Pada selasa (22/6), DKI Jakarta memasuki ulang tahunnya yang ke-494 tahun. Dengan mengusung jargon “Jakarta Bangkit”, DKI Jakarta yang sudah diterjang pandemi COVID-19 selama satu tahun lebih belakangan ini diharapkan untuk semangat dan optimis agar dapat bangkit dan menjadi lebih baik dari masa sebelum pandemi melanda.
Namun di sisi lain, kenyataan di lapangan menunjukkan hal sebaliknya. Alih-alih bangkit, DKI Jakarta nampaknya masih “sakit”. Hal ini dapat dilihat dari masih tingginya angka penularan COVID-19 di wilayah DKI Jakarta dimana sampai dengan hari minggu lalu (20/06) terdapat tambahan kasus baru COVID-19 sebanyak 5.582 orang.
Munculnya varian baru dari virus COVID-19 serta ancaman resiko penularan yang semakin tinggi, belum direspon dan ditangani secara serius oleh Pemerintah DKI Jakarta. Hingga kini, penanganan pandemi COVID-19 masih bersifat tarik ulur. Padahal di beberapa Negara-negara dunia lain seperti India, Malaysia, Kanda, Australia, dan lainnya, pemerintah setempatnya sudah mengambil langkah tarik rem darurat dengan mengkarantina wilayahnya masing-masing.
Meski sejak tahun 2020 lalu telah ada Instruksi Gubernur No. 16 Tahun 2020 yang menginstruksikan seluruh jajaran Pemprov untuk mulai menjalankan langkah-langkah pencegahan penularan infeksi Covid-19, pembentukkan Tim Tanggap Covid-19 sampai dengan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) ketat kemudian digantikan dengan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) belum mampu memberikan perlindungan yang mumpuni kepada warga DKI Jakarta dari dampak Pandemi Covid-19
Dan sayangnya hingga saat ini, di DKI Jakarta belum ada kebijakan tarik rem darurat penanganan pandemi COVID-19 lebih lanjut, termasuk karantina wilayah. Sedangkan dengan meningginya angka kasus baru penularan COVID-19, infrastruktur kesehatan di wilayah DKI Jakarta diprediksi sudah tidak dapat menampung dan memadai bagi warga yang positif terkena COVID-19.
Perpanjangan Swastanisasi Air Jakarta, Pemerintah Provinsi DKI Melanjutkan Penderitaan Rakyat dan Kerugian Negara
Selain masalah penanganan COVID-19 yang masih carut marut di DKI Jakarta, persoalan lain seperti masalah swastanisasi pelayanan air di DKI Jakarta hingga kini juga masih berlanjut. Ini dapat dilihat dari masih berlakunya Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 891 Tahun 2020 tentang Persetujuan Adendum Perjanjian Kerjasama antara Perusahaan Daerah Air Minum DKI Jakarta dengan Perseroan Terbatas Aetra Air Jakarta.
Padahal pengelolaan air oleh swasta atau swastanisasi air merupakan praktik pelanggaran Hak Asasi Manusia dan Hak Konstitusional warga negara. Air sebagai bagian penting bagi hidup dan kehidupan manusia serta merupakan prasyarat bagi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebagai pengemban kewajiban (Duty Bearer) untuk memberikan perlindungan hak untuk hidup yang merupakan hak mutlak dan tidak bisa dikurangi (non-derogable rights).
Hal ini merupakan tindakan pelanggaran janji kampanye dan berbagai pernyataan Anies Baswedan mengenai pentingnya pemenuhan Hak Atas Air bagi warga DKI Jakarta. Padahal Gubernur Anies Baswedan sendiri dalam janji kampanye pada poin ke-19 menyatakan: “Memperluas cakupan dan memperbaiki kualitas layanan air bersih dengan prioritas pada wilayah-wilayah dengan kualitas air terburuk, dan memberikan subsidi langsung untuk warga tidak mampu.”
Selain itu Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan No. 85/PUU-XI/2013 sebenarnya telah membatalkan Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (UU SDA). UU SDA dibatalkan oleh MK karena dalam praktiknya masih terdapat pengelolaan air bersih yang melibatkan swasta dan berpotensi menjadikan air sebagai komoditas ekonomi yang berujung pada privatisasi air.
Hal ini bertentangan dengan tujuan hak menguasai negara sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 dan Pasal 2 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Sehingga selain pengingkaran terhadap janji kampanye, swastanisasi air Jakarta yang dilanjutkan oleh Anies Baswedan merupakan pengingkaran terhadap amanat Konstitusi.
Banjir yang Tak Pernah Teratasi dan Tanggung Jawab Pemerintah yang Terus Dilalaikan
Banjir yang hampir selalu dialami oleh warga DKI Jakarta disetiap musim penghujan nampaknya juga akan tetap menjadi permasalahan yang belum dapat terselesaikan. Selain ada tanggung jawab Pemerintah Pusat dalam hal penanggulangan banjir di DKI Jakarta, Pemerintah Provinsi juga memiliki tanggung jawab yang tidak kalah penting.
Sayangnya, berdasarkan catatan LBH Jakarta masih ada berbagai tanggung jawab penanggulangan banjir yang belum dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, seperti tidak maksimalnya early warning system yang dilakukan sebelum banjir terjadi demi meminimalisir korban dan kerugian, serta penggantian hak masyarakat yang terdampak banjir. Upaya untuk bersinergi dengan pemerintah daerah di sekitar DKI Jakarta dan Pemerintah Pusat dalam pencegahan dan penanggulangan banjir juga tidak dilaksanakan dengan baik.
