[Catatan LBH Jakarta di usia ke-493 tahun DKI Jakarta]
Pada 22 Juni 2020 lalu, DKI Jakarta merayakan ulang tahunnya ke-493 tahun. Pemprov DKI Jakarta mengusung tema “Jakarta Tangguh” yang pada penjelasannya setidaknya memuat penekanan pada pemajuan pelayanan masyarakat, harapan masa depan cerah, perlindungan masyarakat dan kolaborasi aktif masyarakat. Upaya simbolisasi tematik tersebut tentu baik jika benar diimplementasikan. Apalagi membangun kota humanis merupakan janji politik Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan di masa kampanye.
Pada peringatan HUT DKI Jakarta dan pada periode hampir 3 tahun Gubernur DKI Jakarta menjabat, LBH Jakarta berpandangan bahwa jargon dan janji politik tersebut tidak terimplementasikan dengan kebijakan yang baik. Jakarta belum mengarah pada kota humanis. Berikut ini catatan kami:
Anies Baswedan Harus Hentikan Swastanisasi Pengelolaan Air di Jakarta
Air adalah hak asasi manusia dimana tanggung jawab pengelolaannya ada pada negara. Dalil bahwa privatisasi air bersih di Jakarta Oleh PT Aetra Air Jakarta dan PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) sejak 1997 adalah melanggar hukum telah dikuatkan dalam Putusan MA nomor 31 K/Pdt/2017.[1] Dari data LBH Jakarta, sejak awal perjanjian pengelolaan air Jakarta oleh swasta tidak pernah menguntungkan publik. Swastanisasi air merugikan DKI hingga 1,77 Triliun rupiah dan pada praktiknya justru menjual air kepada publik jauh lebih mahal ketimbang daerah lain yang pengelolaan airnya dilaksanakan oleh pemerintah daerah sendiri. Ironisnya, meski swastanisasi air berlangsung sejak 1997, di tahun 2018 +/- 40% wilayah Jakarta masih belum teraliri air bersih dari pipa Swasta.
Pemprov DKI Jakarta telah membentuk Tim Evaluasi Tata Kelola Air Minum melalui Kepgub No. 1149/ 2018 yang memberikan rekomendasi kepada Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan pengembalian pengelolaan melalui langkah hukum perdata. Namun hingga kini, tindak lanjut mengenai proses tersebut belum menemui kejelasan. Publik berhak mendapatkan informasi mengenai kebijakan yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Membiarkan proses berlarut-larut dan tertutup sama sekali tidak mencerminkan visi pemerintahan yang “menjunjung tinggi kolaborasi masyarakat”. Pemprov DKI Jakarta wajib membuka informasi tersebut kepada publik untuk menunjukan keseriusannya. Jika tidak, sangat wajar jika publik beranggapan bahwa isu tata kelola air hanya menjadi barang dagangan politik semata.
Pemprov DKI Jakarta (Pemerintah Pusat) Tidak Serius Melawan Ancaman Banjir dan Tenggelamnya Jakarta Dengan Terbitnya Perpres Jabodetabekpunjur
Upaya memastikan terpenuhinya hak atas air yang terjangkau dan layak bagi warga Jakarta sejatinya sejalan dengan upaya melawan ancaman tenggelamnya Jakarta yang disebabkan penurunan muka tanah (Land Subsidence). Heri Andreas (Pakar Geodesi ITB), penyedotan air tanah secara masif adalah penyebab paling signifikan penurunan muka tanah di Jakarta yang juga menjadi salah satu faktor utama penyebab banjir di Jakarta.[2] Penyediaan sumber air alternatif menjadi salah satu jalan keluarnya. Buruknya pengelolaan air oleh swasta yang hingga tidak menyediakan layanan air bersih pada 40% wilayah di Jakarta perlu diselesaikan melalui pengambilalihan pengelolaan oleh pemerintah daerah (remunisipalisasi).
Tentu hal itu bukan solusi utama. Pemerintah juga perlu tegas melakukan penegakan hukum terhadap praktik penggunaan tanah berlebihan secara ilegal untuk tujuan komersial yang paling signifikan menyebabkan penurunan muka tanah. Di samping itu, pemerintah juga wajib memastikan ketersediaan daerah resapan air dengan menjaga proporsi ruang terbuka hijau di Jakarta.
