Siaran Pers
Memasuki usianya yang ke 73 tahun, tampaknya belum ada reformasi signifikan di tubuh TNI. Masih langgengnya impunitas atas kejahatan personel TNI, praktik bisnis koruptif, hingga menguatnya gejala “Neo-Dwifungsi TNI”, menyebabkan TNI tidak bisa bekerja maksimal dan profesional sebagaimana mestinya: sebagai sebuah kekuatan tempur untuk mempertahankan Indonesia dari serangan luar.
Reformasi TNI yang hingga hari ini masih mengalami kebuntuan tersebut, dapat dilihat dari identifikasi beberapa masalah yang masih menghinggapi di institusi TNI:
1. Masih langgengnya impunitas kejahatan yang dilakukan anggota-anggota TNI, yang mana impunitas tersebut dilindungi melalui rezim Peradilan Militer. Kejahatan-kejahatan pidana umum yang dilakukan oleh anggota-anggota TNI, kerap tidak diperiksa dan diadili di Peradilan Umum;
2. Masih dipertahankannya struktur organisasi TNI berdasarkan model komando teritorial: yakni dimana hirarki keorganisasian TNI dibentuk dengan model yang sama persis dengan model organisasi pemerintah: dimulai dari Mabes TNI di tingkat nasional, Komando Daerah Militer (Kodam) di tingkat wilayah/provinsi, Komando Resort Militer (Korem) yang membawahi Kodim-kodim, Komando Distrik Militer (Kodim) di tingkat daerah/kota-kabupaten, Komando Rayon Militer (Koramil) di tingkat kecamatan, hingga Bintara Pembina Desa TNI (Babinsa) di tingkat desa/kelurahan.
Struktur organisasi TNI dengan model komando teritorial ini menjadi bermasalah karena selain mereplikasi struktur pemerintahan sipil, struktur organisasi tersebut menjadi alat kontrol terhadap persoalan sosial-politik masyarakat sipil sebagaimana tingkatan-tingkatannya. Di zaman Orde Baru, model struktur komando teritorial menjadi medium TNI untuk memobilisasi kepentingan politik praktisnya –dalam tataran tertentu, membentuk suatu “negara” di dalam negara-;
3. Masih tidak akuntabel dan tidak transparannya TNI sebagai sebuah lembaga publik. Kontrol terhadap kebijakan hingga penganggaran dana untuk TNI hingga kini masih tidak bisa dilakukan secara ketat. Dari TNI sendiri pun, tidak ada inisiatif untuk membuka laporan pertanggungjawaban anggaran dana yang dipakai oleh TNI tiap tahunnya. Akibatnya, publik masyarakat sipil tidak mengetahui alokasi riil penggunaan anggaran dana yang dilakukan oleh TNI. Hal ini berpotensi besar menjadikan TNI sebagai institusi negara yang cenderung koruptif;
4. Maraknya praktik-praktik “Neo-Dwifungsi” TNI, yang ditandai dengan adanya praktik-praktik pembuatan MoU (Memorandum of Understanding) antara TNI dengan berbagai instansi pemerintahan. Terhitung sejak tahun 2000 hingga 2018, setidaknya ada sekitar 40 (empat puluh) MoU yang dibuat oleh TNI dengan berbagai instansi pemerintahan: Kepolisian, Kementerian Perhubungan, Pramuka, Kementerian Pertanian, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional, dan masih banyak lainnya.
Praktik pembuatan MoU ini, menyeret TNI melakukan peran yang tidak sesuai dengan profesionalitasnya: dimulai dari ikut turut melakukan penyuluhan, pembangunan infrastruktur dan pencetakan sawah, menjadi motivator dan pembantu pelayanan KB (Keluarga Berencana), hingga melakukan perbantuan tugas keamanan dan ketertiban masyarakat (yang notabenenya ini adalah wilayah tugas Kepolisian).
