Rilis Media Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta (KMMSAJ)
22 Desember 1992 pada sidang umum PBB ke-47 di Rio De Janeirio, Brazil disepakati bahwa pada tanggal 22 Maret sebagai hari air sedunia. Peringatan hari air sedunia baru mulai diperingati pada tahun 1993 oleh Negara-Negara anggota PBB. Hari ini, tepat peringatan ke-28 hari air internasional juga dirayakan oleh Indonesia. Ironinya, ditengah perayaan tersebut, air masih menjadi alat untuk mengeruk keuntungan.
Salah satunya, Privatisasi air di DKI Jakarta yang terjadi sebaai akibat perjanjian kerjasama negara dengan swasta sejak tahun 1998. Pengelolaan air yang diserahkan kepada swasta telah menjadi praktik perbuatan inkonstitusional yang bertentangan dengan pasal 33 Undang-undang Dasar 1945. Bukan hanya itu, hal ini juga menimbulkan berbagai permasalahan ditengah masyarakat. Pertama, mahalnya tarif air di wilayah DKI Jakarta. Pada awal konsesi, tarif yang dikenakan yaitu Rp1.700/m3. Sebagai dampak dari automatic tariff adjustment policy, perlahan namun pasti tarif yang tercatat pada 2012 menjadi Rp7.020/m3. Tarif ini merupakan tarif air tersebut yang paling mahal di Indonesia. Kedua, ketersediaan air yang rendah. Hal ini ditandai dengan masih banyaknya keluhan pelanggan yang menyebut bahwa baik kualitas maupun pengadaan aliran air masih kurang memadai. Data ketersediaan air bersih yang dirilis oleh PAM Jaya pada tahun 2017 menyebut cakupan pelayanan dan akses terhadap air bersih baru mencapai 60 persen dari total penduduk DKI Jakarta, artinya selama 20 tahun lebih privatisasi air, jumlah penduduk yang terlayani hanya meningkat 15 persen dari kondisi sebelum privatisasi. Ketiga, kerugian negara yang harus ditanggung negara sebagai pengemban kewajiban pemenuhan hak atas air. BPKP DKI Jakarta mencatat kerugian yang diderita PAM Jaya sejak meneken kontrak privatisasi air hingga Desember 2015 mencapai Rp1,4 Triliun. Kerugian tersebut antara lain terjadi karena PAM Jaya harus membayar kewajiban (shortfall) kepada perusahaan swasta sebesar Rp395 miliar dan Rp237,1 miliar. Keempat, kurangnya transparansi dan akuntabilitas. Sampai dengan 2013 dokumen kerjasama antara PAM Jaya dengan korporasi swasta tidak pernah diungkap di publik padahal publik memiliki hak mengetahui setiap perjanjian kerjasama yang dibuat oleh pemerintah dengan pihak swasta dalam pengelolaan barang publik sebagai bagian dari keterbukaan informasi publik. Kelima, beban berlapis bagi perempuan, karena perempuan yang berperan sebagai penyedia air keluarga dan rumah tangga, harus bekerja dan berpikir lebih keras untuk memastikan ketersediaan air. Perempuan juga terpaksa menggunakan air dengan kualitas yang buruk hingga mengakibatkan gangguan kulit dan kesehatan reproduksi. Sedangkan, permasalahan air di Jakarta masih terus dialami warga Jakarta, terutama warga miskin kota, mulai dari tidak adanya akses terhadap layanan air, hingga layanan air yang berbau, keruh, debit air yang keluarpun sangat sedikit, dan di waktu tertentu, dengan tarif yang tinggi. CEDAW dan resolusi Majelis Umum PBB 64/292 menjamin hak atas air dan sanitasi sebagai hak yang mendasar untuk menikmati hak untuk hidup dan kehidupan yang layak. Komentar Umum CEDAW 20 pun mendesak universalitas akses untuk mengatasi diskriminasi, khususnya diskriminasi terhadap perempuan.
Lebih buruk, segala kerugian tersebut nampaknya hendak diteruskan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui kehadiran Keputusan Gubernur Nomor 891 tahun 2020. Padahal, dibandingkan dengan menyerahkan pengelolaan air bersih di DKI Jakarta kepada swasta, ada banyak solusi alternative yang bisa dilakukan oleh Pemerintah, diantaranya pengembalian pengelolaan air kepada Badan Usaha Milik Negara/Daerah atau menyerahkan pengelolaan tersebut langsung kepada masyarakat. Masyarakat secara langsung juga sudah memulai praktik pengelolaan air secara mandiri, sebagai contoh praktik konservasi air yang dilakukan oleh warga Ciliwung Hulu, yang tidak hanya berdampak pada pencegahan banjir, namun juga upaya menampung ketersediaan air bersih.
Berangkat dari permasalahan pengelolaan akibat privatisasi air diatas, tepat di peringatan hari air internasional 2021, Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta (KMMSAJ) membuka pos pengaduan bagi masyarakat DKI Jakarta yang mengalami berbagai permasalahan terkait akses terhadap air bersih, seperti mahalnya harga air, air yang kerap tidak menyala, air yang kotor dan sebagainya. Pengaduan dapat disampaikan melalui link https://docs.google.com/forms/d/1M4raczVENV83sLcOcnmYLiUmGLVq8dh1FU-6X_gdfC4/edit. Pos pengaduan akan dibuka selama 1 bulan, mulai dari 22 Maret 2021 – 21 April 2021. Pos pengaduan ini bertujuan untuk mendorong tanggung jawab pemerintah yang selama ini absen dalam memenuhi hak atas air secara adil dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Seluruh pengadu dalam pos pengaduan ini akan di dorong untuk berpartisipasi dalam upaya pemenuhan hak-nya atas air bersih.