Sayangnya pemerintah justru berfokus pada tindakan yang menurut berbagai ahli hanya merupakan penanggulangan jangka pendek yang tak tepat sasaran dan berbiaya tinggi, yaitu proyek Tanggul Laut. Terbitnya Perpres No. 60 Tahun 2020 tentang Tata Ruang Jabodetabek-Punjur memasukan tanggul laut dan beberapa pulau reklamasi dalam rencana tata ruang. Perpres tersebut bahkan memuat peralihan kawasan lindung menjadi pemukiman.[3]
Pemerintah Pusat dan Pemprov DKI Jakarta harus mengenyampingkan kepentingan politik dan mengutamakan kepentingan publik dalam menjaga DKI Jakarta dari ancaman tersebut. Program pemindahan ibu kota dengan alasan daya dukung lingkungan Jakarta yang lemah adalah bentuk ‘proyek cuci tangan’ dan tanda bahaya bagi perlindungan hak warga Jakarta yang ditinggalkan dalam kebijakan.
Pemprov DKI Jakarta setengah-setengah Menghentikan Reklamasi Teluk Jakarta
Isu publik lain yang wajib diperhatikan adalah Reklamasi Teluk Jakarta. Reklamasi teluk Jakarta adalah contoh proyek untuk kepentingan privat yang menunggangi kebijakan penanggulangan banjir Jakarta. Reklamasi 17 pulau masuk dalam proyek NCICD yang memuat rencana pembangunan tanggul laut untuk penanggulangan banjir Jakarta. Proyek tersebut, selain tidak tepat sasaran terhadap tujuan publiknya, juga menyebabkan kerusakan ekosistem teluk Jakarta dan menghilangkan mata pencaharian nelayan tradisional teluk Jakarta.
Pada 2018, gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan yang janji politiknya menghentikan reklamasi mulai mencabut izin prinsip 13 pulau reklamasi. Sayangnya langkah gubernur menjadi tidak konsisten ketika tidak mencabut izin pulau C, D, G, dan N dengan alasan telah dilakukan pembangunan. Pada 2019, gubernur DKI justru menerbitkan IMB di atas pulau C dan D. Padahal berbagai kajian (termasuk oleh tim ahli yang ditunjuk gubernur) telah menyatakan bahwa pulau reklamasi yang sudah terbangun tetap memiliki risiko kerusakan lingkungan yang perlu ditanggung di kemudian hari.
Berbagai gugatan pun diajukan oleh pengembang terhadap pemerintah atas pencabutan izin. Pemerintah kalah dalam gugatan Pulau I (PT. Jaladri Eka Pakci) dan Pulau F (PT. Jakpro) dan menang di tingkat kasasi untuk Pulau H (PT. Taman Harapan Indah). Upaya menghentikan reklamasi teluk Jakarta terancam gagal jika Pemprov DKI tidak membangun kerangka hukum yang konsisten terhadap kebijakan reklamasi yang sejatinya tidak dapat dilakukan sebelum disahkannya Perda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K). Tantangan lain muncul ketika Perpres Jabodetabekpunjur memasukan beberapa pulau reklamasi dalam tata ruangnya. Dalam hal ini, Pemprov DKI Jakarta wajib menunjukkan ketegasannya sebab kewenangan melakukan reklamasi masih berada pada pemerintah daerah.
Pemprov DKI Jakarta Mangkir Menjalankan Putusan Pengadilan Membayar Ganti Rugi Pada Warga Petamburan Korban Penggusuran
Nasib 473 KK warga Petamburan korban penggusuran yang menuntut Pemprov DKI Jakarta menjalankan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dengan membayarkan ganti rugi masih terkatung-katung hingga kini. 12 tahun yang lalu, warga memenangkan gugatan melawan Pemprov DKI Jakarta melalui Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2409/KPDT/2005. Pemprov DKI Jakarta dinyatakan terbukti melanggar hukum karena melakukan penggusuran terhadap warga RW 09 Petamburan pada 1997 untuk pembangunan Rusunami, dimana pembebasan tanahnya dilakukan sepihak dan proses relokasi dilakukan dengan buruk sehingga membuat warga terlantar selama lebih dari 5 tahun.
