Kasus Dedi (43), tukang ojek yang menjadi korban salah tangkap, menjadi cermin penegakan hukum di Indonesia. Salah satunya proses peradilan dalam pencarian fakta sebenarnya pada persidangan.
Jaksa penuntut umum tak luput dari perhatian soal mencari fakta-fakta seputar kasus Dedi. Jaksa penuntut dinilai tak bisa serta-merta membaca perkara dari berita acara pemeriksaan (BAP) polisi semata.
“Penutut umum hanya berpegang pada berita acara. Seharusnya mereka melihat secara faktual. Berita acara bisa terjadi salah ketik,” kata kriminolog Universitas Indonesia, Ferdinand T Andi Lolo, saat dihubungi Kompas.com di Jakarta, Kamis (30/7/2015).
Mantan jaksa ini menyebutkan, meskipun jaksa tidak bisa datang langsung melihat kejadian, jaksa perlu melihat hal lain saat persidangan. Salah satunya untuk mendapat keterangan substansi dan esensial.
“Kenapa jaksa tidak membuka mata untuk melihat hal itu secara obyektif, misalnya memberikan kesempatan terdakwa untuk menghadirkan saksi yang meringankan,” kata Ferdinand.
Proses menghadirkan saksi yang meringankan tersebut dilakukan untuk langkah pengecekan silang dengan kejadian sebenarnya. Dengan demikian, jaksa tidak seakan-akan mengikuti berita acara dari polisi.
“Ini kan cenderung mengikuti skenario polisi saja,” ujar Ferdinand.
Pada 18 September 2014 lalu, keributan terjadi di pangkalan ojek di sekitar Pusat Grosir Cililitan (PGC). Dua sopir angkot berkelahi karena berebut penumpang.
Tukang ojek yang ada di pangkalan pun berupaya melerainya. Namun, karena sakit hati, salah satu sopir angkot pulang, dan kembali ke lokasi membawa senjata. Ia pun dikeroyok oleh sejumlah tukang ojek dan sopir angkot lainnya di tempat tersebut.
Sopir angkot tersebut pun tewas dalam peristiwa itu. Tujuh hari setelahnya, petugas dari Kepolisian Resor Metro Jakarta Timur mengejar orang yang menewaskan sopir angkot tersebut.
Pelaku diketahui bernama Dodi, yang bekerja sebagai sopir angkot. Namun, bukannya menangkap Dodi, polisi justru menangkap Dedi. Padahal, saat kejadian, Dedi sudah pulang ke rumahnya di kawasan Tebet, Jakarta Selatan.
Namun, proses hukum tetap berjalan, dan pria itu divonis bersalah oleh hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Ia pun mendekam di Rutan Cipinang.
Kendati demikian, Nurohmah, istri Dedi, tidak menyerah. Ia meminta bantuan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) untuk mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Jakarta.
Belakangan, hakim Pengadilan Tinggi Jakarta mengabulkan banding LBH. Dedi pun dinyatakan tidak bersalah dan dibebaskan. Melalui rilis No.142/PID/2015/PT.DKI Jo No.1204/Pid.B/2014/PN.Jkt.Tim, hakim memutuskan bahwa Dedi tidak bersalah, dan tuntutan jaksa penuntut umum dinyatakan tidak sah. (kompas.com)