Siaran Pers
Instruksi Tembak Mati Jambret oleh Kapolda Metro Jaya Bertentangan dengan Hukum dan HAM
Kapolda Metro Jaya Idham Aziz mengeluarkan instruksi tembak mati terhadap jambret. Operasi tersebut akan dijalankan sampai 1 bulan kedepan. Sebagai aparat keamanan yang bersifat melumpuhkan, tidak ada satupun dasar hukum Kapolda untuk mengeluarkan perintah penggunaan senjata api yang bertujuan mematikan. LBH Jakarta menilai instruksi tersebut berlebihan dan tidak menghormati HAM.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Alghiffari Aqsa mengatakan, “Instruksi Kapolda tersebut bertentangan dengan Perkap No 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian (Perkap No. 1/2009) dan UN Basic Principles on the Use of Force and Firearms by Law Enforcement Officials. Bahkan, sesuai Pasal 13 Ayat 2 Perkap No. 1 Tahun 2009, anggota kepolisian boleh menolak perintah Kapolda tersebut karena bertentangan peraturan perundang-undangan,” terang Alghif (5/7) di kantor LBH Jakarta, Menteng, Jakarta.
Rangkaian kasus-kasus penjambretan yang terjadi belakangan memang menimbulkan keresahan di masyarakat. Namun, tindakan yang semestinya diambil oleh pihak kepolisian sebagai instusi keamanan yang terlatih (well trained) tetap harus mengedepankan due process of law (harus sesuai dengan hukum yang berlaku dan menghormati hak asasi manusia). Tidak jarang anggota kepolisian pada saat mengamankan/menangkap tersangka pelaku kejahatan termasuk jambret sebenarnya sudah berhasil menangkap pelaku tanpa menggunakan senjata api. Namun penggunaan senjata api justru dilakukan sebagai bentuk penghukuman terhadap tersangka diluar proses hukum acara pidana yang berlaku. Tindakan demikian sudah tergolong bentuk tindak pidana penyiksaan dan penghukuman yang tidak manusiawi.
Pasal 4 UN Basic Principles on the Use of Force and Firearms by Law Enforcement Officials menegaskan, aparat penegak hukum dalam menjalankan tugasnya harus sebisa mungkin menerapkan tindakan tanpa kekerasan sebelum menggunakan kekuatan maupun senjata api. Penggunaan senjata api hanya dapat dilakukan jika tindakan lain tidak efektif. Sebagai suatu upaya terakhir, dalam Perkap No. 1/2009 juga terdapat kewajiban bagi setiap anggota Polri untuk memperhatikan asas proporsionalitas dalam penggunaan kekuatan, tindakan demikian harus dilaksanakan secara seimbang antara ancaman yang dihadapi dan tingkat kekuatan atau respon anggota Polri, sehingga tidak menimbulkan kerugian/korban/penderitaan yang berlebihan.
Pengacara Publik Fair Trial LBH Jakarta, Shaleh Al Ghifari menjelaskan bahwa terdapat tahapan-tahapan dalam penggunaan kekuatatan di kepolisian. “Pasal 5 Perkap No. 1/2009 memberikan tahapan yang harus dilakukan dalam tindakan kepolisian. Pertama, penggunaan kekuatan yang bersifat mencegah, Kedua, perintah lisan, Ketiga, menggunakan tangan kosong secara lunak, Keempat, menggunakan tangan kosong secara keras, Kelima, menggunkan senjata tumpul, senjata kimia berupa gas air mata, semprotan cabe atau alat lain, Keenam, baru menggunakan senjata api atau alat lain yang melumpuhkan. Pasal 7 Perkap No. 1/2009 menjelaskan lebih lanjut bahwa tindakan-tindakan diatas disertai dengan komunikasi lisan/ucapan dengan cara membujuk, memperingatkan dan memerintahkan untuk menghentikan tindakan pelaku kejahatan atau tersangka,” urai Gifar di kantor LBH Jakarta, Menteng, Jakarta.
Gifar menjelaskan lebih lanjut bahwa pada dasarnya tujuan penggunaan kekuatan dalam tindak kepolisian adalah untuk melumpuhkan dan jika menimbulkan korban harus dipertanggungjawabkan. “Kematian mungkin saja terjadi akibat penggunaan senjata api namun hal tersebut bukanlah tujuan yang dibolehkan. Setiap penggunaan senjata api yang menimbulkan korban harus ada pertanggungjawaban secara individu dan kepada atasan. Bahkan dalam Perkap 8/2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia, jika ada yang keberatan terhadap penggunaan senjata api, maka anggota kepolisian wajib melaporkan alasan dan akibat penggunaan senjata, pejabat yang berwenang harus memberi penjelasan kepada yang dirugikan, dan dapat dilakukan penyidikan sesuai peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu kami meminta Propam dan Kompolnas untuk menyorot hal ini.”
Alghif kemudian menegaskan sikap LBH Jakarta agar Kapolda Metro Jaya mencabut intrusksi tersebut. “LBH Jakarta mengapresiasi respon Kapolda Metro Jaya yang cepat untuk menciptakan ketertiban dan keamanan dalam masyarakat. Namun, berkaitan dengan instruksi tembak mati, kami mendesak Kapolda Metro Jaya untuk mencabut perintah tersebut dan menegakkan hukum dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan dan menghormati hak asasi manusia,” tutupnya.
Hormat kami,
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta
Narahubung:
– Alghiffari Aqsa (081280666410)
– Saleh Al Ghifari (085376769969)