Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mengkritik tindakan Kepolisian Resor Metropolitan Jakarta Selatan yang menangkap dan menetapkan 6 pekerja Holywings sebagai tersangka dengan menggunakan berbagai pasal karet. Proses hukum tersebut merupakan tindakan reaktif karena tekanan massa, prematur, dan menambah panjang daftar korban penerapan eksesif pasal karet mulai dari pasal ‘ujaran kebencian’, penodaan agama, dan kabar bohong.
LBH Jakarta berpendapat proses hukum terhadap para pekerja Holywings bermasalah atas alasan-alasan sebagai berikut:
Pertama, LBH Jakarta menilai polisi bertindak reaktif dan menunjukkan standar ganda jika dibandingkan dengan penanganan kasus-kasus lain. Kasus ini merupakan kasus kedua dalam satu bulan ini setelah sebelumnya polisi bertindak reaktif dalam kasus ‘rendang babi’ karena viral di media sosial. Sebaliknya, kepolisian kerap menolak laporan, misalnya penolakan Polresta Banda Aceh terhadap seorang Perempuan korban pemerkosaan dengan alasan belum vaksin COVID-19 atau penolakan anggota Polsek Pulogadung atas laporan korban perampokan. Penangkapan para pekerja Holywings berdasarkan laporan anggota kepolisian (Laporan Model A) juga membuktikan bahwa kepolisian mendefinisikan sendiri kerugian akibat tindakan yang dituduhkan kepada para pekerja Holywings dan kepolisian seolah-olah bertindak sebagai korban. Penerapan pasal-pasal karet eksesif ditambah dengan laporan/pengaduannya dibuat oleh anggota kepolisian sendiri menambah bukti subjektifitas aparat dalam penegakan hukum pidana.
Kedua, para pekerja Holywings dituduh melakukan penodaan agama sebagaimana diatur dalam Pasal 156a KUHP. Pasal ini diselipkan ke dalam KUHP melalui Pasal 4 UU 1/PNPS/1965. Sehingga sebelum seseorang dijatuhi pidana berdasarkan UU No. 1/PNPS/1965 terlebih dahulu harus ada tindakan dari Menteri Agama bersama Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri atau Presiden Republik Indonesia. Hal tersebut dijelaskan dalam Pasal 3 dan Pasal 4 UU 1/PNPS/1965 yang saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Untuk itu, persyaratan formil-administratif dalam Pasal 3 harus terlebih dahulu dipenuhi sebelum Pasal 4 dapat diterapkan. Namun hal tersebut tidak dilakukan dalam kasus ini sehingga proses hukum menjadi sewenang-wenang karena prematur.
Ketiga, LBH Jakarta menilai bahwa penerapan pasal-pasal untuk menetapkan 6 pegawai Holywings sebagai tersangka tidak tepat. Pengenaan pasal tersebut lebih dikarenakan pasal-pasal tersebut karet (multitafsir) Hal tersebut yang kemudian menguatkan dugaan bahwa penegakan hukum pada kasus ini merupakan kriminalisasi atau pemidanaan yang dipaksakan. Jika dirunut, terdapat 3 klaster penggunaan pasal yang dapat dijelaskan sebagai berikut:
- Pasal 14 ayat (1) dan (2) UU No. 1/1946, LBH Jakarta sejak awal mengecam pasal “pukat harimau” ini yang kerap diterapkan secara eksesif. Pasalnya, ketentuan pidana ini dapat menjerat ekspresi yang sah dan dilindungi konstitusi dengan memuat unsur-unsur tindak pidana yang karet. Salah satu unsur dalam Pasal ini berkenaan dengan “berita atau pemberitahuan bohong”. Jika dikaitkan dengan kasus ini, jelas bahwa unsur yang dimaksud tidak terbukti karena promo minuman beralkohol gratis bukanlah berita atau pemberitahuan bohong, melainkan benar adanya.
- Pasal 156 atau 156A KUHP, kasus ini semakin meneguhkan bahwa pasal penodaan agama sebagaimana diatur dalam PNPS 1/1965 memang bermasalah sebagaimana terungkap dalam proses persidangan perkara Nomor 140/PUU-VII/2009 di Mahkamah Konstitusi yang di tahun 2017 juga menelan korban Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Proses hukum dengan menggunakan pasal penodaan agama semakin lama semakin multitafsir dan menimbulkan pertanyaan: Apakah di kemudian hari orang yang bernama “Muhammad” jika melakukan meminum minuman keras bisa juga dihukum dengan alasan karena telah menodai agama?;
- Pasal 28 ayat (2) UU ITE, berdasarkan SKB Pedoman Implementasi UU ITE yang ditandatangani oleh Menteri Komunikasi dan Informatika, Jaksa Agung Republik Indonesia, dan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, disebutkan bahwa perbuatan yang dilarang dalam Pasal 28 ayat (2) UU ITE bentuk maupun tujuannya harus membangkitkan rasa kebencian dan/atau permusuhan atas dasar SARA, bukan karena akibatnya yang ‘membuat orang lain menjadi benci dengan orang yang berbuat’. Sehingga jika dikaitkan dengan kasus ini, promo minuman beralkohol gratis bagi pengunjung yang memiliki nama “Muhammad” dan “Maria”, tidak dapat dijerat dengan ketentuan pidana pasal ini. Penggunaan ketentuan pidana dalam UU ITE tanpa mengindahkan SKB Pedoman Implementasi UU ITE kembali memperlihatkan ketidakpatuhan penyidik terhadap ketentuan yang dibuat oleh Kapolri.
