Beberapa hari ini, media massa memberitakan tentang terjadinya kasus kekerasan terhadap PRT yang dilakukan oleh majikannya.
Pertama, Kasus Kekerasan terhadap Pekerja Rumah Tangga (PRT) – Toipah (sebagai Pengasuh Anak) yang diduga dilakukan oleh Anggota DPR RI – Fanny Safriansyah (Ivan Haz – Anak Mantan Wapres Hamzah Haz) dan Anna Susilowati (Amnah – istri). Kekerasan dan penyiksaan terjadi di rumah pelaku di Apartemen Ascott, Kebon Kacang, DKI Jakarta berlangsung sejak Juli sampai dengan akhir September 2015 setelah korban menyelamatkan diri. Berbagai tindak kekerasan penganiayaan, pengekangan dan eksploitasi – perbudakan terjadi pada korban selama bekerja di rumah majikan, sebagai berikut:
- Korban mengalami penyiksaan dan kekerasan yang dilakukan oleh pelaku secara terus menerus, baik siang maupun malam. Korban sering mendapat pukulan dengan tangan ataupun benda keras, tendangan, dan tamparan dari pelaku. Perkataan kasar lainnya juga kerap dialami oleh korban.
- Tindak penyiksaan dan penganiayaanini mengakibatkan korban mengalami luka-luka pada telinga, kepala, tulang belakang.
- Selama bekerja dan berada di rumah pelaku, korban bekerja dalam situasi tidak layak, perbudakan dimana korban hanya diberi makan oleh majikan 1 x kali dalam sehari di malam hari dan upah 2 bulan terakhir belum dibayarkan.
Kedua, Kekerasan yang sama dialami oleh Ririn Susanti – PRT asal Probolinggo Jawa Timur yang dianiaya oleh majikannnya -Bastian Liam di Jl. Malaka 58, Medan Timur. Korban baru sepekan bekerja tetapi sudah mendapatkan perlakukan yang tidak manusiawi. Korban kerap mengalami penganiayaan dan penyekapan oleh majikannya.Rabu 30 September 2015 malam, Ririn ditemukan warga karena menjerit kesakitan setelah melompat dari lantai 2 rumah sang majikan.
JALA PRT mengecam dan sangat menyesalkan tindak pidana kekerasan dan pelanggaran hak-hak PRT sebagai pekerja yang telah dilakukan oleh pelaku para majikan sebagaimana peristiwa di atas yang dilakukan oleh Bastian Liam di Medan dan Fanny S (Ivan Haz).
“Kita tentu belum lupa akan kasus penyekapan, perbudakan dan perdagangan manusia yang dialami 17 PRT di rumah Brigjen MS di kota Bogor, kasus PRT di Medan, kasus-kasus kekerasan dan diskriminatif lain yang ditemukan dalam pendampingan. PRT yang disiram deterjen karena beribadah, PRT yang tidak dibayar upahnya, PRT yang disekap. Kasus-kasus itu memperlihatkan betapa tidak manusiawinya perlakuan terhadap PRT, serta absennya perlindungan Negara terhadap PRT. Kasus penyiksaan, penyekapan – perbudakan berulang terjadi terus. Namun tidak ada proses hukum atau hukuman ringan terhadap pelaku sehingga tidak menjadi pelajaran tetap dapat bebas dan mengulang kembali perbuatannya,” ujar Lita, Kordinator Nasional Jala PRT.
Data dari berbagai sumber menunjukkan sepanjang tahun 2015 hingga saat ini terdapat 376 kasus kekerasan yang dapat terlihat karena ada lembaga yang mendampingi serta adanya media dan publik yang memberitakan. Mayoritas 65% adalah multi kekerasan termasuk upah yang tidak dibayar, penyekapan, penganiayaan dan pelecehan. Di samping 35% adalah kasus perdagangan manusia.
Bisa diperkirakan kasus tersebut adalah kasus yang baru diketahui publik karena tingkat kekerasannya sudah membahayakan badan dan jiwa.
