Surat Terbuka & Pernyataan Pers
Jakarta, 25 April 2021
Penangkapan terhadap dua (2) Pengabdi Bantuan Hukum LBH Jakarta yang sedang memberikan bantuan hukum oleh Kepolisian Resor Metro Jakarta Selatan pada 24 April 2021 adalah bentuk kesewenang-wenangan anggota Kepolisian yang melanggar hak imunitas pemberi bantuan hukum dalam memberikan pelayanan bantuan hukum yang dijamin dalam UU Bantuan Hukum dan UU Advokat. Oleh karenanya, LBH Jakarta mendesak Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk segera mengevaluasi tindakan melawan hukum kepolisian tersebut dan mencopot Kapolres Metro Jakarta Selatan dari Jabatannya karena diduga membiarkan terjadinya penangkapan sewenang-wenang terhadap pemberi bantuan hukum. Tindakan tersebut adalah perbuatan melawan hukum dan mencederai upaya negara menyediakan akses bantuan hukum bagi warganya. Semestinya, dalam menjalankan tugas dan kewajibannya Kepolisian harus tunduk dan patuh terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Tindakan sewenang-wenang Kepolisian Resor Jakarta Selatan ini tidak boleh terus terulang dan Kapolres Jakarta Selatan harus bertanggung jawab. Mengingat, peristiwa serupa juga terjadi tepat sebulan sebelumnya (24/3), dimana dua Pengabdi Bantuan Hukum LBH Jakarta, seorang Advokat dan paralegal juga ditangkap dan diperiksa secara sewenang-wenang oleh Anggota Kepolisian Polres Metro Jakarta Selatan ketika mengantarkan surat klarifikasi warga korban Penggusuran Paksa di kawasan Pancoran ke kantor Polres Jakarta Selatan.
Penangkapan Andrie Yunus dan Muhamad Ridwan Herdika, Asisten Pengabdi Bantuan Hukum LBH Jakarta dilakukan oleh Polres Metro Jakarta Selatan pada 24 April 2021 ketika keduanya sedang menjalankan tugas pemberian bantuan hukum sebagai pendamping hukum aksi unjuk rasa damai dan sah yang dilakukan oleh Jaringan Rakyat Miskin Kota/Urban Poor Consortium (UPC) dan Front Muda Revolusioner (FPR) Komite Pimpinan Jakarta di Gedung ASEAN, Jakarta Selatan. Aksi ini dilakukan dalam rangka memberikan dukungan solidaritas kepada masyarakat sipil Myanmar yang dibunuh, dianiaya, dan direpresi serta demokrasinya yang dirampas oleh Junta Militer Myanmar.
Beberapa waktu sebelum penangkapan, Aparat Gabungan TNI-POLRI bertindak arogan dengan menghalangi aksi penyampaian pendapat dimuka umum warga, kemudian membubarkan secara paksa massa aksi dan menyita semua alat peraga tanpa alasan yang jelas. Meski keduanya sebelumnya telah memperkenalkan diri dengan menunjukan Surat Tugas dan Kartu Tanda Pengenal kepada Petugas tetap ditangkap dan dipaksa masuk dalam mobil bersama 4 orang massa aksi untuk dibawa ke Polres Metro Jakarta Selatan pada saat beristirahat di Masjid Al-Azhar Sekitar Pukul 13.30 WIB.
LBH Jakarta mengecam keras tindakan represi aparat kepolisian terhadap pembubaran paksa aksi unjuk rasa dan penangkapan sewenang-wenang tersebut. Mengingat Konstitusi UUD 1945, UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia serta berbagai Konvensi Internasional yang sudah diratifikasi Indonesia telah menjamin tegas hak warga negara untuk mengekspresikan pendapatnya melalui aksi penyampaian pendapat di muka umum. Selain itu, UU Advokat dan UU Bantuan Hukum telah menjamin perlindungan Advokat dan pemberi bantuan hukum dalam pemberian bantuan hukum kepada warga. Hal tersebut jelas disebutkan dalam berbagai aturan berikut:
Pasal 9 ayat (1) Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 menyatakan:
Pasal 9 ayat (1) ICCPR:
“Setiap orang berhak atas kemerdekaan dan keamanan pribadi. Tidak seorang pun dapat ditangkap atau ditahan secara sewenang-wenang. Tidak seorang pun dapat dirampas kebebasannya kecuali berdasarkan alasan-alasan yang sah, dan sesuai dengan prosedur yang ditetapkan oleh hukum.”
Peran pengacara/pemberi bantuan hukum dalam mencapai tujuan bangsa-bangsa beradab dalam menjamin perlindungan hak asasi manusia telah dirumuskan dalam the Preamble of UN Basic Principles on Role of The Lawyers, Adopted by the Eighth United Nations Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, Havana, Cuba, 27 August to 7 September 1990 yang menyatakan:
“…adequate protection of the human rights and fundamental freedoms to which all persons are entitled, be they economic, social and cultural, or civil and political, requires that all persons have effective access to legal services provided by an independent legal profession.”
Selanjutnya demi mencapai tujuan ini, Pasal 16 Prinsip ini ditegaskan kewajiban pemerintah untuk memastikan pengacara dapat menjalankan tugas profesionalnya dengan bebas tanpa tekanan ataupun gangguan, termasuk kriminalisasi yang menyatakan,
“Governments shall ensure that lawyers (a) are able to perform all of their professional functions without intimidation, hindrance, harassment or improper interference;… (c) shall not suffer, or be threatened with, prosecution or administrative, economic or other sanctions…”
“Pemerintah harus memastikan bahwa pengacara (a) dapat menjalankan semua fungsi profesional mereka tanpa intimidasi, hambatan, pelecehan atau campur tangan yang tidak semestinya;… (c) tidak akan menderita, atau diancam dengan, tuntutan atau sanksi administratif, ekonomi atau lainnya … ”
Indonesia sebagai anggota komunitas hak asasi manusia dunia wajib memenuhi jaminan-jaminan dan kesepakatan yang telah dirumuskan dalam prinsip ini serta pelapor khusus untuk independensi pengacara berhak mengawasi pelaksanaan resolusi ini.