Keempat, terdapat serangkaian pelanggaran prosedur hukum acara pidana dalam penanganan kasus ini. Sebagaimana telah disinggung di atas, Penyidik pada Polres Metro Jakarta Selatan “mengamankan” EJD, NDP, DAD, EA, AAB dan AAM untuk diperiksa sebagai saksi. Dalam KUHAP tidak dikenal tindakan yang disebut “mengamankan”, yang dikenal adalah upaya paksa dalam bentuk penangkapan (Pasal 1 angka 20 KUHAP) yang hanya boleh dilakukan terhadap seorang tersangka. Sehingga berdasarkan fakta tersebut jelas bahwa 6 orang pekerja Holywings ditangkap sebelum ditetapkan sebagai tersangka.
Selain itu, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 menetapkan ketentuan mengenai penetapan tersangka yang tidak hanya berdasarkan 2 alat bukti, namun juga ditambah dengan pemeriksaan terhadap calon tersangkanya.
Kelima, dalam beberapa pemberitaan, ditemukan fakta bahwa pihak Holywings akan memberikan sanksi berat terhadap 6 pekerjanya yang ditetapkan sebagai tersangka. Sebagai pemberi kerja, Holywings tidak boleh hanya menekankan sanksi yang akan dijatuhkan, melainkan tetap harus memenuhi hak 6 Pekerja/Buruh tersebut, berdasarkan Pasal 53 ayat (1) PP 35/2021, 6 pekerja tersebut berhak atas bantuan kepada keluarga Pekerja/Buruh yang menjadi tanggungannya dalam hal mereka sedang ditahan pihak yang berwajib karena diduga melakukan tindak pidana.
Baca juga: “Polisi Konsisten jadi Aktor Pelanggar HAM”
Hukum pidana merupakan ultimum remedium atau upaya terakhir, yang seharusnya digunakan dalam hal upaya-upaya lain telah dicoba dan tidak memadai untuk menyelesaikan permasalahan sosial-kemasyarakatan. Dalam kasus ini, sudah sepatutnya digunakan terlebih dahulu upaya-upaya lain di luar hukum pidana seperti klarifikasi atau mediasi maupun upaya-upaya pada bidang hukum lain. Penggunaan instrumen hukum pidana sebagai langkah awal dan utama (premium remedium) justru menguatkan dugaan bahwa aparat penegak hukum tidak paham dan taat asas, serta dalam pelaksanaan kerja-kerjanya rentan akan tekanan massa.
Oleh karenanya berdasarkan hal-hal tersebut di atas, LBH Jakarta mendesak agar:
- Presiden dan DPR RI mengevaluasi penggunaan pasal-pasal karet mulai dari pasal ‘ujaran kebencian’, penodaan agama, dan kabar bohong yang kerap diterapkan secara eksesif sehingga melanggar kebebasan berekspresi dan berpendapat, serta menghapus ketentuan pasal tersebut sesuai dengan standar-standar HAM;
- Kapolri memerintahkan Kapolres Metro Jakarta Selatan untuk segera menghentikan penyidikan kasus yang menjerat 6 pekerja Holywings;
- Kapolri dan jajarannya mengevaluasi dan menetapkan sanksi tegas terhadap anggota Polres Metro Jakarta Selatan yang melakukan penyidikan kasus ini secara tidak profesional dengan melanggar Hukum Acara Pidana, Surat Edaran Kapolri Nomor: SE/2/11/2021, dan SKB Pedoman Implementasi UU ITE;
- Kapolri segera memastikan kepatuhan satuan kewilayahan (satwil) maupun satuan kerja (satker) yang berada di bawahnya terhadap Surat Edaran Kapolri Nomor: SE/2/11/2021 dan SKB Pedoman Implementasi UU ITE demi menjamin ketidakberulangan kasus-kasus serupa di kemudian hari;
- Pihak Holywings memastikan pemenuhan hak 6 pekerjanya yang sedang ditahan oleh Polres Metro Jakarta Selatan;
Jakarta, 27 Juni 2022
Hormat kami,
LEMBAGA BANTUAN HUKUM (LBH) JAKARTA
Dukung layanan bantuan hukum gratis dengan berdonasi ke SIMPUL LBH Jakarta melalui donasi.bantuanhukum.or.id, setiap donasi sangat berarti.