Lebih lanjut, terkait proses hukum, pihak kepolisian masih seringkali lalai dalam turut serta melindungi korban dan memiliki perspektif korban kekerasan dalam mengusut kasus semacam ini. Terbukti dari ketiadaan penyaringan informasi yang diserahkan kepada publik. Selain itu, hingga saat ini Pelaku masih berkeliaran dan tidak dilakukan tindakan apapun terhadapnya.
“Pada hakikatnya semua orang sama kedudukannya di depan hukum. Seharusnya tidak ada perbedaan perlakuan baik terhadap rakyat kecil maupun penguasa. Untuk kasus kekerasan yang dilakukan oleh anggota DPR pun, seharusnya tidak ada pengistimewaan dalam upaya pemeriksaan dan pengusutan kasus yang Kepolisian lakukan saat ini,” lanjut Bunga Siagian, Pengacara Publik Penanganan Kasus LBH Jakarta.
Peristiwa pelanggaran HAM, seperti pelanggaran terhadap hak-hak sebagai pekerja, penyekapan, penganiayaan, penyiksaan terhadap PRT masih sering terjadi. Negara absen dan terjadi kekosongan hukum untuk perlindungan PRT baik di level lokal dan nasional serta migran. Kondisi ini yang semakin memberi ruang sistematis bagi pelanggaran hak-hak PRT, penyiksaan, perbudakan.
Masyarakat sipil diwakili oleh JALA PRT sudah mengajukan RUU Perlindungan PRT ke DPR dan Pemerintah sejak 2004. 11 tahun hingga 3 Periode 2004-2009 ke Periode 2009-2014 dan sekarang Periode 2014-2019. Setelah 11 tahun perjalanan RUU PPRT di DPR sejak 2004. Setelah menjadi Prioritas Legislasi Nasional 2010, 2011, 2012, 2013, 2014 dan sudah tinggal sejengkal langkah disahkan sebagai RUU Inisiatif DPR, justru DPR menghapus RUU PPRT dari Prolegnas 2015 dan bahkan hingga September 2015 masih banyak anggoat DPR yang menolak RUU Perlindungan PRT.
Di Internasional sudah lahir Konvensi ILO 189 Kerja Layak Pekerja Rumah Tangga 16 Juni 2011. Presiden SBY sendiri menyampaikan Pemerintah RI akan menjadikan Konvensi ini sebagai acuan peraturan perundanganan untuk perlindungan PRT di dalam negeri dan PRT Migran Namun hasilnya sangat memprihatinkan. DPR dan Pemerintah. selalu alot dan belum mengakui PRT sebagai pekerja, belum ada UU Perlindungan dan belum ada Ratifikasi Konvensi ILO 189 Kerja Layak PRT.
Pada 2 kali Periode SBY dan Periode Joko Widodo dan 3 kali Periode DPR 2004-2009 dan 2009-2014 dan Periode 2014-2019 telah gagal menenuhi tanggungjawabnya dalam penghormatan, perlindungan, pemenuhan situasi kerja layak dan hak-hak Pekerja Rumah Tangga (PRT) sebagai pekerja.
Fakta Tindak Kekerasan terhadap PRT oleh Anggota DPR RI Fanny S (Ivan Haz) beserta istrinya adalah tindakan yang sangat memalukan dan tak berkemanusiaan. Pelaku sebagai Anggota DPR RI harusnya memberikan teladan perlindungan terhadap warga negara termasuk PRT yang bekerja di rumahnya.
Peristiwa kekerasan oleh Anggota DPR tersebut dan berbagai peristiwa penghapusan dan penolakan pembahasan RUU PPRT oleh DPR demikian menunjukkan bahwa “WAJAH MAJIKAN ANGGOTA DPR DAN PEMERINTAH” lebih mengemuka dalam ketidakmauan untuk membahas dan mengesahkan RUU PPRT dan RATIFIKASI KILO 189 KERJA LAYAK PRT.
Lebih memalukan lagi apabila kemudian setelah peristiwa ini pihak MKD tidak kunjung memproses, malahan melakukan pembiaran terhadap pelaku, juga DPR masih kerap menolak RUU PPRT. Maka akan semakin terlihat bahwa DPR tidak memiliki kepedulian atas tanggungjawabnya untuk perlindungan dan kemanusiaan terhadap Pekerja Rumah Tangga. DPR lebih menjadi alat perpanjangan tangan tindak pro perbudakan.
