Hari ini merupakan peringatan Hari Kebenaran Internasional atau, “International Day for the Right to the Truth Concerning Gross Human Rights Violations and for the Dignity of Victims”, momentum peringatan Hari Kebenaran Internasional ini diperingati dengan sangat buruk oleh pemerintah karena membuka peluang bagi mekanisme non-yudisial dalam penanganan Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu dengan rencana membentuk Unit Kerja Presiden untuk Penanganan Peristiwa Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat melalui Mekanisme non-yudisial (UKP-PPHB) berdasarkan Peraturan Presiden.
Rencana Presiden Joko Widodo tersebut bertentangan dengan pernyataannya dalam Pidato Pembukaan Rapat Kerja Kejaksaan RI pada tanggal 14 Desember 2020, yang menyatakan, “Komitmen penuntasan masalah HAM masa lalu harus terus dilanjutkan, Kejaksaan adalah aktor kunci dalam penuntasan pelanggaran HAM masa lalu, kemajuan konkrit dalam upaya penuntasan pelanggaran HAM masa lalu perlu segera terlihat.” Bahwa berdasarkan Pasal 21 ayat (1) Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia,“Penyidikan perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan oleh Jaksa Agung”, yang kemudian melakukan penuntutan terhadap Pelanggaran HAM yang Berat sebagaimana Pasal 23 ayat (1) UU Pengadilan HAM.
Maka dari itu, senada dengan keterangan M. Choirul Anam (Komisioner KOMNAS HAM) dalam persidangan Perkara Nomor Register: 99/G/2020/Ptun.Jkt di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta pada hari Rabu, 30 September 2020, “Hambatan dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM yang berat, khususnya kasus Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II bukan teknis hukum, melainkan tidak ada political will (kehendak politik) untuk menyelesaikan kasus tersebut secara serius”.
LBH Jakarta sangat menyesalkan langkah yang diambil Presiden Joko Widodo yang menyelundupkan dan mengutamakan mekanisme non-yudisial dalam Penanganan Pelanggaran HAM Berat, selain secara hierarkis lemah karena tidak dibentuk berdasarkan UU terlebih Undang-undang No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) sudah dibatalkan Mahkamah Konstitusi. tindakan tersebut menunjukkan keberpihakan pemerintah kepada para pelaku pelanggaran HAM berat masa lalu, melanggengkan impunitas serta pengingkaran terhadap hak korban dan keluarga.
Jika mencontoh praktik baik dari beberapa negara seperti; Australia yang pada tahun 2008 meminta maaf kepada ,“Stolen Generations”, penduduk Aborigin yang menjadi korban karena dipisahkan secara paksa dari orang tua mereka karena kebijakan asimilasi yang berlangsung sejak abad 19, Belanda yang meminta maaf dan memberikan kompensasi kepada korban dan keluarganya karena kejahatan perang sepanjang 1945-1949 (Pembantaian Rawagede dan Pembantaian Westerling), atau kemudian seperti Belgia, Jerman, Afrika Selatan, Amerika Serikat yang meminta maaf secara resmi dan terbuka kepada para korban pelanggaran HAM masa lalu.
Berdasarkan Pasal 14 Konvensi Anti Penyiksaan (Committee against Torture) yang mengatur mengenai permintaan maaf negara adalah bentuk penebus kesalahan (satisfaction) terhadap korban pelanggaran HAM berat masa lalu, dalam momentum Hari Kebenaran Internasional ini Presiden Joko Widodo seharusnya melakukan permintaan maaf kepada para keluarga dan korban Pelanggaran HAM berat masa lalu dan melakukan tindakan-tindakan konkrit yang berperspektif korban seperti pengungkapan kebenaran, penegakan hukum, dan reformasi kelembagaan sebagaimana tertuang di dalam Resolusi Majelis Umum PBB No. 56/83 tentang Kewajiban Negara atas Tindakan Pelanggaran Hukum Internasional pada tanggal 12 Desember 2001.
LBH Jakarta menilai terduga pelaku Pelanggaran HAM berat masa lalu butuh Pengadilan HAM bukan mekanisme non-yudisial karena korban dan keluargannya perlu tahu kebenaran atas peristiwa pelanggaran HAM berat yang terjadi dan melakukan segala upaya pemulihan secara menyeluruh, mengingat sejak reformasi tidak ada kemajuan secara signifikan negara menjalankan kewajibannya dalam pengungkapan kebenaran, penegakan hukum dan reformasi kelembagaan padahal sudah ada hasil penyelidikan dari Komnas HAM.
Maka untuk itu LBH Jakarta mendesak agar;
- Presiden Joko Widodo harus mengakui bahwa telah terjadi Pelanggaran HAM Berat pada masa lalu dan melakukan permohonan maaf kepada korban dan keluarga serta seluruh waga negara secara terbuka serta melakukan pengungkapan kebenaran, penegakan hukum, dan reformasi kelembagaan dalam penanganan perkara pelanggaran HAM berat;
- Presiden Joko Widodo memerintahkan Jaksa Agung untuk segera menindaklanjuti hasil penyelidikan dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (HAM) dengan melakukan penyidikan terhadap peristiwa Pelanggaran HAM Berat masa lalu;
- Komnas HAM dan Jaksa Agung segera menyerahkan hasil penyelidikan dan penyidikan Pelanggaran HAM Berat masa lalu ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia;
- Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia segera merekomendasikan dan/atau mengusulkan pembentukan Pengadilan HAM Ad-hoc atas Peristiwa Pelanggaran HAM Berat masa lalu;
Hormat kami,
LEMBAGA BANTUAN HUKUM (LBH) JAKARTA