Upaya pembungkaman terhadap suara kritis kembali terjadi. Lagi-lagi pasal karet pencemaran nama baik menjadi ‘senjata’ kriminalisasi. Rabu, 6 September 2017 yang lalu jurnalis dan aktivis kebebasan berekspresi Dandhy Dwi Laksono dilaporkan oleh Dewan Pengurus Daerah Relawan Perjuangan Demokrasi (Repdem) Jawa Timur, organisasi sayap PDI Perjuangan, ke Kepolisian Daerah Jawa Timur dengan tuduhan menghina dan menebarkan kebencian pada Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dan Presiden Joko Widodo. Dandhy dilaporkan ke polisi dengan menggunakan delik pasal UU ITE.
Kasus Dandhy ini menambah panjang deretan kemerdekaan warga negara untuk berpendapat dan berekspresi di Indonesia yang direpresi. Kritik warga terhadap penguasa ditanggapi dengan pelaporan pidana ke polisi. Ekspresi politik dimaknai ancaman bagi pemerintah. Opini warga dilawan dengan upaya pidana.
Merujuk pada data Safenet, sampai dengan Mei 2017, dari 192 kasus yang dicatat, 44 persen orang yang dilaporkan adalah orang awam, termasuk buruh, karyawan, dan ibu rumah tangga. Sementara itu, ada 23 orang aktivis (11 persen) yang menjadi pihak terlapor . 69 Pelapornya adalah pejabat (Safenet Indonesia).Sementara, pejabat serta aparatur negara (dari polisi, kepala instansi, hingga menteri) hanya pernah 17 kali (8 persen) dilaporkan. Pasal ITE yang paling banyak digunakan adalah Pasal 27 ayat (3) soal pencemaran nama baik, sebanyak 149 kasus (77 persen).
Di antara 23 kasus tersebut, dua di antaranya menimpa Gendo, ketua ForBALI, yang dilaporkan Ormas Posko Perjuangan Rakyat (Pospera). Gendo dilaporkan karena kritik pedasnya dalam advokasi penolakan reklamasi Teluk Benoa, Bali. Ada juga kasus Haris Azhar, saat jadi Koordinator KontraS, dilaporkan Polri, BNN, TNI dan Johnly Nahampun ke polisi dengan pasal pencemaran nama baik karena mempersoalkan mafia narkoba yang melibatkan aparat negara.
Padahal kebebasan berpendapat dan berekspresi adalah wujud nyata partisipasi warga negara yang mesti dihormati dan dirawat oleh pemerintahan demokratis. Opini seharusnya dilawan dengan opini. Demokrasi tidak bisa didirikan di atas pembungkaman kebebasan atas warga untuk berpendapat dan berekspresi.
Untuk itu, kami masyarakat sipil Indonesia berkumpul untuk menyatakan sikap dan tuntutan:
Pertama, menyerukan dan menyatakan dukungan kepada seluruh warga negara khususnya kepada Dandhy Laksono untuk tidak ragu terus merawat demokrasi dengan tetap bersuara kritis, menggunakan hak konstitusional warga negara untuk berekspresi dan menyampaikan pendapat.
Kedua, mendesak Presiden Jokowi dan DPR RI untuk segera mencabut pasal-pasal karet UU ITE dan Undang-undang Hukum Pidana yang digunakan membungkam demokrasi dan kebebasan berpendapat. Pasal-pasal yang dimaksud adalah Pasal 27 ayat 3, pasal 28 ayat 2 dan pasal 29 UU ITE, maupun Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP;
Ketiga, mendesak Kepolisian dan Kejaksaan Republik Indonesia untuk menghentikan kasus terkait aktivis-aktivis yang dijerat dengan pasal-pasal karet UU ITE dan mendorong penyelesaian melalui mediasi atau dialog.
Keempat, menyerukan pihak-pihak yang melaporkan warga negara menggunakan UU ITE untuk berhenti menyalahgunakan hukum demi kepentingan pribadi, kelompok atau politik kekuasaan yang jauh dari nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Tindakan membungkam kebebasan berbicara orang lain dengan menggunakan Undang-undang sesungguhnya adalah tindakan menggali kubur untuk kebebasan berbicara semua orang di negeri ini.
Jakarta, 08 September 2017
Aliansi Jurnalis Independen, Imparsial, Kontras, LBH Jakarta, Pemuda Muhamamdiyah, Safenet, YLBHI, LBH Pers, ICJR, Amnesty Internasional, LBH Bandung, Indonesia Speleological Society, Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng, HRWG dan Paguyuban Korban UU ITE.