Bahwa selanjutnya, Penangkapan dan dilakukannya pemeriksaan terhadap 2 PBH LBH Jakarta secara sewenang-wenang oleh Polres Jakarta Selatan adalah bentuk Pelanggaran Hukum karena keduanya sedang melakukan tugas dan kewajiban sebagaimana dijamin dalam Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum Jo. Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat:
Berdasarkan Pasal 15 UU Advokat:
“Advokat bebas dalam menjalankan tugas profesinya untuk membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya dengan tetap berpegang pada kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan”.
Sebagaimana Penjelasan Pasal 14 UU Advokat:
“Yang dimaksud dengan “bebas” adalah tanpa tekanan, ancaman, hambatan, tanpa rasa takut, atau perlakuan yang merendahkan harkat martabat profesi. Kebebasan tersebut dilaksanakan sesuai dengan kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan.”
Pasal 16 UU Advokat:
“Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik untuk kepentingan pembelaan Klien di dalam maupun di luar sidang pengadilan.”
Selanjutnya Pemberi Bantuan Hukum wajib memberikan bantuan hukum dan dijamin dan dilindungi dalam Pasal 10 huruf e Jo. Pasal 11 UU Bantuan Hukum:
Pasal 10 huruf e:
“Pemberi Bantuan Hukum berkewajiban untuk:
… e. memberikan Bantuan Hukum kepada Penerima Bantuan Hukum… ”
Pasal 11:
“Pemberi Bantuan Hukum tidak dapat dituntut secara perdata maupun pidana dalam memberikan Bantuan Hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang dilakukan dengan iktikad baik di dalam maupun di luar sidang pengadilan sesuai Standar Bantuan Hukum berdasarkan peraturan perundang-undangan dan/atau Kode Etik Advokat”.
Untuk diketahui, Penangkapan sewenang-wenang terhadap Pengabdi Bantuan Hukum tidak hanya dialami oleh LBH Jakarta, pada hari dan tempat yang sama 3 orang Paralegal Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Jakarta juga mengalami Penangkapan, kemudian sebelumnya pada hari Jum’at 23 April 2021, 2 PBH LBH Yogyakarta juga ditangkap dan dianiaya oleh Kepolisian pada saat mendampingi Warga Desa Wadas, Purworejo, Jawa Tengah.
Berdasarkan hal-hal diatas LBH Jakarta mendesak;
- Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia selaku pemegang komando tertinggi di tubuh Kepolisian memerintahkan kepada seluruh Jajaran untuk menghentikan segala tindakan penangkapan sewenang-wenang, kriminalisasi ataupun tindakan penyalahgunaan kekuasaan lainnya terhadap Pengabdi Bantuan Hukum;
- Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia memerintahkan seluruh jajaran dibawahnya untuk menghormati hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku khususnya hak advokat dan pemberi bantuan hukum yang menjalankan kerja-kerja bantuan hukum yang dijamin dan dilindungi oleh Undang-undang No. 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum Jo. Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat;
- Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia harus segera mengevaluasi dan memastikan tidak terjadi lagi pengulangan pelanggaran serupa dengan memerintahkan kepada kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (DIV PROPAM) untuk memproses seluruh pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh seluruh jajaran kepolisian RI dan secara khusus, terhadap Kepolisian Resor Metro Jakarta Selatan dalam Penangkapan sewenang-wenang terhadap Pengabdi Bantuan Hukum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) – LBH Jakarta dan jika ditemukan Pelanggaran KAPOLRI harus mencopot KAPOLRES METRO Jakarta Selatan dari Jabatannya;
- Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) RI, Ketua OMBUDSMAN RI, Ketua Komisi Kepolisian Nasional (KOMPOLNAS) RI secara aktif melakukan Pengawasan dan Evaluasi terhadap Tindakan-Tindakan Penyalahgunaan wewenang Kepolisian yang menghalangi Para Pengabdi Bantuan Hukum dalam menjalankan tugas dan kewajiban menyediakan acces to justice bagi masyarakat miskin, buta hukum dan tertindas;
- Presiden dan Ketua DPR-RI mengevaluasi Kepolisian RI dan seluruh satuan wilayah kerjanya yang telah melakukan pelanggaran yang berujung pada tidak terlindunginya hak asasi manusia untuk mendapatkan bantuan hukum dalam rangka menjalankan kontrol dan partisipasi publik yang sah terhadap penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).
Demikian surat terbuka dan pernyataan pers ini kami sampaikan, atas perhatian dan kerjasamanya kami ucapkan terima kasih.
Hormat kami,
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta
Salinan Surat Terbuka Ini Kami Sampaikan Juga Kepada:
- Joko Widodo selaku Presiden Republik Indonesia;
- Puan Maharani selaku Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia;
- Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo selaku Kepala Kepolisian Republik Indonesia;
- Diego García-Sayán selaku Special Rapporteur on the Independence of Judges and Lawyers (Pelapor Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Independensi Hakim dan Pengacara);
- Ahmad Taufan Damanik selaku Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia;
- Mokh Najih,selaku Ketua Ombudsman RI;
- Mahfud MD; selaku Ketua Kompolnas RI.