Buruknya pencegahan dan penanggulangan banjir ini akan berdampak pada permasalahan banjir DKI Jakarta yang masih jauh dari teratasi dengan baik. Akibatnya, pelanggaran hak asasi manusia berupa hak atas tempat tinggal yang layak juga akan terus terlanggar setiap kali banjir terjadi.
Masih Berlanjutnya Penggusuran Paksa di Jakarta Yang Berdampak Pada Minimnya Perlindungan Dan Pemenuhan Hak Atas Tempat Tinggal Masyarakat Miskin
LBH Jakarta mencatat terdapat beberapa praktik penggusuran paksa terhadap warga DKI Jakarta selama masa Pemerintahan Gubernur Anies Baswedan. Kasus penggusuran paksa terkini misalnya dialami oleh sebagian warga Menteng Dalam yang digusur dengan dalih program pencegahan banjir Provinsi DKI Jakarta, penggusuran paksa pedagang di Tebet, dan diamnya Pemprov DKI Jakarta terhadap penggusuran paksa warga Pancoran Buntu II dengan dalih pemulihan aset oleh PT Pertamina Training & Consulting.
Berbagai peristiwa penggusuran paksa yang terjadi di wilayah Provinsi DKI Jakarta pada dasarnya memiliki pola yang sama yakni, absennya proses musyawarah yang laik, pencarian solusi dan berbagai ketentuan terkait syarat-syarat perlindungan bagi warga terdampak pembangunan yang diatur dalam Komentar Umum Nomor 7 tentang Hak Atas Perumahan yang Layak (Pasal 11 Ayat (1) Konvensi Hak Ekonomi Sosial dan Budaya) (General Comment No. 7 on the Right to Adequate Housing (Article 11(1) of the Covenant).
Penggusuran paksa sebagai “gross violation of human rights” atau pelanggaran HAM berat sebagaimana ditegaskan dalam Resolusi Komisi HAM PBB Nomor 77 Tahun 1993 (Commission on Human Rights Resolution 1993/77) juga paralel dengan pengerahan aparat keamanan seperti TNI/Polri yang sama sekali tidak memiliki wewenang untuk diperbantukan dalam hal penggusuran paksa sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (2) huruf b UU TNI mengenai Operasi Militer Selain Perang (OMSP) maupun dalam Tugas dan Fungsi Polri dalam UU Polri.
Pola lain yang jamak dilakukan dalam penggusuran paksa adalah kekerasan dan intimidasi yang dilakukan oleh Organisasi Masyarakat (Ormas) vigilantism terhadap warga yang terdampak penggusuran. Hal ini nampak dalam penggusuran paksa terhadap warga Pancoran Buntu II pada 17 Maret 2021 yang telah menyebabkan 23 orang warga dan mahasiswa yang bersolidaritas mengalami luka-luka berupa luka karena lemparan batu, memar, sesak nafas karena gas air mata, luka robek, luka robek di bagian kepala, dan keseleo.
Masih berlanjutnya penggusuran paksa terhadap warga DKI Jakarta semakin menunjukkan pelanggaran janji kampanye Anies Baswedan dan tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan Kepala Daerah sebelumnya.
Selain masih terjadinya praktik penggusuran paksa, DKI Jakarta di usianya yang ke-494 tahun ini juga masih menghadapi permasalahan kualitas udara yang buruk. Data di situs AirVisual pada tahun 2019 pernah menempatkan Jakarta di peringkat pertama kualitas udara buruk di dunia. Pada April 2020 AirVisual menempatkan Jakarta di posisi kesembilan dalam daftar yang sama. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyatakan bahwa sumber pencemar udara pada kategori PM (Particulate Matter atau debu) di Jakarta berasal dari sektor transportasi sebesar 70%, pada Maret 2019. Sedangkan berdasarkan riset inventory pada tahun 2012 hasil kompilasi data oleh ICEL, transportasi sebagai sumber pencemar berkontribusi sebesar 47% .
Data tentang buruknya kualitas udara Jakarta merupakan akibat dari abainya Pemerintah Pusat dan Daerah yang tidak mengambil upaya legislatif, administratif maupun langkah strategis yang memadai untuk menjamin hak atas lingkungan hidup warga DKI Jakarta yang terampas oleh kualitas udara yang buruk.
Di sisi lain hingga kini proses sidang Gugatan Warga Negara atau Citizen Law Suit (CLS), terhadap Polusi Udara di wilayah DKI Jakarta di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan Nomor Perkara 374/Pdt.G/LH/2019/PN.Jkt.Pst. masih berlangsung dan sedang menunggu Putusan Pengadilan. Gugatan ini sebelumnya dilayangkan dengan tujuan agar adanya perubahan kebijakan Pemerintah terkait pengendalian polusi udara di DKI Jakarta menjadi lebih baik. Pemprov DKI Jakarta sendiri sempat bertemu dengan LBH Jakarta dan menawarkan untuk melaksanakan tuntutan yang ada dalam gugatan berupa langkah-langkah perbaikan kualitas udara di Jakarta namun ternyata tidak ada tindak lanjut kemudian atas tawaran tersebut.
Dengan adanya momentum HUT Provinsi DKI Jakarta ke-494, LBH Jakarta mendesak agar Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bersikap konsisten dan tegas dalam hal pengendalian pandemi COVID-19, mendeswastanisasi pengelolaan air, melakukan pencegahan praktik penggusuran paksa, dan juga terus memperbaiki kebijakan pengendalian udara agar Provinsi DKI Jakarta tetap mematuhi mandat konstitusi.
Selamat Hari Ulang Tahun Provinsi DKI Jakarta yang ke-494, Jaya Raya!