Pada Sabtu (16/10) kemarin, genap empat tahun Anies Baswedan dilantik sebagai Gubernur DKI Jakarta periode masa jabatan 2017-2022. Bertepatan dengan momentum ini, LBH Jakarta meluncurkan kertas posisi bertajuk “Rapor Merah 4 Tahun Kepemimpinan Anies Baswedan Di Ibukota”.
Dalam kertas posisi tersebut, LBH Jakarta menyoroti sepuluh permasalahan yang berangkat dari kondisi faktual warga DKI Jakarta dan refleksi advokasi LBH Jakarta selama empat tahun masa kepemimpinan Gubernur Anies Baswedan di DKI Jakarta. Pertama, buruknya kualitas udara Jakarta yang sudah melebihi Baku Mutu Udara Ambien Nasional (BMUAN) sebagaimana yang ditetapkan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 dan Baku Mutu Udara Daerah Provinsi DKI Jakarta (BMUA DKI Jakarta) sebagaimana yang ditetapkan dalam Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 551 Tahun 2001 tentang Penetapan Baku Mutu Udara Ambien dan Baku Tingkat Kebisingan di Provinsi DKI Jakarta. Hal ini disebabkan oleh abainya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk melakukan langkah-langkah pencegahan dan penanggulangan.
Kedua, sulitnya akses air bersih di Jakarta akibat swastanisasi air. Permasalahan ini utamanya dapat ditemui pada pinggiran-pinggiran kota, wilayah padat penduduk, dan lingkungan tempat tinggal masyarakat tidak mampu di Ibukota. Selain aksesnya yang sulit, kualitas air di DKI Jakarta kian hari kian buruk, pasokan air yang kerap terhambat akibat kecilnya daya jangkau air, mutu/kualitas air yang buruk, dan memburuknya kualitas air tersebut tentu saja akan berakibat pada air yang tidak layak digunakan atau dikonsumsi oleh masyarakat.
Ketiga, penanganan banjir yang belum mengakar pada beberapa penyebab banjir. Banjir Jakarta sebenarnya bukan hanya satu tipe banjir saja, namun terdapat tipe banjir hujan lokal; banjir kiriman hulu; banjir rob; banjir akibat gagal infrastruktur; dan banjir kombinasi. Beberapa tipe banjir Jakarta tersebut masih disikapi Pemprov DKI sebagai banjir karena luapan sungai, sehingga fokus penanganan ada pada aliran sungai di wilayah Jakarta yakni menghilangkan hambatan pada aliran sungai dari hulu ke hilir di wilayah DKI Jakarta dan masih tetap cenderung pada pengerasan (betonisasi). Pada beberapa Peraturan Kepala Daerah pun masih ditemukan potensi penggusuran dengan adanya pengadaan tanah di sekitar aliran sungai.
Keempat, penataan kampung kota yang belum partisipatif. Community Action Plan (CAP) merupakan rencana aksi penataan Kampung Kota dengan pendekatan partisipasi Warga. Rencana aksi ini merupakan salah satu dari 23 janji kampanye Anies Baswedan saat menjadi kontestan dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017 silam. Salah satu contoh penerapan penataan Kampung Kota dengan menggunakan pendekatan CAP adalah Kampung Akuarium, namun dalam penerapannya tidak seutuhnya memberikan kepastian hak atas tempat tinggal yang layak bagi warga Kampung Akuarium.
Kelima, ketidak seriusan Pemprov DKI Jakarta dalam memperluas akses terhadap bantuan hukum. Hal ini dapat dilihat dengan kekosongan aturan mengenai bantuan hukum pada level Peraturan Daerah di DKI Jakarta. Kekosongan aturan inilah melahirkan berbagai dampak seperti lepasnya kewajiban pendanaan oleh Pemprov DKI Jakarta bagi bantuan hukum melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), dan penyempitan akses bantuan hukum bagi masyarakat miskin, tertindas dan buta hukum.
Keenam, sulitnya memiliki tempat tinggal di Jakarta. Tempat tinggal sebagai hak dan kebutuhan dasar setiap manusia seperti tidak berlaku di Jakarta. Pada awal masa kepemimpinannya, Anies Baswedan mengeluarkan kebijakan penyelenggaraan rumah uang muka atau DP 0% ditargetkan membangun sebanyak 232.214 unit, kemudian dipangkas tajam sehingga ditargetkan hanya membangun 10 ribu unit. Penyelenggaraan rumah pada awalnya diperuntukan kepada warga berpenghasilan strata pendapat 4-7 juta, kemudian diubah menjadi strata pendapatan 14 juta. Perubahan kebijakan yang cukup signifikan itu telah menunjukan ketidakseriusan Gubernur-Wakil Gubernur DKI Jakarta untuk memenuhi janji politiknya semasa kampanye.
Ketujuh, belum ada bentuk intervensi yang signifikan dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terkait permasalahan yang menimpa masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil, padahal wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil merupakan wilayah dengan karakteristik dan kompleksitas kerentanan yang jauh berbeda dengan masyarakat yang tinggal di wilayah lain. Masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil harus berhadapan dengan ancaman terhadap kelestarian ekosistem dan konflik agraria.
Alih-alih menetapkan kebijakan yang menempatkan warga pesisir dan pulau-pulau kecil sebagai aktor utama, draf Raperda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K) DKI Jakarta yang disusun Pemprov DKI justru memuat ketentuan yang berpotensi mengakselerasi kerusakan ekosistem dan perampasan ruang hidup dan penghidupan masyarakat.
