Rilis Pers Catatan Akhir Tahun LBH Jakarta Isu Perkotaan dan Masyarakat Urban
20.784 Korban Pelanggaran HAM dalam 1 Tahun, Jakarta Kota Tidak Ramah HAM Bidang Perkotaan dan Masyarakat Urban LBH Jakarta
Oleh:
Pengacara Publik LBH Jakarta: Alldo Fellix Januardy, Atika Yuanita Paraswaty, Handika Febrian, Matthew Michele Lengu, Oky Wiratama, Tommy Albert Tobing, Yunita Purnama
Pada tahun 2015, Bidang Perkotaan dan Masyarakat Urban LBH Jakarta menerima 103 pengaduan—dari total 1322 pengaduan—kasus pelanggaran HAM dengan jumlah korban ketidakadilan mencapai 20.784 orang. Jumlah ini meningkat hingga mencapai 3 (tiga) kali lipat jika dibandingkan dengan jumlah pelanggaran HAM yang diadukan kepada LBH Jakarta pada tahun 2013 dan 2014, yaitu 6.695 orang dan 6.989 orang. Peningkatan ini diakibatkan kebijakan penggusuran paksa yang dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta di bawah kepemimpinan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama. Di sisi lain, pelanggaran hak atas kemerdekaan berekspresi dan hak atas lingkungan hidup yang baik juga merupakan pelanggaran yang dominan.
Tahun 2011 LBH Jakarta mendapatkan 74 pengaduan dengan 2130 korban, tahun 2012, 61 pengaduan dengan 14942 korban, tahun 2013, 90 pengaduan dengan 6695 korban, tahun 2014, 114 pengaduan dengan 6989 korban, dan pada tahun 2015, 103 pengaduan dengan 20748 korban.
Maraknya Kasus Penggusuran Paksa
Di antara kebijakan-kebijakan melanggar HAM yang dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, penggusuran paksa menelan korban terbanyak. LBH Jakarta mencatat telah terjadi penggusuran paksa terhadap sedikitnya 3433 Kepala Keluarga (KK) dan 433 Unit Usaha sampai bulan Agustus 2015[1] – di dalamnya termasuk korban penggusuran paksa dari warga Kampung Pulo yang sempat menarik perhatian publik beberapa waktu lalu dan jumlah ini akan terus bertambah menyusul rencana penggusuran oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menjelang akhir tahun. Peristiwa ini juga tercermin dari banyaknya laporan kasus penggusuran paksa yang masuk ke meja LBH Jakarta tahun ini. Tercatat, terdapat 47 pengaduan terkait pelanggaran terhadap hak atas tanah dan tempat tinggal dan 13 pengaduan terkait hak atas usaha dan ekonomi, dengan total korban mencapai 17.423 orang.
Privatisasi Pengelolaan Air oleh Asing
Hak 9 juta warga DKI Jakarta atas akses air bersih juga terancam, menyusul peristiwa pembangkangan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk merebut kembali kepemilikan perusahaan air dari milik swasta menjadi milik negara sesuai dengan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Kebijakan ini juga dilanggar oleh Presiden Joko Widodo yang, melalui paket kebijakan ekonomi VI, justru membenarkan terjadinya pengelolaan air oleh pihak swasta. Padahal, putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 527/Pdt.G/2012/PN.Jkt.Pst dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013 telah menyatakan bahwa air merupakan bagian dari HAM dan tidak dapat diserahkan pengelolaannya kepada pihak lain selain negara. Hal ini juga sejalan dengan ketentuan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945.[2][3] Akibat pembangkangan ini, 9 juta warga DKI Jakarta tidak dapat memperoleh air bersih berkualitas dengan harga yang murah untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka akan air. Saat ini, kasus tersebut masih berada dalam proses banding di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.
