Hari ini POLRI memperingati hari jadinya yang ke 67. Besar harapan masyarakat agar Kepolisian Republik Indonesia menjadi Polisi yang dapat menjadi pengayom, pelindung dan pelayan masyarakat yang selalu dekat dengan masyarakat, penegak hukum yang profesional dan proporsional yang menjunjung tinggi supremasi hukum dan hak asasi manusia. Hanya saja harapan untuk menggapai visi misi tersebut masih menemui banyak kendala. Kendala tersebut salah satunya adalah banyaknya kasus yang justru mencoreng wajah POLRI yang sedang berbenah dalam agenda Reformasi.
Dalam catatan LBH Jakarta terdapat berbagai catatan peristiwa yang menggambarkan peristiwa-peristiwa tersebut:
1. Penegak Hukum yang melanggar Hukum
Polisi seharusnya menjadi teladan masyarakat, pengayom dan pelindung masyarakat sebagaimana visi dan misi POLRI. Sayangnya berbagai kasus menunjukkan bahwa semakin bayak polisi yang menjauh dari visi dan misi yang diembannya. Sitauasi ini dinilai mencoreng institusi Polisi sebagai lembga yang seharusnya menjadi penegak hukum namun bertindak sebaliknya, menjadi pelanggar hukum. Hal tersebut tergambar dalam berbagai peristiwa kejahatan dan Pelanggaran yang pelakunya adalah anggota POLRI. Bentuk kejahatan yang dilakukan pun beragam mulai dari Korupsi, pembunuhan, narkotika, perampokan, penganiayaan sampai tindakan asusila.
Jenis Kasus yang dilakukan Polisi (2012-2013) | Jumlah Kasus |
Korupsi |
2 |
Kasus Kepemilikan Rekening Gendut, Penyelundupan Kayu dan BBM Ilegal |
1 |
Perkosaan |
5 |
Pembunuhan |
4 |
Narkotika |
13 |
Perampokan |
3 |
Pencurian |
2 |
Penggelapan |
2 |
Penipuan |
3 |
Penganiayaan |
19 |
Pemerasan |
3 |
Pengrusakan |
2 |
Asusila |
3 |
Total |
62 |
Data LBH Jakarta diolah dari berbagai sumber
Berdasarkan catatan diatas, nampak bahwa tingkat kejahatan dan pelanggaran yang dilakukan oleh Polisi terbilang cukup tinggi.
2. Polisi Pelaku Penyiksaan
Terdapat tiga kasus penyiksaan. Satu diantara kasus tersebut ditangani LBH Jakarta yakni kasus Yusli tersangka yang ditangkap tanpa surat perintah kemudian dibunuh oleh Polis dan dua kasus lain yaitu penyiksaan tahanan narkoba oleh Polisi dan Perkosaan tahanan narkoba dengan ditodongkan pistol di Poso.[1]
Kondisi penyiksaan diatas nampak paralel dengan Hasil Penelitian LBH Jakarta terhadap situasi Pelanggaran Hak Anak dalam Peradilan Pidana yang menunjukkan bahwa :
- Penyiksaan saat penangkapan terjadi pada 97% anak yang berhadapan dengan kasus hukum. Penyiksaan fisik (ditembak, dibakar, disetrum, dijepit, disundut, direndam, tidak diberi makan, dipukul tidak sampai luka atau cacat, dipukul hingga luka atau cacat, diseret, dijambak), 79%, Penyiksaan psikis (ditodong pistol, dibentak, dihina, diancam, disuruh-suruh, dibohongi, tidak boleh dikunjungi, didiamkan berjam-jam, dibotaki, diperdengarkan suara keras) 82%. Penyiksaaan Seksual Saat penangkapan 65% mengalami. Bentuk penyiksaan seksual (diperkosa, dipaksa oral seks, dipaksa Ouani, diraba bagian sensitif, difoto dalam keadaan mesum, dipaksa berciuman, ditelanjangi) Pelakunya 82 % adalah Polisi, 11 % massa, 1% Satpam, 4 % TNI.[2]