Oleh karena itu berkaitan terhadap tindakan kekerasan terhadap PRT oleh Fanny Safriansyah (Ivan Haz – Anak Mantan Wapres Hamzah Haz) dan Anna Susilowati (Amnah – istri) di DKI Jakarta dan oleh Bastian Liam di Medan serta PRT-PRT lainnya yang berlangsung terus menerus; dan lambannya pembahasan RUU Perlindungan PRT di DPR dan Pemerintah, maka kami menyampaikan sebagai berikut:
- Mendesak segera tindak lanjut dari proses hukum aparat penegak hukum Kepolisian serta berikutnya Kejaksaan dan Pengadilan untuk melakukan proses hukum terhadap Fanny S dan Anna S di DKI Jakarta dan Bastian Liam di Medan dengan jeratan pelanggaran berlapis dari penganiayaan, penyekapan, upah yang tidak dibayar.
- Mendesak DPR dan Pemerintah untuk tidak menutup mata dengan berbagai kasus kekerasan terhadap PRT yang dilakukan oleh Anggota DPR.
- Mendesak MKD DPR RI untuk segera melakukan penegakan atas Anggota DPR RI sesegera mungkin.
- Mendesak DPR khususnya Komisi IX dan Baleg dan Pemerintah harus segera membahas dan mengesahkan RUU Perlindungan PRT termasuk menetapkan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga sebagai Prioritas Prolegnas 2016 dan membahasnya segera;
- Mendesak Pemerintah: Presiden dan Menteri Tenaga Kerja RI; Menteri Hukum dan HAM RI, Menteri Negara PPPA untuk aktif mengambil langkah perwujudan UU Perlindungan PRT dan Ratifikasi Konvensi ILO 189 Kerja Layak PRT,
- Menghimbau aparat lokal dan masyarakat untuk melakukan monitoring situasi Pekerja Rumah Tangga yang bekerja di lingkungan sekitarnya dan mengambil langkah pro aktif untuk pencegahan apabila menjumpai fenomena yang mengarah pada tindak kekerasan.
- Mendesak kepada Kepolisian, LPSK untuk memberikan perlindungan dan menjamin keselamatan atas korban dan saksi dan Tim Kuasa Hukum yang mendapat tekanan dari Pelaku dan berbagai pihak.
Demikian, mohon segenap perhatian dan tindaklanjutnya.
Jakarta, 4 Oktober 2015
JALA PRT(Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga), LBH Jakarta, LBH Apik, Atma Solo, APAB, Asa Puan Pontianak, Air Hidup Flores, FSPSI Reformasi, Institut Perempuan Bandung,ICM, Koalisi Perempuan Indonesia, Kapal Perempuan, SA KPPD Surabaya, KOHATI PB HMI, Kongres Operata Yogyakarta, LA Perempuan Damar Lampung, LARD Mataram, LBHP2I Makassar, LBH Bali, Mitra ImaDei, Migrant Care, Ngadek Sodek Parjuga Madura, PBHI Jakarta, OWA Palembang, Paperta, Perisai Semarang, Serikat PRT Merdeka Semarang, Perempuan Khatulistiwa, Fatayat NU, Rifka Annisa, RUMPUN Tjoet Njak Dien, RUMPUN Gema Perempuan, Sahabat Perempuan, SPEKHAM Solo, Serikat PRT Tunas Mulia, SAPULIDI, SAHDAR Medan, SPRT Sumut, Sekolah Perempuan Ciliwung, SP Kinasih, Surabaya Child Crisis Center, SUER Samarinda, TURC, Kalyanamitra, Solidaritas Perempuan, JPPRT DIY (Jaringan Perlindungan Pekerja Rumah Tangga DIY); KAPPRTBM (Komite Aksi Perlindungan PRT & BM: KSPI, KSBSI, KSPSI, JBM);UPC – JERAMI – JRMK;
Kontak:
Lita 08170701040
Bunga 08567028934
Uli 081314825052