.donasi.bantuanhukum.or.id, kami butuh bantuanmu.