- Penyiksaan saat BAP, 98 % responden mengalami penyiksaan saat proses BAP sisanya tidak. Bentuk Penyiksaan fisik (ditembak, dibakar, disetrum, dijepit, disundut, direndam, tidak diberi makan, dipukul tidak sampai luka atau cacat, dipukul hingga luka atau cacat, diseret, dijambak), 64%, Penyiksaan psikis (ditodong pistol, dibentak, dihina, diancam, disuruh-suruh, dibohongi, tidak boleh dikunjungi, didiamkan berjam-jam, dibotaki, diperdengarkan suara keras) 77%. Responden mengalami Penyiksaaan Seksual Saat penangkapan 18% . Bentuk penyiksaan seksual (Dimasukkan benda di anus/vagina, diperkosa, diperkosa sesama jenis, dipaksa oral seks, dipaksa Onani, diraba bagian sensitif, difoto dalam keadaan mesum, dipaksa berciuman, ditelanjangi)
- Penyiksaan saat penahanan, 74 % responden mengalami penyiksaan saat penahanan sisanya tidak. Pelaku Penyiksaan Anak Pada saat penahanan Polisi 48%, Sesama tahanan 30%, Petugas Rutan/Lapas 16%, Jaksa 3%, Petugas Bapas 3%.[3] Bentuk Penyiksaan fisik (ditembak, dibakar, disetrum, dijepit, disundut, direndam, tidak diberi makan, dipukul tidak sampai luka atau cacat, dipukul hingga luka atau cacat, diseret, dijambak), 66%,
Penyiksaan psikis (ditodong pistol, dibentak, dihina, diancam, disuruh-suruh, dibohongi, tidak boleh dikunjungi, didiamkan berjam-jam, dibotaki, diperdengarkan suara keras) 74%.
Responden mengalami Penyiksaaan Seksual Saat penahanan 18% . Bentuk penyiksaan seksual (Dimasukkan benda di anus/vagina, diperkosa, diperkosa sesama jenis, dipaksa oral seks, dipaksa Onani, diraba bagian sensitif, difoto dalam keadaan mesum, dipaksa berciuman, ditelanjangi)
1. Salah Gunakan Wewenang
Dalam rekam jejak Polri kurun waktu 2012-2013 yang dilakukan LBH Jakarta. Beberapa peristiwa menunjukkan bagaimana aparat polisi seringkali menyalahgunakan kewenangan besar yang dimilikinya. Kewenangan lebih tersebut digunakan untuk kepentingan pribadi, maupun kelompok. Terdapat 6 kasus penyalahgunaan wewenang dan jabatan yang tercatat, diantaranya: Adanya Kapolres Mojokerto Pelaku Pelecehan Seksual kepada anak buah, Polda Jabar yang menghalangi eksekusi Susno Duadji, Polisi Sebar Foto Vulgar Novi Amalia yang sedang ditahan, Polisi Bergiliran Perkosa Tahanan Narkoba dengan menodongkan pistol, , Pemerasan Polisi Lalu Lintas Bali kepada Turis Belanda, Pemerasan dengan modus narkoba. Serta keterlibatan polisi dalam penggusuran paksa yang melanggar hukum.
2. Ketidakprofesionalan
a. Salah Tangkap,
Dalam catatan LBH Jakarta terdapat 4 kasus salah tangkap yang terjadi. Kasus yang mencuat ke permukaan adalah kasus Hasan Basri yang ditangani oleh LBH Jakarta, Tukang ojek tersebut dituduh merampok oleh Polisi Resort Jakarta Pusat. Pada Bulan Mei 2013 Mahkamah Agung membebaskan Hasan Basri.
