Pada 28 Maret 2024, keluarga korban Penghilangan Orang secara Paksa 1997-1998, Paian Siahaan (ayah dari Ucok Munandar Siahaan) dan Hardingga (anak dari Yani Afrie) bersama dengan sejumlah organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas mengajukan gugatan terhadap Keputusan Presiden RI (Keppres) No. 13/TNI/2024 tertanggal 21 Februari 2024 tentang Penganugerahan Pangkat secara Istimewa berupa Jenderal TNI Kehormatan kepada Prabowo Subianto. Gugatan ini diajukan melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.
Sebelumnya, pada 18 Maret 2024, Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) Kementerian Sekretariat Negara RI menyatakan dalam surat jawaban Permohonan Informasi bernomor B-20/S/Humas/HM.00.00/03/2024 bahwa pemberian pangkat Jenderal Kehormatan Bintang 4 kepada Prabowo Subianto didasarkan pada surat Panglima TNI No. R/216/II/2024 tanggal 16 Februari 2024 alih-alih berdasarkan Undang-Undang (UU) No. 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (UU GTK). Pernyataan ini bertentangan dengan keterangan yang diberikan oleh Presiden Joko Widodo dan Panglima TNI Agus Subiyanto kepada media bahwa pemberian pangkat Jenderal TNI Kehormatan tersebut merupakan konsekuensi logis dari dan berdasarkan pada UU GTK. Sampai saat ini, Keppres No. 13/TNI/2024 tidak diketahui secara jelas oleh publik.
Kemudian, pada 25 Maret 2024, Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas telah mengirimkan Keberatan Administratif terhadap Keppres No. 13/TNI/2024 kepada Presiden Joko Widodo melalui Kementerian Sekretariat Negara RI. Akan tetapi, Presiden Joko Widodo tidak memberikan jawaban apapun terhadap keberatan tersebut. Oleh karena itu, Banding Administratif pun diajukan pada 17 April 2024. Namun, jawaban yang diberikan oleh Menteri Sekretaris Negara Pratikno melalui surat No. B-200/M.D-1/HK.06.02/05/2024 tertanggal 08 Mei 2024 tidaklah mampu menjawab secara substantif banding yang diajukan. Dalam surat tersebut, dinyatakan bahwa “penerbitan Keputusan Presiden tersebut telah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Jawaban yang diberikan ini kian memperkuat nuansa transaksi politik dan penguatan impunitas dalam pemberian pangkat Jenderal TNI Kehormatan yang telah dilakukan. Pasalnya, tidak hanya karena pemberian pangkat ini tidak memiliki dasar hukum yang kuat, Prabowo Subianto selaku penerima pangkat pun bukan lagi seorang prajurit aktif TNI. Ia telah diberhentikan dari dinas keprajuritan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia melalui Keppres RI No. 62/ABRI/1998 yang dikeluarkan oleh Presiden B. J. Habibie tertanggal 20 November 1998 sebagai konsekuensi dari keterlibatannya dalam kejahatan HAM kasus Penghilangan Orang secara Paksa 1997-1998, sebagaimana dinyatakan dalam Keputusan Dewan Kehormatan Perwira No. KEP/03/VIII/1998/DKP tertanggal 21 Agustus 1998.
Dalam UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI), tidak terdapat frasa “pangkat secara istimewa,” sebagaimana pangkat Jenderal TNI Kehormatan Bintang 4 yang telah diberikan kepada Prabowo Subianto, melainkan frasa “pangkat penghargaan.” Kemudian, dalam Pasal 27 Ayat (2) UU TNI dinyatakan bahwa pangkat dalam TNI hanya dapat diberikan kepada prajurit atau kepada warga negara yang diperlukan dan bersedia menjalankan tugas jabatan keprajuritan tertentu di lingkungan TNI (tituler). Lebih lanjut, Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 2010 tentang Administrasi Prajurit Tentara Nasional Indonesia melalui penjelasan Pasal 27 Ayat (2) Huruf b menyatakan bahwa kenaikan pangkat penghargaan diberikan paling cepat 3 (tiga) bulan dan paling lambat 1 (satu) bulan sebelum pensiun. Dengan demikian, pemberian pangkat Jenderal TNI Kehormatan kepada Prabowo Subianto ini bertentangan dengan peraturan hukum yang ada.
Pemberian pangkat kehormatan ini disertai dengan ketidakjelasan kepastian hukumnya menjadi preseden buruk bagi penegakkan hak asasi manusia (HAM) dan penyelenggaran pemerintahan yang baik. Adanya pemberian pangkat Jenderal TNI Kehormatan Bintang 4 ini menunjukkan bahwa pemerintah, dalam hal ini Presiden Joko Widodo, mengabaikan peraturan hukum yang ada serta mengingkari janji dan pernyataannya sendiri dalam rangka memperkokoh impunitas. Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998 telah ditetapkan oleh Komnas HAM sebagai peristiwa pelanggaran HAM yang berat pada 30 Oktober 2006, sesuai dengan mandatnya dalam UU No. 26 Tahun 2006 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU Pengadilan HAM). Dalam Ringkasan Eksekutif hasil Penyelidikan pun dinyatakan bahwa Prabowo Subianto merupakan salah satu orang yang diduga terlibat dan patut untuk dimintai pertanggungjawabannya sesuai dengan prinsip pertanggungjawaban rantai komando, sebagaimana ditetapkan dalam UU Pengadilan HAM. Pada 11 Januari 2023, Presiden Joko Widodo telah mengakui terjadinya peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM yang berat, termasuk peristiwa Penghilangan Orang secara Paksa 1997-1998. Pengakuan tersebut seakan hanya menjadi upaya mencuci dosa dan retorika angin lewat belaka tanpa disertai dengan komitmen untuk menyelesaikan kasus dengan memberikan keadilan yang menyeluruh bagi korban dan keluarga korban. Janji untuk menuntaskan kasus Penghilangan Orang secara Paksa 1997-1998 pun telah ia sampaikan dalam kampanye Nawacita untuk Pemilihan Umum 2014 lalu. Bukannya menyelesaikan kasus Penghilangan Orang secara Paksa 1997-1998 dengan substantif, Presiden Joko Widodo malah memberikan pangkat Jenderal TNI Kehormatan ini yang tidak diketahui urgensi, motif, dan dasar hukum yang jelas.
Oleh karena itu, Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas mendesak agar:
1. Majelis Hakim PTUN Jakarta menyatakan batal atau tidak sah Keppres No. 13/TNI/2024;
2. Majelis Hakim PTUN Jakarta mewajibkan Presiden Joko Widodo untuk mencabut Keppres No. 13/TNI/2024;
3. Presiden Joko Widodo melaksanakan 4 (empat) Rekomendasi Panitia Khusus DPR RI tahun 2009 untuk kasus Penghilangan Orang secara Paksa 1997-1998; dan
4. Presiden Joko Widodo beserta jajarannya menaati peraturan perundang-undangan yang berlaku dan mengedepankan penegakan hak asasi manusia.
Jakarta, 28 Mei 2024
Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas
1. Keluarga Korban Penghilangan Orang secara Paksa 1997-1998
2. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
3. IMPARSIAL
4. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
5. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta
6. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat
7. AMAR Law Firm and Public Interest Law Office