Sejak KUHAP diberlakukan puluhan tahun lalu, kasus salah tangkap oleh polisi masih terus terjadi. Meski aturan penangkapan dan penahanan telah diatur dalam KUHAP, tindakan salah tangkap hingga korban duduk di kursi pesakitan terbilang banyak. Hakim Pemeriksa Pendahuluan (HPP) yang tertuang dalam Revisi KUHAP menjadi angin segar bagi proses penegakan hukum yang adil dan jujur. Setidaknya, HPP menjadi pintu meminimalisir korban salah tangkap oleh polisi.
“Harus ada pemeriksaan pendahuluan, yaitu sebelum penahanan harus diperiksa. Bila kekhawatiran penyidik dan jaksa tidak terbukti, dan itu menjamin bahwa ada kedudukan yang sama antara penyidik, penuntut umum, dan tersangka di depan hakim pemeriksa pendahuluan,” ujar Wakil Direktur Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Restaria Hutabarat dalam sebuah diskusi di Jakarta, Jumat (25/10).
Menurutnya, ada 5 hal yang harus dirunut. Pertama penentuan seseorang sebagai tersangka mesti jelas aturannya. Semisal, orang itu diduga keras melakukan tindak pidana dan adanya dua alat bukti yang cukup.
Kedua, penangkapan. Ia berpendapat, penangkapan terhadap seorang tersangka dapat dilakukan dengan upaya paksa. Ketiga, penahanan sebagaimana diatur dalam Pasal 21 KUHAP telah jelas diuraikan. Keempat, mekanisme uji atas sah tidaknya penangkapan dan penahanan.
Restaria menilai, mekanisme uji penahanan dilakukan kepada HPP sebelum penahanan diterapkan kepada tersangka. Kelima, mekanisme pemberian rehabilitasi nama terhadap korban salah tangkap. Ia berharap dalam RKUHAP rumusan penangkapan dan penahanan mengarah pada syarat objektif. Pasal 113 ayat (5) RKUHAP menyatakan, “Dalam hal Hakim Pemeriksa Pendahuluan menetapkan atau memutuskan bahwa penahanan tidak sah, hakim pemeriksa pendahuluan menetapkan jumlah pemberian ganti kerugian dan atau rehabilitasi”.
Lebih jauh, Restaria berpandangan KUHAP yang berlaku kini sudah tidak mampu merespon keadilan masyarakat. Jika dalam KUHAP permohonan praperadilan yang diajukan pemohon, namun secara berbarengan berkas perkara seorang terdakwa dilimpahkan pengadilan maka praperadilan dinyatakan gugur. Dalam RKUHAP, Restaria mengusulkan permohonan praperadilan tetap diperiksa meskipun berkas perkara dilimpahkan ke pengadilan.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) Flora Dianti menambahkan, korban salah tangkap dapat mengajukan upaya praperadilan sesuai dengan Pasal 77 KUHAP. Menurutnya untuk meminimalisir korban salah tangkap harus ada check and balance system. Dalam RKUHAP, dimungkinkan penyidik dan jaksa dapat berkonsultasi kepada HPP sebelum penangkapan dan penahanan diberlakukan terhadap tersangka.
“Itu konsep keberadaan Hakim Pemeriksa Pendahuluan mengedepankan due process of law,” ujarnya.
Namun, ia menyangsikan untuk kasus tertentu seperti korupsi misalnya. Menurutnya, bila penyidik meminta izin penangkapan terhadap hakim yang diduga melakukan tindak pidana, maka informasi dikhawatirkan bocor. Makanya, Flora menilai RKUHAP belum maksimal.
“Yang saya khawatirkan siapa yang bertindak sebagai hakim pemeriksa pendahuluan?. Kalau di sini hakim pemeriksa pendahuluan itu hakim juga. Kalau di luar negeri itu jaksa,” ujarnya.
Advokat Publik LBH Jakarta Maruli Rajagukguk menambahkan, HPP menjadi gerbang untuk meminimalisir korban salah tangkap. Menurutnya, kejahatan salah tangkap terjadi pada kasus tertentu. Kasus pencurian dan pembunuhan, misalnya.
Kasus dugaan salah tangkap teranyar dialami pengamen Cipulir Jakarta Selatan atas perkara pembunuhan. Kasusnya kini bergulir ke meja hijau meski penyidik sudah diberikan bukti baru oleh pihak pengacara terdakwa. “Kasus salah tangkap dan peradilan sesat semestinya harus diakhiri dan dapat dicegah. Namun faktanya sampai saat ini masih tetap terjadi,” ujarnya.
Berdasarkan catatan LBH Jakarta, kata Maruli, tindakan penganiayaan yang dialami anak yang berhadapan dengan hukum terbilang tinggi. Dari 100 orang anak yang menjadi responden ketika menjalani proses hukum periode Januari 2010–Januari 2012. Keseratus responden anak itu ditahan di Lapas anak pria Tangerang, Lapas wanita Tangerang dan Rutan Pondok Bambu. Menurut Maruli, para responden mengaku polisi banyak melakukan penyiksaan.
Dikatakan Maruli, penyiksaan pada tahap penangkapan sebanyak 18%, pada tahap BAP sebanyak 84% dan pada tahap penahanan sebanyak 48%. “Mengacu pada situasi di atas, disimpulkan kondisi hukum dan HAM di bidang hak atas peradilan yang bersih, adil dan jujur mengalami kemunduran dan pembenahan dalam institusi Polri tidak kunjung membaik,” pungkasnya.
Sumber: hukumonline