Tidak cukup dengan adanya pembuatan MoU antara TNI dengan institusi-institusi sipil lainnya, Neo-Dwifungsi TNI juga dapat dilihat dari adanya PP No. 60 Tahun 2017 tentang Tata Cara Perizinan dan Pengawasan. Kegiatan Keramaian Umum, Kegiatan Masyarakat Lainnya, dan Pemberitahuan Kegiatan Politik dan UU No. 5 Tahun 2018 tentang Perubahan UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yang pada dasarnya tidak bisa disebut sebagai “Operasi Militer Selain Perang”, karena baik PP No. 60 Tahun 2017 maupun UU No. 5 Tahun 2018 adalah domain dari keamanan dan penegakan hukum, yang artinya domain tugas profesional Kepolisian. Hal ini tentu berpotensi menimbulkan situasi rusuh dan timpang tindih kewenangan dengan Kepolisian, juga berdampak pada ancaman terhadap keamanan masyarakat sipil itu sendiri di tahun-tahun politik elektoral.
Kesemua hal manifestasi “Neodwifungsi TNI” tersebut tentu tidak sesuai dengan semangat dan ketentuan TAP MPR No. VI/MPR/2000 Tahun 2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri serta TAP MPR No. VII/MPR/2000 Tahun 2000 tentang Peran TNI dan Polri, hingga UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI. Kedua TAP MPR tersebut melakukan pemisahan struktur komando antara TNI dan Polri, dan juga menetapkan batasan fungsi TNI dan Polri, dimana TNI sebagai alat pertahanan dan Polri sebagai alat keamanan. Baik TNI maupun Polri, tidak dibenarkan untuk terlibat dalam kegiatan politik praktis maupun berbisnis, dan untuk TNI sendiri sudah jelas wewenang dan profesionalitasnya adalah untuk bertempur sebagai agenda pertahanan terakhir: artinya, semestinya TNI tetap fokus kembali ke barak untuk berlatih berperang menyiapkan pertahanan dari ancaman serangan luar.
5. Masih kuat dan banyaknya praktik-praktik bisnis militer, yang mana hingga kini Pemerintah tidak benar-benar mengambil alih bisnis militer. Hingga kini, TNI masih melakukan aktivitas bisnisnya: dalam skema formal (Yayasan, Perseroan, Koperasi, dsb. dibawah naungan TNI), skema informal (keterlibatan personel TNI aktif dalam kegiatan bisnis, sebagai pemilik saham, direktur, komisaris, dsb.), hingga skema ilegal (melakukan privatisasi bisnis pertahanan dengan cara memback-up aktivitas kejahatan tertentu).
Padahal pengambil alihan bisnis militer sendiri sebenarnya sudah diatur oleh Pasal 76 UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI dan Perpres No. 43 Tahun 2009 tentang Pengambilalihan Aktivitas Bisnis TNI. Pasal 76 UU TNI sudah jelas menyatakan bahwa dalam jangka 5 (lima) tahun aturan tersebut diundangkan, Pemerintah harus sudah mengambil alih seluruh bisnis militer. Namun kenyataannya, ketimbang mengambil alih, Pemerintah hingga kini sama sekali tidak bergerak mengambil alih, dan Perpres No. 43 Tahun 2009 justru melempar balik pengaturan pengambilalihan aktivitas bisnis TNI ke Menteri Keuangan dan Menteri Pertahanan tanpa daya kekuatan hukum memaksa dan tidak adanya kehendak politik (political will) yang kuat.
6. Maraknya praktik-praktik kekerasan dan penyiksaan yang dilakukan oleh aparat-aparat TNI terhadap masyarakat sipil, baik itu masyarakat biasa maupun aktivis-aktivis gerakan masyarakat sipil (pejuang lingkungan, petani, masyarakat adat, pembela HAM, dsb.). Misalnya pada tanggal 25 September 2018 lalu, sekelompok anggota TNI menyerbu dan memorakporandakan sebuah Toko Alat Permainan di Medan. Tidak cukup sampai disitu, pada Oktober 2017 lalu, ada 11 (sebelas) anggota TNI di Ambon, Maluku yang melakukan penyiksaan kepada seorang petani cengkeh bernama La Gode, hingga sang petani tersebut mencapai ajalnya.
Dari kesemua identifikasi masalah yang masih menghantui TNI tersebut, dapat dilihat bahwa pasca pencabutan Dwifungsi ABRI, belum tampak adanya perubahan dan reformasi yang signifikan di tubuh TNI. Selain masih maraknya kultur kekerasan, orientasi bisnis, hingga ketertutupan institusi, TNI masih belum bisa memprofesionalkan dirinya: dalam artian, bersetia teguh pada basis profesionalitasnya.