Kedelapan, penanganan pandemi yang masih setengah hati. Sebagaimana diketahui, wilayah DKI Jakarta merupakan episentrum nasional penyebaran Covid-19. Untuk itu diperlukan bentuk penanganan yang tepat guna dan tepat sasaran. Sayangnya capaian 3T Pemprov DKI justru masih rendah di masa krisis. Pelaksanaan vaksinasi untuk kelompok prioritas juga lambat, dan justru ditemukan banyak penyelewengan booster vaksin untuk pihak tidak berhak.
Pemprov DKI Jakarta juga cenderung nekat melakukan pelonggaran yang terlalu dini dengan pembukaan mal pada Agustus 2021 yang belakangan telah mengizinkan anak di bawah 12 tahun hingga pelaksanaan Pembelajaran Tatap Muka Terbatas (PTMT) yang dilakukan terburu-buru tanpa syarat selesainya vaksinasi dan positivity rate Jakarta masih di atas 5%. Hal ini diperburuk dengan buruknya kinerja pengawasan Pemprov DKI di sektor pengawasan fasilitas kesehatan, ketenagakerjaan dan pendidikan terbukti dengan banyaknya pengaduan masyarakat yang tidak ditindaklanjuti. Di situasi kedaruratan kesehatan ini, Pemprov DKI belum memprioritaskan aspek kesehatan masyarakat ketimbang pertumbuhan ekonomi
Kesembilan, penggusuran paksa masih menghantui warga Jakarta. Ironisnya, perbuatan tersebut dijustifikasi dengan menggunakan ketentuan peraturan perundang-undangan yang tidak memiliki perspektif HAM. Peraturan Gubernur DKI Nomor 207 Tahun 2016 Tentang Penertiban Pemakaian/Penguasaan Tanah Tanpa Izin Yang Berhak merupakan salah satu ketentuan yang digunakan oleh Pemprov DKI untuk melakukan penggusuran dengan dalih memberikan kepastian hukum pelaksanaan penertiban terhadap pemakaian/penguasaan tanah tanpa izin yang berhak. Pergub yang ditetapkan pada masa Gubernur Basuki T. Purnama tersebut justru dipertahankan dan digunakan hingga saat ini oleh Pemprov DKI Jakarta dalam beberapa kasus penggusuran paksa yang menimpa warga Menteng Dalam, Pancoran Buntu II, Kebun Sayur, Kapuk Poglar, Rawa Pule, Guji Baru, dan Gang Lengkong Cilincing.
Kesepuluh, reklamasi yang masih terus berlanjut. Ketidakkonsistenan mengenai penghentian reklamasi dimulai ketika pada 2018 Anies menerbitkan Peraturan Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 58 Tahun 2018 tentang Pembentukan, Organisasi, dan Tata Kerja Badan Koordinasi Pengelolaan Reklamasi Pantai Utara Jakarta (“Pergub DKI 58/2018”) yang menjadi indikasi reklamasi masih akan berlanjut dengan pengaturan mengenai perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan reklamasi serta penyebutan pengembang reklamasi sebagai “perusahaan mitra”.
Problem lain muncul ketika pencabutan izin 13 pulau reklamasi dilakukan secara tidak cermat dan segera. Pemprov DKI Jakarta tidak memperhatikan syarat-syarat yang diperlukan untuk mencabut izin pelaksanaan reklamasi bagi perusahaan-perusahaan. Selain itu pencabutan tanpa didahului transparansi dan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). Ketiadaan kajian tersebut terlihat kompromistis karena Anies tetap melanjutkan 3 pulau lainnya. Walhasil gelombang gugatan balik dari pengembang pun terjadi. Pemprov DKI Jakarta menang di tingkat Mahkamah Agung untuk gugatan Pulau H, namun kalah di gugatan lain seperti Pulau F dan Pulau G. Ketidakcermatan Pemprov dalam pencabutan izin tentunya mengancam masa depan penghentian reklamasi dan menjadikan pencabutan izin reklamasi sebagai gimmick belaka.
Berdasarkan uraian permasalahan di atas, LBH Jakarta mendesak Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan untuk:
- Membuat strategi dan rencana aksi pengendalian pencemaran udara yang melindungi kesehatan manusia lingkungan dan ekosistem termasuk kesehatan populasi yang sensitif berdasarkan pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi secara terfokus, tepat sasaran, dan melibatkan partisipasi publik;
- Menghentikan swastanisasi air DKI Jakarta
- Melakukan penanganan banjir Jakarta sesuai dengan penyebab banjir tanpa penggusuran;
- Tidak melakukan penggusuran paksa terhadap warga dan usaha rakyat kecil, serta memberikan keamanan bermukim bagi warga;
- Mengesahkan Peraturan Daerah tentang Bantuan Hukum yang sesuai dengan kebutuhan warga DKI Jakarta secara partisipatif;
- Menunda pengesahan RZWP3K sebelum adanya KLHS dan RSWP3K yang sesuai dengan prinsip-prinsip lingkungan hidup serta pelibatan masyarakat secara partisipatif;
- Meningkatkan 3T di Provinsi DKI Jakarta, menunda pelaksanaan PTMT, menjamin pembebasan biaya perawatan bagi orang yang dirawat karena Covid-19, serta memastikan pelaksanaan vaksinasi secara adil dan sesuai skala prioritas;
- Memastikan hak atas tempat tinggal warga di DKI Jakarta, tidak melakukan penggusuran paksa, memulihkan hak-hak para korban penggusuran paksa, serta mencabut Peraturan Gubernur Nomor 207 Tahun 2016;
- Mencabut seluruh izin pelaksanaan reklamasi 17 pulau di DKI Jakarta.
Jakarta, 18 Oktober 2021
LEMBAGA BANTUAN HUKUM (LBH) JAKARTA