26 Tahun Konvensi Migran sudah lahir sejak 19 Desember 1990, buruh migran Indonesia masih rentan mengalami penyiksaan, penganiayaan, dan pengabaian akan hak-haknya. Meskipun kontribusi buruh migran Indonesia buruh migran Indonesia mengalami kenaikan melalui remitansi tiap tahunnya seperti yang dilansir oleh BNP2TKI, namun jumlahnya berbanding terbalik terhadap upaya perlindungan Buruh Migran Indonesia, hal ini terlihat dari pengaduan kasus yang masuk kepada Organisasi anggota Jaringan Buruh Migran.
Solidaritas Perempuan sejak tahun 2012- 2015 menangani kasus kekerasan dan pelanggaran hak perempuan buruh migran. Mereka mengalami ekspoitasi jam kerja, pemotongan gaji/ gaji tidak dibayar, paspor ditahan majikan, kekerasan fisik, psikis dan seksual, kriminalisasi hingga penghilangan nyawa. Berbagai tersebut tidak terlepas dari kebijakan migrasi di Indonesia.
Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) mencatat ada 207 kasus overcharging di Hongkong, Singapura dan Taiwan, yang mana buruh migran harus membayar biaya penempatan yang berlebih, hal ini disebabkan karena terbuka besarnya peran swasta terkait penempatan buruh migran, dan minimnya peran pemerintah.
Lebih Lanjut Savitri, Sekretaris Nasional Jaringan Buruh Migran menyampaikan bahwa kebijakan pemerintah hingga saat ini masih belum berpihak perlindungan buruh migran karena masih menempatkan Buruh Migran sebagai komoditas ekonomi, hal ini tercermin dari sistem migrasi di bawah UU 39/2004 yang mengedepankan tata niaga penempatan buruh migran daripada fungsi perlindungan.
Selain itu proses penegakan hukum terhadap PPTKIS yang melakukan pelanggaran terhadap Buruh Migran Indonesia masih lemah. Oky Wiratama selaku Pengacara Publik LBH Jakarta menyatakan bahwa pihak kepolisian sangat sulit menindak tegas dan memberikan sanksi pidana terhadap PPTKIS, karena pelanggaran pidana yang selama ini dilakukan dianggap sebagai pelanggaran administratif.
Bertepatan dengan Hari Buruh Migran Internasional 2016, Jaringan Buruh Migran kembali mengingatkan dan mendesak para pengambil kebijakan untuk:
1. Serius dalam membahas isi Revisi UU 39 Tahun 2004 di tahun 2017 sesuai dengan prinsip perlindungan secara menyeluruh sesuai dengan Konvensi PBB 1990 dan CEDAW;
2. Segera meningkatkan kapasitas aparat penegak hukum khususnya Kepolisian di dalam menangani perkara-perkara buruh migran;
3. Mengoptimalkan dan menguatkan peran perlindungan sejak di daerah asal dengan mereview dan mencabut sejumlah peraturan di daerah yang bertentangan dengan prinsip HAM;
4. Segera meratifikasi Konvensi ILO 188 tentang pekerjaan dalam Penangkapan Ikan dan Memasukkan ABK dalam definisi di revisi UU 39/2004;
5. Mendesak pemerintah melakukan pengawasan dan penindakan tegas kepada pelaku pembebanan biaya tinggi yang dilakukan oleh swasta;
6. Segera mendorong pemerintah provinsi dan kabupaten untuk memberikan layanan satu atap dengan semangat otonomi daerah;
7. Memperkuat sistem pendataan dan sistem perlindungan yang terintegrasi mulai dari desa hingga ke luar negeri dengan mandar perlindungan kepada Buruh Migran Indonesia;
8. Segera Bahas dan sahkan RUU PPRT dan Konvensi 189 tentang pekerjaan yang layak bagi PRT karena mayoritas Buruh Migran adalah Pekerja Rumah Tangga (PRT) dan membutuhkan perlindungan tidak hanya di luar negeri tapi di dalam negeri.
Jakarta, 19 Desember 2016
Jaringan Buruh Migran (JBM)
SBMI, KSPI, KSPSI, Aspek Indonesia, FSPSI Reformasi, ASETUC, IMWU Belanda, KOTKIHO, BMI SA, Serantau Malaysia, UNIMIG, HRWG, JALA PRT, LBH JAKARTA, LBH APIK JAKARTA, ADBMI Lombok, LBH FAS, Migrant Institute, PBHI JAKARTA, Solidaritas Perempuan, INFEST Yogyakarta, TURC, Seruni Banyumas, PBH-BM, Migrant Aids Indonesia, Institute for Ecosoc Rights, JBM Jawa Tengah