Pers Rilis Nomor 895/SK-RILIS/V/2016
Somasi Terbuka untuk Panglima TNI
Sepanjang tahun 2015 di DKI Jakarta telah terjadi 113 Kasus penggusuran paksa, 8.145 diantaranya Kepala Keluarga dan 6.283 Unit Usaha, dari 113 kasus penggusuran 84% menggunakan APBD yang uangnya didapat dari masyarakat, dan paling mengkhawatirkan adalah keterlibatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam penggusuran paksa. LBH Jakarta mencatat bahwa dari 113 kasus penggusuran paksa 65 kali TNI terlibat aktif dalam melakukan penggusuran di DKI Jakarta sepanjang tahun 2015, data tersebut belum termasuk penggusuran baru-baru ini di Kampung Aquarium (kawasan pasar ikan) yang bersebelahan dengan wilayah Luar Batang Jakarta Utara yang juga melibatkan TNI dalam proses penggusuran paksa.
Keterlibatan aparat TNI di dalam kasus-kasus penggusuran paksa sesungguhnya bertentangan dengan ketentuan Undang-undang TNI yang menjelaskan pada Pasal 7 tugas TNI adalah menjaga kedaulatan negara dan mempertahankan keutuhan wilayah. Operasi militer selain perang, dalam membantu tugas pemerintah daerah atau membantu kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka keamanan dan ketertiban masyarakat yang diatur dalam undang-undang, harus dilaksanakan berdasarkan keputusan politik.
Ketentuan peraturan perundang-undangan yang memberikan wewenang bagi pemerintah daerah untuk menggunakan aparat TNI adalah Undang-undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial (UU Penanganan Konflik Sosial) jo. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2015 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial (PP Penanganan Konflik Sosial). Bahwa berdasarkan Pasal 33 ayat (2) UU Penanganan Konflik Sosial, pemerintah daerah, termasuk Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, wajib mengajukan permohonan bantuan terlebih dahulu untuk mengerahkan aparat TNI kepada Presiden Republik Indonesia. Jika merujuk Pasal 40 ayat (1) PP Penanganan Konflik Sosial, pengajuan bantuan tersebut baru dapat dilaksanakan setelah adanya penetapan status keadaan konflik oleh pemerintah atau Presiden Republik Indonesia.
Perlu diperhatikan juga bahwa penggusuran paksa tidak masuk dalam definisi konflik sosial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ke-1 UU Penangan Konflik Sosial dan sama sekali tidak termasuk dalam kriteria situasi yang diperbolehkan menurut peraturan perundang-undangan untuk menggunakan kekuatan TNI sebagaimana diatur di dalam Pasal 40 ayat (2) PP Penanganan Konflik Sosial.
Keterlibatan TNI berhadapan dengan masyarakat sebenarnya sudah banyak terjadi di Indonesia, dan beberapa aktif seperti di Papua selain itu juga melakukan pengamanan tempat-tempat yang masuk dalam kategori aset vital. Bahwa tugas TNI adalah menjaga kedaulatan Negara dan rakyat, keterlibatan TNI dalam Proses penggusuran paksa adalah kemunduran dari proses demokrasi dan reformasi militer, karena TNI tidak benar-benar kembali ke barak.
“Dengan melibatkan TNI dalam rangka membantu proses penggusuran paksa secara aktif di DKI Jakarta mengisyaratkan Gubernur Ahok yang lahir dari rahim Reformasi telah membangkitkan lagi semangat-semangat orde baru” ujar Alldo Fellix Januardy (Pengacara Publik LBH Jakarta).
Maka dengan ini kami mendesak TNI untuk tidak lagi terlibat di dalam kasus-kasus penggusuran paksa karena hal tersebut merupakan bentuk pelanggaran HAM dan tindakan yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, juga bentuk intimidasi bagi para korban penggusuran paksa.
Hormat Kami,
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Urban Poor Consortium (UPC), Indonesia tanpa Militerisme (ITM), SBMI, Sebumi, Papua itu Kita
Narahubung: Alldo Fellix Januardy (087878499399) & Gugun Muhamad (085775528945)