b. Kriminalisasi,
Terdapat 8 Kasus kriminalisasi yang dilakukan oleh Polisi dari tahun 2012-2013. Korban kriminalisasi di dominasi oleh buruh. Mereka adalah buruh yang memperjuangkan hak-haknya. Sisanya adalah warga dua orang dan seorang pendeta yang memperjuangkan hak beribadah. Salah satu kasus yang mencuat dipublik adalah kasus suami istri di Semarang (Slamet dan Muntamah) yang dikriminalisasikan setelah melaporkan kasus penipuan percaloan penerimaan anggota POLRI di Semarang oleh Margiono anggota Polisi.
c. Pembiaran terhadap Tindakan Masa Intoleran
Terdapat tiga kasus yang dapat menggambarkan tindakan pembiaran yang dilakukan oleh aparat kepolisian. Seringkali terjadi pembiaran ketika terjadi penyerangan oleh masa intoleran terhadap jemaat ahmadiyah dan syiah. Tiga kasus berikut menujukkan tindakan pembiaran tersebut.
– Kasus Penyerangan Muslim Sampang Madura
– Kasus Penyeragngan Jemaat AHmadiyah Kabupaten Tasik Malaya
– Kasus pembiaran aparat saat penyerangan mushola ahmadiyah di Tulung agung.
d. Undue Delay Kasus.
Berbagai permasalahan dalam proses penyelesaian kasus di kepolisian antara lain, laporan yang tidak ditindak lanjuti, pemeriksaan kasus yang lambat, pemeriksaan kasus yang tidak berlanjut tanpa alasan yang jelas, permintaan perkembangan penyidikan yang tidak ditanggapi, alasan kurang bukti. Situasi ini berdampak terhadap kepercayaan korban pada Institusi Kepolisian. Korban yang berharap adanya penegakan hukum terhadap pelaku dan sebagai pemulihan, justru menjadi korban lagi akibat ketidakpastian hukum. Berdasarkan catatan LBH Jakarta terdapat 14 Kasus yang terhenti atau mengalami stagnansi proses di penyidikan polisi. Kasus2 tersebut diantaranya terdiri dari:
- satu kasus laporan terkait keterangan palsu oleh anak korban salah tangkap
- Tujuh kasus Pidana Perburuhan mendek.[4]
- Satu korban Salah tembak oleh oknum polisi
- Dua Laporan Korban pembunuhan
- Satu korban kecelakaan dan melarikan perempuan
e.Salah tembak
Dalam kurun waktu 2012-2013 terdapat 8 kasus salah tembak yang dilakukan oleh Polisi. Dari keenam kasus. Dari kedelapan kasus tersebut diantaranya mengakibatkan dua orang tewas dan satu orang cacat.
5. Penegak Hukum Kebal Hukum ( Impunitas)
Terdapat 5 kasus yang tercatat oleh LBH Jakarta dapat menggambarkan bagaimanaa impunitas atau ketidakberdayaan hukum ditubuh anggota POLRI. Kasus-kasus tersebut diataranya kasus AKBP ES, Polisi penipu rental, Polisi Pemalak Bule di Bali, Polisi Penyiksa Yusli, Polisi Penyebar foto vulgar Model Novi Amalia.
6. Fenomena Polisi Bunuh Diri
Kasus bunuh diri yang dilakukan anggota Polri menjadi sebuah peristiwa yang sangat memprihatinkan. Jumlahnya menunjukkan peningkatan. Sepanjang tahun 2013 ini saja, dalam waktu 6 bulan, sudah ada lima polisi yang tewas bunuh diri. Semuanya polisi jajaran bawah berpangkat Aiptu, Briptu, dan Bripka.
Data diatas tentunya tidak dapat menunjukkan seluruh kasus yang sebenernya riil terjadi dilapangan mengenai jumlah kasus yang ada. Kami menyadari masih banyak kasus yang sama terjadi diberbagai daerah di Indonesia yang belum terungkap dan diungkap. Meskipun demikian kasus-kasus diatas dapat menggambarkan bagaimana situasi kepolisian saat ini. Ada masalah serius di tubuh institusi penegak hukum yang berumur 67 tahun ini. Reformasi kelembagaan yang sudah sejak tahun 2000 nampaknya gagal dan tidak menunjukkan bukti perbaikan.
