Jakarta, 7 September 2025 – Hak untuk mendapatkan udara yang bersih merupakan hak asasi manusia. Masyarakat internasional telah mengakui udara bersih sebagai bagian hari hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Setiap tanggal 7 September, masyarakat internasional memperingati Hari Udara Bersih untuk meningkatkan kesadaran publik mengenai pentingnya udara bersih bagi kesehatan dan lingkungan. Pemerintah Indonesia juga telah mengakomodir hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia sebagaimana diatur dalam Pasal 28H ayat (1) UUD NRI 1945 dan Pasal 9 ayat (3) UU 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Sayangnya, Jakarta kini menghadapi masalah serius dalam aspek udara bersih. Pada bulan Agustus 2025 misalnya, Jakarta sempat masuk ke dalam kota ketiga paling tercemar udaranya menurut IQAir berdasarkan pengukuran Indeks Kualitas Udara Jakarta yang masuk dalam kategori “tidak sehat bagi kelompok sensitif”. Buruknya kualitas udara Jakarta disinyalir berasal dari polusi udara akibat limbah industri, perumahan, transportasi, hingga pembangkit listrik tenaga uap. Polusi udara ini menimbulkan berbagai akibat yang berpengaruh atas menurunnya kualitas lingkungan dan kehidupan umat manusia. Mulai dari memperburuk krisis iklim, munculnya kerugian ekonomi, hingga menghambat produktivitas pertanian.
Sebetulnya, Pemerintah sudah mendapatkan “teguran” dari warga terkait ketersediaan udara bersih dan upaya melawan polusi udara di Jakarta. Pada tanggal 16 September 2021, Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat melalui Putusan Nomor 374/Pdt.G/LH/2019/PN.Jkt.Pst. telah mendorong agar negara, melalui peran pemerintah pusat dan pemerintah daerah, aktif memikul tanggung jawab untuk memenuhi hak atas udara bersih bagi warganya. Meski sempat diajukan upaya kasasi, Mahkamah Agung malah menguatkan Putusan PN Jakarta Pusat melalui Putusan Nomor 2560K/Pdt/2023 yang telah
berkekuatan hukum tetap sejak 21 November 2024. Artinya, tidak ada lagi alasan bagi Pemerintah untuk tidak melaksanakan putusan tersebut.
Amar putusan tersebut kemudian menghadirkan konsekuensi bagi Para Tergugat, yaitu Presiden, Menteri Dalam Negeri, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Kesehatan dan Gubernur DKI Jakarta untuk mengambil langkah konkrit guna mengatasi polusi udara Jakarta. Presiden, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta Menteri Dalam Negeri wajib melakukan pengetatan baku mutu udara ambiens nasional hingga melakukan pengawasan terhadap Gubernur DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat terkait kebijakan mengatasi polusi udara. Menteri Kesehatan memiliki kewajiban untuk melakukan perhitungan terhadap dampak kesehatan akibat pencemaran udara. Gubernur DKI Jakarta wajib melakukan serangkaian tindakan, di antaranya mengetatkan Baku Mutu Udara Ambien Daerah Provinsi DKI Jakarta, melakukan inventarisasi terhadap mutu udara dan potensi sumber pencemar, menyusun dan mengimplementasikan “Strategi dan Rencana Aksi Pengendalian Pencemaran Udara” dengan mempertimbangkan penyebaran emisi dari sumber pencemar.
Kami menilai, berbagai kewajiban pemerintah sebagaimana diatur dalam Putusan tersebut belum juga dilakukan oleh Pemerintah. Oleh karena itu, kami berpendapat sebagai berikut: Pertama, Pemerintah telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia dengan melakukan pengabaian terhadap pemenuhan hak asasi manusia, yaitu hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 28H UUD NRI 1945 dan Pasal 9 ayat (3) UU HAM. Meskipun Pemerintah telah mengeklaim bahwa mereka telah melakukan serangkaian tindakan untuk mengatasi polusi udara, solusi yang dikeluarkan hingga sekarang belum bisa mengatasi masalah fundamental mengenai polusi udara. Penundaan terhadap pelaksanaan putusan ini sama saja dengan mengorbankan nasib warga Jakarta.
Kedua, terdapat kemunduran dalam pengentasan masalah polusi udara di Indonesia akibat kebijakan yang kontraproduktif dengan pengendalian polusi udara. Nihilnya komitmen pemerintah untuk mengentaskan masalah polusi udara segera nampak tatkala baru dua bulan menjabat, Presiden Prabowo Subianto melempar diskusi untuk mengeluarkan Indonesia dari Perjanjian Paris (Paris Agreement). Target Presiden Prabowo Subianto pada awal masa pemerintahannya agar Indonesia dapat bebas emisi 2050 pun juga direvisi oleh dirinya sendiri menjadi tahun 2060. Dari paradigma semacam itu, maka tak heran bila
penghentian penggunaan energi kotor seperti batu bara dan bahan bakar fosil tidak dilakukan secara sungguh-sungguh.
Ketiga, permasalahan mengenai hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat berkaitan dengan udara bersih tidak bisa dipandang sebagai hak yang terpisah dari hak asasi manusia lainnya. Keberadaan udara yang bersih adalah esensial untuk pemenuhan terhadap hak lainnya, misalnya hak atas kesehatan dan hak atas pendidikan. Tidak dipenuhinya hak atas udara bersih dapat berpengaruh kepada berkurangnya hak lainnya. Peristiwa itu pernah terjadi di tahun 2022 di mana siswa-siswi di Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah di Marunda, Jakarta Utara harus terganggu pendidikan akibatnya debu yang dihasilkan dari polusi akibat kegiatan bongkar muat batubara di Marunda. Tingkat polusi udara yang buruk juga dikhawatirkan akan berdampak pada memburuknya kesehatan warga Jakarta melalui penyakit pernapasan seperti Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA).
Atas penilaian tersebut, kami mendesak:
- Presiden Republik Indonesia, Menteri Lingkungan Hidup, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Kesehatan untuk segera menjalankan kewajiban sebagaimana diatur dalam amar Putusan Nomor 374/Pdt.G/LH/2019/PN.Jkt.Pst yang telah dikuatkan oleh Putusan Mahkamah Agung Nomor 2560K/Pdt/2023 yang telah berkekuatan hukum tetap; dan
- Gubernur DKI Jakarta untuk segera melakukan serangkaian upaya strategis guna menjamin pemenuhan hak warganya mendapatkan udara bersih melalui kebijakan strategis, implementasi kebijakan, dan evaluasi berkala terhadap program yang telah dijalankan sebagaimana diperintahkan dalam Putusan Nomor 374/Pdt.G/LH/2019/PN.Jkt.Pst yang telah dikuatkan oleh Putusan Mahkamah Agung Nomor 2560K/Pdt/2023 yang telah berkekuatan hukum tetap agar kondisi kualitas udara di Jakarta segera membaik.
Tanpa adanya implementasi yang nyata, segala jargon, program, dan kebijakan hanyalah angin belaka.
Narahubung: Alif Fauzi Nurwidiastomo ([email protected])