Pengekangan Demokrasi Hingga Kerusakan Lingkungan
Terdapat pelanggaran HAM yang juga dominan terjadi di perkotaan sepanjang tahun 2015, yaitu pengekangan terhadap kebebasan berekspresi dan juga pengrusakan lingkungan. Terkait konteks pelanggaran hak atas kebebasan berekspresi, pada level mikro, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah melakukan pembungkaman terhadap Ibu Retno, seorang guru anggota Federasi Serikat Independen (FSGI) yang dipecat dari posisinya sebagai kepala sekolah hanya karena mengutarakan pendapat mengenai carut marut pelaksanaan Ujian Nasional di media massa. Pada level makro, hak 9 juta warga DKI Jakarta atas kebebasan berpendapat juga dirampas dengan penerbitan Peraturan Gubernur Nomor 228 tahun 2015 tentang Pengendalian Penyampaian Pendapat di Muka Umum yang membatasi lokasi demonstrasi hanya diperbolehkan pada tiga titik yang ditunjuk oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, yaitu Alun-Alun Demokrasi MPR/DPR, Parkir Timur Senayan, dan Silang Selatan Monumen Nasional. Meski telah direvisi dengan Peraturan Gubernur Nomor 232 tahun 2015, pokok-pokok pengaturan mengenai pembatasan demokrasi masih terkandung di dalam peraturan yang baru.
Pada aspek pelanggaran hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, melalui Gubernur Ahok, mengeluarkan kebijakan yang tidak konsisten dengan janji kampanyenya sebelum terpilih sebagai Gubernur DKI Jakarta, yaitu menolak pembangunan 6 ruas tol ibukota. Terlebih, Ahok juga menunjukkan sikap pro-pemodal dan anti terhadap kesejahteraan masyarakat kecil dengan menyetujui pelaksanaan proyek reklamasi Teluk Jakarta. Selain kedua kebijakan tersebut merusak lingkungan, perwujudan kebijakan 6 ruas tol tentu akan semakin membuat posisi rakyat miskin kota semakin termarjinalkan. Sejalan dengan itu, pelaksanaan proyek reklamasi juga akan mengabaikan kesejahteraan nelayan untuk memperoleh mata pencaharian yang layak.
Tuntutan LBH Jakarta
Berdasarkan uraian di atas—di dalam Refleksi Isu Perkotaan dan Masyarakat Urban Catatan Akhir Tahun LBH Jakarta Tahun 2015—kami menuntut:
Kepada Presiden Republik Indonesia untuk:
1. Membatalkan paket kebijakan ekonomi VI yang bertentangan dengan Putusan MK Nomor 85/PUU-XI/2013 dan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 527/Pdt.G/2012/PN.Jkt.Pst karena melanggengkan privatisasi pengelolaan air oleh pihak asing dan merugikan masyarakat.
Kepada Kementerian Dalam Negeri RI untuk:
1. Membatalkan Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 232 Tahun 2015 yang membatasi demokrasi dan merenggut hak warga kota atas kebebasan berekspresi.
Kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk:
1. Menghentikan penggusuran-penggusuran paksa yang masih dilakukan hingga sekarang untuk melindungi HAM dari setiap warga kota.
2. Mematuhi putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 527/Pdt.G/2012/PN.Jkt.Pst dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013 untuk mengembalikan pengelolaan air di DKI Jakarta kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
3. Mencabut Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 232 Tahun 2015 yang membatasi demokrasi dan merenggut hak warga kota atas kebebasan berekspresi.
4. Membatalkan proyek reklamasi Teluk Jakarta yang merusak lingkungan dan mengganggu mata pencaharian nelayan setempat.
5. Membatalkan proyek pembangunan 6 ruas tol ibukota yang merusak lingkungan dan bukan solusi bagi kemacetan.
________________________________________
[1] Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Kami Terusir: Laporan Penggusuran Paksa di Wilayah DKI Jakarta Januari – Agustus 2015, Jakarta: Penerbit LBH Jakarta, 2015, hal. 17.
[2] Pasal 33 ayat (2) UUD 1945: Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
[3] Pasal 33 ayat (3) UUD 1945: Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.