Berdasarkan gambaran jejak POLRI 2012-2013 tersebut, LBH Jakarta menuntut :
- Harus ada ketegasan dalam pegakkan hukum tanpa pandang bulu, Tak ada impunitas untuk siapapun termasuk Polisi. Terhadap Polisi pelaku kejahatan dan penyiksaan harulah dihukum berat dan dipecat dari institusi. Penegakan disiplin dan etik polisi harus transparan dengan membuka akses informasi dan memberikan ruang keterlibatan yang seimbang bagi para korban.
- Segera dilakukan pembahasan dan pengesahan terhadap RUU KUHP dan RUU KUHAP sebagai prioritas pada tahun 2013 dengan semangat pemajuan dan perlindungan Hak Asasi Manusia serta adanya mekanisme pemulihan yang efektif bagi para korban kesewenang-wenang aparat penegak hukum dengan mengadopsi Konvensi HAK Sipol dan Konvensi Anti Penyiksaan;
- Polisi harus menyediakan ketentuan mengenai mekanisme internal pemulihan hak-hak korban-korban salah tangkap, rekayasa kasus, penyiksaan dan kriminalisasi;
- Perkuat Komisi Kepolisian RI dan pengawas internal kepolisian sebagai bagian dari proses mempercepat reformasi kultural kepolisian.
- Laksanakan seleksi aparat kepolisaian yang jujur, pendidikan kepolisian yang berkualias yang berpegang pada semangat anti KKN serta penghormatan Hukum dan HAM:
- Pengawasan ketat terhadap penggunaan senjata pada anggota kepolisian;
- Menuntut Presiden RI untuk memilih KAPOLRI kompeten yang memiliki komitmen kuat untuk mewujudkan visi dan misi POLRI dan memimpin Reformasi Polri yang “terhenti”;
Demikian pernyataan ini kami buat, atas perhatiannya kami ucapkan terimakasih. Dirgahayu Bhayangkara ke 67 !
Jakarta, 1 Juli 2013
Hormat Kami,
Lembaga Bantuan Hukum Jakarta
Kontak :
Muhammad Isnur (081510014395)
Arif Maulana (0817256167)
Maruli Tua Rajagukguk (081369350396)
[1] Kasus pemerkosaan terhadap tahanan wanita oleh aparat polisi bukan hanya terjadi sekali. ada tiga penyebab kasus itu selalu terjadi. Pertama, sel tahanan wanita tidak representatif sehingga rentan terjadi pemerkosaan. Kedua, tahanan wanita tidak dijaga Polwan, terutama pada malam hari. “Ketiga, pengawasan dari atasan rendah, sehingga polisi di jajaran bawah bisa bersikap semaunya. pelaku harus dikenai sanksi berat agar ada efek jera terhadap pelaku lainnya. “Polisi yang memperkosa tahanan harus dikenakan hukuman mati,” pungkasnya. Lihat dalam http://news.okezone.com/read/2013/04/01/337/784108/ipw-polisi-pemerkosa-tahanan-harus-dihukum-mati, diakses 29 Juni 2013
[2] Restaria Hutabarat dkk. Memudarnya Batas Kejahatan dan Penegakan Hukum , “Situasi Pelanggaran Hak Anak dalam peradilan Pidana”. LBH Jakarta. Hal 76-81
[3] Ibid. Hal. 73
[4] Tahun 2012 ini adalah tahun dimana Tindak Pidana Pemberangusan Serikat Buruh (Union Busting), dalam catatan Hak atas Kebebasan berserikat, tercatat setidaknya ada 10 kasus. Tetapi pertanyaannya apakah laporan-laporan tindak pudana union busting ini dilanjutkan dan diproses hingga disidangkan, faktanya hampir tidak ada. Lihat Catatan Akhir Tahun LBH Jakarta 2012, hal 102.