Majelis Hakim PN (Pengadilan Negeri) Pandeglang kembali menggelar sidang perkara kriminalisasi tuduhan penodaan agama terhadap terdakwa AB (39 th) pada Selasa (13/3). Dalam agenda persidangan kali ini, Jaksa Penuntut Umum berencana menghadirkan tiga ahli.
Sebagai ahli, jaksa menghadirkan Djaenudin Ketua MUI (Majelis Ulama Indonesia) Kab. Pandeglang selaku ahli agama, Aan Asphianto (dosen Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa) selaku ahli hukum pidana, dan Teguh Arifiandi (Kasubdit Penyidikan Kemenkominfo) selaku ahli ITE. Namun hanya ahli agama dan ahli hukum pidana yang bisa dihadirkan oleh jaksa di persidangan.
Dalam keterangannya di persidangan, Djaenudin mengakui bahwa sebelumnya ia pernah diperiksa oleh kepolisian terkait perkara kriminalisasi tuduhan penodaan agama. Selain itu, ia juga mengakui bahwa dirinya atas nama institusi MUI Kab. Pandeglang mengirimkan surat ke kepolisian.
“Sebelumnya saya diperiksa sebagai saksi di kepolisian. Itu benar. Kita juga kirim surat,” ungkap Djaenudin.
Mendengar keterangan tersebut, Pratiwi Febry selaku penasihat hukum terdakwa menyatakan keberatannya. Kepada Majelis Hakim, Pratiwi keberatan dengan dihadirkannya Djaenudin sebagai ahli agama di persidangan. Menurut Pratiwi, Djaenudin tak bisa dijadikan ahli karena ia merupakan pihak yang memberikan keterangan atas fakta peristiwa, yang lebih tepat diposisikan sebagai saksi fakta.
“Dalam KUHAP, diatur secara terpisah apa yang dimaksud dan siapa yang bisa menjadi saksi (fakta, red.) maupun ahli. Kalau dia dijadikan ahli dalam persidangan ini, kami menolaknya, karena ia terlibat dalam proses musyawarah MUI Pandeglang,” ujar Pratiwi di persidangan.
Selain itu, menurut Pratiwi Djaenudin dan MUI Pandeglang membuat dan mengirimkan surat keterangan kepada kepolisian terkait perkara kriminalisasi tuduhan penodaan agama yang menimpa terdakwa AB. Pratiwi beranggapan, bahwa bila kali ini Djaenudin diundang sebagai ahli, maka sudah tidak kredibel dan objektif, karena sejak awal perkara Djaenudin sudah berlaku bias dan subjektif.
Meski begitu, Majelis Hakim tetap memutuskan bahwa Djaenudin bisa dijadikan sebagai ahli agama di persidangan, dengan alasan yang bersangkutan adalah MUI Pandeglang dan memiliki latar belakang pendidikan agama.
Dalam pemeriksaan kepada Djaenudin, Yudhistira yang juga merupakan penasihat hukum terdakwa, dalam persidangan tersebut menanyakan kepada Djaenudin terkait model kesaksian dalam syahadat Islam.
“Dalam syahadat kan kata-katanya adalah, “Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah”. Nah, dalam syahadat itu yang dimaksud kata-kata “kesaksian” itu seperti apa? Apa harus menyaksikan dengan mata kepala atau bagaimana?”, tanya Yudhistira kepada Djaenudin
Terkait pertanyaan tersebut, Djaenudin menjawab bahwa kesaksian yang ada dalam kalimat syahadat tidak berarti kesaksian lewat mata kepala.
“Kesaksiannya bukan pakai mata kepala, tapi pakai keyakinan. Keyakinan hati. Istilahnya pakai mata batin,” jawab Djaenudin di persidangan.
Selain itu, Yudistira menanyakan perihal shalawat yang ditambahkan syair lain, yang kemudian dijawab oleh saksi ahli tidak boleh.
Setelah persidangan, menurut penasihat hukum terdakwa, keterangan ahli agama ini justru menguatkan argumen terdakwa di dalam BAP. Dalam BAP, terdakwa menyatakan syair yang ditambahkan dalam shalawat adalah mantra dan bukannya puji-pujian kepada Nabi Muhammad S.A.W.
Dalam pemeriksaan kedua terhadap Aan Asphianto sebagai saksi ahli, ia juga menyatakan sebelumnya sudah dimintai keterangan di kepolisian. Ia dimintai keterangannya terkait masalah delik pidana di dalam UU ITE Pasal 28 ayat (2) jo. Pasal 45a. Ia menjelaskan bahwa delik pidana dalam pasal tersebut adalah delik materil.
“Pasal 28 ayat (2) UU ITE terkait ujaran kebencian, itu delik materil. Artinya harus dibuktikan dulu sebab akibat yang ditimbulkan dari adanya suatu tidak pidana terkait pasal tersebut,” ujar Aan Asphianto dihadapan Majelis Hakim.
Penasihat hukum terdakwa dalam persidangan kali ini menunjukkan salah satu tulisan atas nama Aan Asphianto dalam Jurnal Al-Risalah UIN Jambi yang dirilis pada Juni 2017. Dalam tulisan tersebut, terungkap Aan Asphianto menjelaskan mengenai tindak pidana ujaran kebencian dalam UU ITE.
Pratiwi Febry menjelaskan bahwa dalam jurnal yang ditulis Aan Asphianto, disebutkan bahwa adanya Surat Edaran Kepala Polri Nomor SE/06/X/2015 tertanggal 8 Oktober 2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian, mengutamakan langkah-langkah permufakatan atau permusyawaratan bilamana ada satu kasus ujaran kebencian diantara para pihak. Pada intinya jalan damai harus ditempuh lebih dulu. Proses pidana adalah ultimum remedium, atau jalan paling akhir.
Dalam fakta persidangan sebelumnya, terdakwa dan pelapor, Solihin, juga saksi Dudi pernah menandatangani surat pernyataan yang pada intinya terdakwa bersedia keluar dari Kampung Gadog kalau memang warga meminta demikian. Artinya, sebelum dilakukan pelaporan ke kepolisian, sudah ada kesepakatan atau perdamaian antara terdakwa dengan pelapor, Solihin. Meski begitu, sekalipun sudah ada musyawarah mufakat antara kedua belah pihak, kasus ini justru terus berlanjut sampai ke persidangan.
Saat ditanyakan pendapatnya terkait pasal penodaan agama, Pasal. 156A KUHP, ahli Aan Asphianto menolak berpendapat dikarenakan belum pernah diperiksa terkait hal tersebut di kepolisian.
Sikap ahli yang demikian disayangkan oleh penasihat hukum terdakwa, karena pada dasarnya menurut penasihat hukum terdakwa pembahasan Pasal 156a KUHP masih dalam lingkup ilmu pengetahuan pidana yang seharusnya dikuasai oleh ahli dan sesuai dengan dakwaan.
Sama seperti agenda persidangan sebelumnya, ruang sidang dipenuhi oleh massa dari FPI dan ormas-ormas Islam Pandeglang. (Rasyid)