Community Visit Report
Pulau Pari merupakan salah satu pulau kecil yang masuk dalam wilayah administrasi Ibu Kota Jakarta. Bagi orang-orang yang tahu tentang Pulau Pari, jawaban apa yang muncul jika diminta pendapat tentang pulau kecil tersebut? Apakah menceritakan ramahnya warga disana? Atau menjelaskan tentang betapa indahnya Pantai Pasir Perawan dan Pantai Rengge? atau mungkin menjelaskan begitu lezatnya ikan yang dimasak oleh warga sana? Cerita-cerita itu memang benar adanya. Keindahan, kehangatan dan kelestarian akan didapatkan jika berkunjung di Pulau Pari. Namun perlu di ingat, seluruh kenikmatan yang di dapatkan oleh wisatawan merupakan hasil dari jerih payah warga Pulau Pari sendiri dalam mengelola lingkungan hidupnya secara mandiri dan swadaya tanpa adanya campur tangan siapapun.
Berita buruknya, Pulau Pari di saat yang sama tak henti-henti terombang-ambing dalam ancaman dan teror, ironisnya adalah terdapat keterlibatan negara di dalamnya. Pertama, warga Pulau Pari yang sudah hidup dan menetap berpuluh tahun serta turun-menurun terancam “angkat kaki” alias terusir dari tanah kelahirannya. Bagimana tidak, tiba-tiba datanglah korporasi yang bernama PT Bumi Pari Asri dan mengklaim bahwa Pulau Pari adalah miliknya berdasarkan Sertifikat Hak Milik (SHM) dan Sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) yang diteribitkan pada tahun 2015 oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Jakarta Utara. Karena itu, warga Pulau Pari bersama-sama melakukan berbagai upaya untuk mempertahankan tanahnya, mulai aksi demonstrasi, hingga melaporkan praktik maladminitrasi BPN Jakarta Utara kepada Ombudsman Republik Indonesia.
Kedua, perebutan ruang hidup diatas berlanjut pada teror melalui praktik kriminalisai atau tuduhan pidana yang tidak berdasar serta dipaksakan kepada 3 (tiga) orang warga Pulau Pari. Kolaborasi antara polisi dan orang yang mengaku sebagai korban, merekayasa cerita tentang pemerasan dan ancaman kekerasan dalam pengelolaan wisata yang seolah-olah terjadi di Pulau Pari. Rekayasa ini kemudian dijadikan dasar agar dapat menyeret 3 orang tersebut ke meja hijau. Hal ini tidak membuat surut semangat warga Pulau Pari dan jaringan solidaritas masyarakat sipil yang membela mereka. Jalan perjuangan tersebut sangatlah panjang hingga sedikit banyak membuahkan hasil. Pada tahun 2018 Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menyatakan 3 orang tersebut secara sah dan meyakinkan tidak terbukti bersalah dan dibebaskan dari tuntutan.
Ketiga, nasib warga Pulau Pari menjadi lebih mengenaskan ketika penyebaran virus Sars Covid-19 merambat keseluruh negara hingga saat ini. Kesengsaraaan itu telah disponsori oleh gagapnya pemerintah dalam mengambil kebijakan untuk menghadapi penyebaran virus tersebut. Sehingga berdampak besar pada warga Pulau Pari seperti akses ke Ibu Kota untuk membeli sembako dan bahan pangan terhambat, sepinya wisatawan yang otomatis berdampak pada hasil tangkapan nelayan tidak terjual, hingga pada ujungnya pendapatan warga tergerus habis-habisan. Sementara kebutuhan paket internet atau pulsa yang membengkak agar anak-anaknya tetap bisa sekolah terus menyertai.
Keempat, puncak ironi terjadi ketika hak warga Pulau Pari mendapatkan bantuan sosial (bansos) telah di “rampok” habis-habisan oleh negara itu sendiri. Dari awal paket bansos cukup mengiris hati rakyat, bagaimana tidak, bansos yang diambil dari APBN yang berasal dari uang rakyat, bukan dari dompet presiden lah kok bertuliskan “Bantuan Presiden”. Selanjutnya Juliari Peter Batubara adalah seorang kader PDI-P dan Menteri Sosial (saat itu), telah membabi buta melakukan tindak pidana korupsi pada bansos “Bantuan Presiden”. Akibatnya warga Pulau Pari yang berjumlah 395 Kartu Keluarga hanya mendapatkan 80 paket bansos pada April 2020, kemudian bulan selanjutnya hanya mendapatkan 100 paket bansos.
“Bantuan Presiden” yang diterima oleh warga Pulau Pari sangatlah tak layak baik secara kuantitas maupun kualitas. Secara kuantitas paket bansos yang diterima oleh warga Pulau Pari tidak sampai setengah populasi, sehingga dengan kebesaran hati warga membagi dengan cara satu paket “Bantuan Presiden” dibagi untuk dua Kartu Keluarga. Apalagi soal kualitas isi bansos, “Beras berkualitas rendah dan sarden yang berisi cacing,” ujar Aas selaku warga Pulau Pari. Kita bahkan tidak mampu mebayangkan bagaimana perasaan nelayan yang sedang kesusahan untuk bertahan hidup kemudian diberikan sarden kaleng yang tak layak dikonsumsi. Apalagi mereka juga tengah dalam keadaan kekurangan ikan, kekurangan bahan pangan dan kebutuhan pokok lainnya.
Korupsi bantuan sosial memang perbuatan yang amat keji, namun yang tak kalah keji adalah para Penyidik KPK yang sedang mendalami kasus tersebut “dipecat”. Berangkat dari situasi ini, warga Pulau Pari pun tidak terima jika penegakan hukum kasus “perampokan” bansos hanya berhenti pada permukaanya saja. Untuk itu warga Pulau Pari mengadakan nonton film “The End Game: Ronde Terakhir Melawan Korupsi” besutan Watchdoc dan berdiskusi bersama agar lebih memahami tentang apa sebetulnya yang terjadi dalam tubuh KPK. (Aldi)