Sejak awal kepemimpinan Anies Baswedan, warga terus menerus meminta Pemprov DKI Jakarta menjalankan putusan yang memberikan ganti rugi kepada seluruh warga sebesar total Rp. 4. 730.000.000,- (empat milyar tujuh ratus tiga puluh juta) dan memberikan DO/unit rumah susun sesuai dengan janjinya sebelum penggusuran. Kepada media, Anies sendiri telah menyampaikan akan melaksanakan putusan tersebut. Meski demikian, hingga kini Pemprov DKI masih mangkir menjalankan putusan tersebut. Demi rasa keadilan masyarakat, LBH Jakarta bersama warga RW 09 Petamburan meminta Pemprov DKI Jakarta untuk secepatnya melaksanakan putusan tersebut.
Pemprov DKI Jakarta Harus Pro Aktif Menyelesaikan Sengketa Lahan di Jakarta Untuk Melindungi Hak Atas Tempat Tinggal Masyarakat Miskin
Dalam laporan Penelitian tentang Penggusuran Paksa di DKI Jakarta yang dilakukan LBH Jakarta dari 2015 hingga 2018, salah satu modus penggusuran paksa adalah sengketa lahan. Dalam banyak kasus, warga yang tinggal turun temurun dalam suatu lahan secara informal terancam digusur paksa tanpa solusi apapun akibat adanya klaim kepemilikan lahan pihak ketiga (mayoritas perusahaan).
Kasus seperti ini menimbulkan sengketa tanah berkepanjangan seperti yang terjadi di Pulau Pari, Gang Lengkong Cilincing, Kebun Sayur Ciracas, hingga Kapuk Poglar. Di semua kasus yang disebutkan tadi, warga yang tinggal turun temurun dipaksa keluar oleh perusahaan yang mengklaim kepemilikan lahan tanpa kompensasi yang layak dengan disertai kriminalisasi terhadap warganya. Temuan LBH Jakarta, munculnya persoalan tersebut seringkali terjadi dengan adanya manipulasi terhadap warga mengenai kepemilikan tanah. Hal yang paling jelas terjadi di kasus Pulau Pari dimana pada 2018, Ombudsman Republik Indonesia telah mengeluarkan Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan yang menyatakan penerbitan sertifikat maladministrasi.
Dalam kasus-kasus tersebut, Pemprov DKI Jakarta sering sekali menyampaikan bahwa pihaknya tidak berwenang menyelesaikan sengketa tersebut. Pandangan tersebut sangat keliru. Berdasarkan Pasal 28H ayat 1 UUD 1945, Pasal 40 UU HAM dan UU No 11 Tahun 2005, Pemerintah Daerah bertanggung jawab dalam pemenuhan hak atas tempat tinggal yang layak. Tanggung jawab pemenuhan tersebut tidak hanya dengan menyediakan program perumahan yang layak, tetapi juga diimplementasikan dengan tidak menggusur paksa dan menjamin tidak adanya intervensi pihak ketiga yang dapat membuat warga masyarakatnya tidak memiliki tempat tinggal.
Kesadaran untuk terlibat aktif menyelesaikan sengketa tanah rakyat dengan perusahaan sesungguhnya telah dipraktekkan oleh Ali Sadikin dalam kasus penggusuran Simprug di tahun 1973. Selain menjadi mediator, Pemprov DKI saat itu bahkan mengeluarkan SK Gubernur DKI Jakarta No. 2043/A/K/BKD/1972 yang berisi penetapan solusi yang layak bagi warga Simprug yang wajib dipatuhi perusahaan. Dalam SK tersebut, warga yang semula mendapat ganti rugi sangat rendah kemudian mendapatkan ganti rugi yang jauh lebih layak beserta lahan relokasi dan pembangunannya yang ditanggung perusahaan.
Atas dasar tersebut, seharusnya tidak ada lagi alasan Pemprov DKI untuk menyatakan tidak berwenang menyelesaikan sengketa. Pemprov DKI Jakarta Harus Aktif Menyelesaikan Sengketa Lahan di Jakarta Untuk Menjamin Hak Atas Tempat Tinggal Masyarakat Miskin.