Catatan LBH Jakarta selama tahun 2017-2018 menunjukkan, bahwa TNI masih banyak melakukan hal yang diluar tugas profesionalnya: menghadang aksi masyarakat sipil dan kelompok buruh, serta melakukan eksekusi penggusuran paksa pemukiman warga kota. Berdasarkan hasil penelitian LBH Jakarta tahun 2016, setidaknya sebanyak 53 kasus penggusuran paksa hunian dan 20 kasus penggusuran paksa unit usaha melibatkan TNI di dalamnya. Tak jarang pula pada keterlibatannya TNI melakukan intimidasi psikis maupun fisik, seperti penggusuran Kalijodo, Komplek Zeni Mampang dan Pasar Ikan.
Tidak cukup sampai disana, TNI juga terlibat dalam pemberangusan kebebasan berekspresi dengan menekan kelompok sipil untuk tidak dapat mengemukakan ekspresinya, yang salah satunya terjadi pada pembubaran paksa acara “Asik-asik Aksi” di LBH Jakarta. Akibat dari tekanan tersebut, gedung YLBHI-LBH Jakarta dikepung oleh massa tak dikenal yang jumlahnya mencapai hampir 1500-an orang.
Selain itu, LBH Jakarta mencatat sejak tahun 2014 s/d 2017 terdapat 32 pengaduan masyarakat sipil kepada LBH Jakarta yang memiliki kasus berkaitan dengan TNI dan masuk dalam kategorisasi kasus peradilan yang tidak adil (unfair trial), serta berbagai tindakan represif lainnya yang melibatkan TNI dalam kehidupan sipil.
Atas dasar refleksi 73 tahun TNI dan persoalan-persoalan yang melingkupinya, LBH Jakarta bersama Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan dan Pertahanan mendesak agar:
1. Pemerintah dan DPR melakukan revisi sistematis atas UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer –yang notabenenya adalah biang segala bentuk impunitas kejahatan yang dilakukan TNI-, sebagai bentuk dari reformasi akses atas keadilan di Indonesia;
2. Pemerintah dan DPR melakukan restrukturisasi model organisasi TNI yang hingga kini masih memakai model komando teritorial, dengan struktur yang tidak mereplikasi model struktur kepemerintahan sipil;
3. Pemerintah dan DPR mereformasi kelembagaan TNI, agar lebih profesional, terbuka, dan akuntabel, sehingga lembaga TNI menjadi lembaga yang dapat dipantau oleh publik serta mampu mempertanggungjawabkan seluruh agendanya, termasuk agenda penyerapan anggaran dana pemerintah;
4. Pemerintah dan DPR meninjau ulang seluruh praktik-praktik pembuatan MoU yang telah dilakukan oleh TNI dengan berbagai institusi-institusi, yang mana pembuatan MoU tersebut selain banyak yang bertentangan dengan dasar kewenangan profesionalitas TNI, pun berpotensi melanggar hak asasi pihak ketiga. Juga meninjau seluruh produk hukum perundang-undangan yang melibatkan TNI dalam domain sipil, keamanan, dan penegakan hukum;
5. Pemerintah dan DPR membentuk tim khusus untuk mengambil alih seluruh aset bisnis TNI, terutama bisnis militer yang bersifat formal. Untuk bisnis militer yang bersifat informal maupun ilegal, Pemerintah dan DPR harus berperan aktif menindak personel TNI yang turut terlibat aktivitas bisnis tersebut;
6. Pemerintah maupun aparat-aparat peradilan umum yang berwenang, bertindak tegas dan aktif untuk menindak seluruh personil TNI yang terlibat dalam tindak kejahatan pidana umum, melalui mekanisme peradilan umum sipil yang adil (fair trial), sebagai bentuk pengakhiran impunitas kejahatan personil TNI;
Jakarta, 5 Oktober 2018
Hormat Kami
LBH JAKARTA
Narahubung:
- Arif Maulana (0817256167)
- Yunita (08999000627)
- Muhammad Rasyid Ridha S. (081213034492)