Jakarta. Di tengah jaminan konstitusional atas hak pendidikan, ternyata masih terdapat potret buram pemenuhan hak pendidikan di Indonesia. Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) tahun 2014. Dalam website resmi dikelola Panitia Pelaksana SNMPTN 2014 dan Majelis Rektor Perguruan Tinggi Negeri Indonesia (https://web.snmptn.ac.id/ptn/31) dinyatakan bahwa seorang calon peserta SNMPTN 2014 disyaratkan tidak tuna netra, tidak tuna rungu, tidak tuna wicara, tidak tuna daksa, tidak buta warna keseluruhan, dan tidak buta warna keseluruhan mapun sebagian.
“Bagi kami para guru Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), persyaratan yang dikeluarkan oleh panitia pelaksana SNMPTN 2014 dan Majelis Rektor Perguruan Tinggi Negeri Indonesia tersebut merupakan bentuk diskriminasi hak atas pendidikan. Ini pelanggaran atas konstitusi”, ujar Retno Listyarti, Sekjen FSGI, pada saat Jumpa Pers di LBH Jakarta, Senin (10/3).
Selanjutnya Retno menyatakan, “Jika seorang anak didik memiliki kapasitas intelektual yang memamdai dan memiliki kesehatan mental yang normal – tidak didiagnosa mengalami gangguan jiwa – dan mampu melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi namun dilarang melanjutkan dengan alasan mengalami kekurangan fiksi – tuna netra, tuna rungu, tuna daksa – maka artinya pemerintah sebagai penyelenggara pendidikan telah dengan sengaja menghianati amanat mencerdaskan kehidupan bangsa dengan menutup akses dan pemerataan pendidikan bagi siswa disabilitas / difabel”
Pemerhati pendidikan, Doni Koesoema A, pada saat yang sama menyatakan,”Kebijakan yang diskriminatif, tidak adil dan melukai martabat manusia, terutama bagi penyandang difabel, harus segera dihentikan”
Doni mengusulkan, “Pemerintah mereformasi kebijakan pendidikan nasional secara keseluruhan, mulai dari pendidikan tingkat dasar sampai tinggi, yang memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi setiap warganegara apapun kondisi mereka, untuk mengenyam pendidikan yang layak, adil dan tanpa diskriminasi”
F. Yonesta, Direktur LBH Jakarta menambahkan, “Ratifikasi Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD) adalah salah satu bukti dan janji nyata bahwa Indonesia tidak akan memperlakukan penyandang difabel sebagai manusia yang tidak setara dengan manusia pada umumnya, termasuk keniscayaan untuk tidak diskriminatif terhadap pemenuhan hak atas pendidikan kaum difabel”
“Pada Pasal 24 ayat (1) CRPD, ditegaskan bahwa Negara-negara Pihak mengakui hak orang-orang difabel atas pendidikan. Dalam rangka memenuhi hak ini tanpa diskriminasi dan berdasarkan kesempatan yang sama, Negara-negara Pihak wajib menjamin system pendidikan yang bersifat inklusif pada setiap tingkatan dan pembelajaran jangka panjang” sambungnya.
Bagi kaum difabel, persyaratan SNMPTN 2014 jelas membunuh harapan mereka untuk menjadi peserta SNMPTN. Hak mereka untuk mengembangkan minat, bakat dan kecerdasannya di perguruan tinggi negeri tertutup. Ketiadaan akses terhadap hak atas pendidikan juga akan berdampak terhadap hak hidup anak-anak difabel kedepannya. Bagaimanapun, pendidikan adalah pangkal dari penikmatan hak di semua sector kehidupan. Peniadaan terhadap hak atas pendidikan seorang ialah sumber dari malapetaka masa depan. Dengan konteks demikian, sangat terpahami apabila keluarga difabel sangat marah dan sedih ketika perguruan tinggi negeri yang notabene dikelola oleh Negara menutup hak atas pendidikan difabel.