Pemprov DKI Jakarta Harus Pro Aktif Kendalikan Pencemaran Udara untuk Menjamin Hak Atas Kesehatan Warga
LBH Jakarta mewakili 37-48 warga negara mengajukan gugatan warga negara atau Citizen Law Suit terkait polusi udara yang terjadi di DKI Jakarta pada 4 Juli 2019 lalu. Gugatan tersebut ditujukan kepada tujuh tergugat yakni Presiden RI, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Pemprov DKI Jakarta, Pemprov Banten, dan Pemprov Jawa Barat. Gugatan ini bertujuan agar pemerintah melakukan revisi peraturan terkait lingkungan, salah satunya adalah Peraturan Pemerintah No.41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara. Regulasi tersebut dirasa sudah tak sesuai dengan kondisi polusi udara yang terjadi saat ini. Selain itu, gugatan ini juga menuntut peningkatan koordinasi antar pihak terkait untuk mencegah terjadinya polusi udara.
DKI Jakarta sendiri tercatat sebagai kota dengan kualitas udara terburuk di dunia. Berdasarkan data dari situs Airvisual.com, kondisi udara dan polusi kota di Jakarta menurut US Air Quality Index (AQI) atau indeks kualitas udara ada pada angka 189. Pasca gugatan tersebut, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan bereaksi positif dengan menerbitkan Instruksi Gubernur No.66 Tahun 2019 tentang Pengendalian Kualitas Udara. Meski secara substansi baik namun sayangnya, Instruksi Gubernur tersebut hanya bersifat internal sehingga tidak mengikat instansi lainnya dan tidak memiliki konsekuensi hukum sehingga tidak akan efektif. Padahal, persoalan polusi udara yang terjadi di Jakarta juga melibatkan daerah-daerah tetangga, terutama daerah penyangga DKI Jakarta. Persoalan pencemaran udara harus diatur dalam tataran peraturan perundang-undangan demi menjamin hak atas kesehatan masyarakat.
Pemprov DKI Jakarta Segera Sahkan Perda Bantuan Hukum Untuk Pemenuhan Hak Atas Bantuan Hukum Bagi Masyarakat Miskin dan Rentan
Wacana pembentukan Perda Bantuan Hukum di Provinsi DKI Jakarta telah ada cukup lama namun hingga kini belum ada kejelasannya. Meski DKI Jakarta memiliki sejarah sebagai Pemerintah Daerah Pertama yang mendukung pemenuhan akses bantuan hukum bagi warganya melalui dukungan pembentukan LBH Jakarta pada 1970, kini DKI Jakarta tertinggal dengan daerah-daerah lain dalam pembentukan Peraturan Daerah Bantuan Hukum. Pembentukan Raperda Bantuan Hukum memiliki dasar hukum dalam Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum sebagai delegasi yang dapat dibentuk oleh Pemerintah Daerah untuk memperluas akses keadilan bagi masyarakat. LBH Jakarta bersama Jaringan Advokasi Bantuan Hukum mendesak Gubernur DKI Jakarta dan DPRD agar segera membahas Raperda ini agar mampu menjawab permasalahan mengenai bantuan hukum secara komprehensif. Terdapat berbagai kelemahan UU Bantuan Hukum seperti mengenai penerima bantuan hukum yang diukur hanya dengan standar miskin ekonomi. LBH Jakarta mendorong Pemprov DKI Jakarta agar dapat membuat suatu ketentuan yang mampu memperluas cakupan penerima bantuan hukum termasuk kelompok minoritas dan rentan yang juga membutuhkan akses bantuan hukum maupun rumusan aturan progresif lain yang mampu menutupi kelemahan pengaturan UU Bantuan Hukum .
Jakarta, 27 Juni 2020
Lembaga Bantuan Hukum Jakarta
[1] Meski putusan tersebut kemudian dibatalkan oleh Putusan Peninjauan Kembali 2018 yang mengatur bentuk gugatan, namun putusan tersebut tidak membantah pokok persoalan terkait perbuatan melawan hukum swastanisasi air.
[2] Ibid. Memang ada beberapa faktor penyebab penurunan muka tanah yang saling berkesinambungan, seperti kondisi tanah, bobot bangunan, hingga faktor perubahan iklim, namun dalam penelitian tersebut, Heri mengemukakan bahwa penyedotan air tanah secara masif adalah penyebab paling signifikan.
[3] Terdapat di Kelurahan Kapuk Muara di belakang Pulau C dan sebelah barat Suaka Margasatwa Muara Angke;