Pada hari ini Kamis 22 Agustus 2013 pada konferensi pers di LBH Jakarta, KSPI – LBH Jakarta bersama ASPEK, SPSMI, FSPPARKES menyatakan sikap menuntut penghapusan outsourcing di BUMN. Konferensi persi dibuka dengan beberapa sharing dari serikat-serikat pekerja outsource yang selama ini hak-haknya tidak dipenuhi dengan layak.
Seperti yang kemudian Andrian Ketua SPOS Jamsostek sampaikan, bahwa pada bulan Oktober dikabarkan bahwa PT. Jamsostek akan mem-PHK pekerja-pekerja outsource di PT. Jamsostek. Rencana PHK ini adalah reaksi dari dikeluarkannya Permenakertrans No. 19 Tahun 2012 dan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 27/PUU-IX/2011, namun sesungguhnya disalahartikan. Yang seharusnya adalah pekerja outsource bukan diPHK, tetapi ditingkatkan statusnya menjadi pekerja tetap.
Lain lagi sharing dari Fahmi Humas SP Pipa Gas Negara dimana pekerja-pekerja outsource yang telah sekian lama bekerja di PT. PGN terus menerus dipekerjakan dengan kontrak yang terus diperbarui dan tidak memberikan kepastian bagi para pekerja. Mirah Sumirah Ketua SPOS PT. Jalan Tol Lingkar Luar Jakarta (PT. JLJ) menyampaikan bahwa ada penyimpangan di PT. JLJ dimana pekerja outsource yang seharusnya diangkat menjadi pegawai tetap tidak diangkat, melainkan PT. JLJ mendapat pengalihan pegawai dari perusahaan induk yaitu PT. Jasa Marga. Adapun sharing dari Ayi (SP Kimia Farma Diagnostik) memperjuangkan statusnya yang hingga saat ini masih merupakan pegawai tidak tetap. Begitu pula sharing dari Triasmoko wakil SP Graha Sarana Duta outsource di PT. Telkom Indonesia. Ia menyampaikan bahwa ada banyak pelanggaran hak pekerja outsource di PT. Telkom seperti pembayaran upah lembur yang tidak penuh, sertifikasi ulang secara paksa, dan terutama status mereka yang seharusnya ditingkatkan menjadi pekerja tetap.
Selanjutnya disampaikan oleh Maruli Tua Rajagukguk Pengacara Publik LBH Jakarta, bahwa dalam permasalahan outsourcing ini, tidak ada alasan pemerintah untuk tidak menghapuskan outsourcing. Sistem outsourcing ini sangat merugikan pekerja, dimana pada sistem ini pekerja diupah di bawah UMP – sebagai akibat “potongan” yang dikenakan terhadap mereka oleh perusahaan penyedia tenaga alih daya. Di sisi lain, pekerja yang dikontrak secara terus menerus tanpa kepastian sangat mudah dilanggar hak-hak normatifnya seperti : hak cuti, diskriminasi upah, dapat diPHK sepihak, dan sebagainya. Sangat disayangkan hal ini didukung oleh tidak adanya transparansi dari pengawas tenaga kerja, bahkan sampai pada tahap memunculkan tren konspirasi mereka dengan pengusaha yang tampak dari tidak ditindaknya para pengusaha nakal. Adapun ketika permasalahan ini dibawa ke polisi atau ranah pidana, karena ketidakpahamannya polisi menganggap hal ini bukan ranah pidana melainkan hubungan industrial – padahal dalam UU tertulis jelas. Banyak tejadi bahwa masalah outsourcing seperti ini diulur-ulur di kepolisian, untuk kemudian dilempar ke dinas tenaga kerja untuk “sekadar” mediasi.
Melihat sistem outsourcing di BUMN, tentu perlu dibedakan dari outsourcing di swasta, karena penyebutan BUMN secara langsung berarti berbicara tentang uang negara. Terkait dengan hal ini, terdapat indikasi korupsi dalam sistem outsourcing di BUMN dimana pada BUMN terkait outsourcing dikerjakan oleh perusahaan penyedia tenaga alih daya yang ditunjuk langsung oleh direksi BUMN – yang ternyata dimiliki oleh mantan-mantan direktur BUMN yang terkait pula. Outsourcing yang termasuk dalam kategori penyediaan barang dan jasa seharusnya di-tender-kan, bukan dengan penunjukan langsung yang sangat rentan dengan Conflict of Interest atau konflik kepentingan.
Disampaikan pula oleh Judy Winarno Sekretaris Umum Serikat Pekerja Elektrik dan Elektronik, pekerja-pekerja outsource di PLN pun seharusnya diangkat menjadi pekerja tetap, karena para pekerja outsource ini bekerja di gardu-gardu induk milik PLN. Hal ini jelas tidak sesuai dengan dalih PLN yang mengatakan bahwa mereka mengalihkan pekerjaan dan bukan mengalihdayakan tenaga kerja, sedangkan pada kenyataannya tenaga kerjalah yang mereka alihdayakan. Oleh karena itu, pekerja outsource PLN menuntut untuk diangkat menjadi pegawai tetap dan disetarakan hak-haknya.
Ditambahkan oleh Sabda Pranawa Djati Sekjen ASPEK yang mewakili 6 sektor outsourcing di BUMN, sistem outsourcing melanggar Pasal 27 ayat (2) UUD 1945. Ia juga menyampaikan bahwa permasalahan outsourcing di BUMN mampu dituntaskan, hanya tidak mau dilakukan pemerintah. Oleh karena itu, ia juga menyampaikan tuntutan untuk mengangkat pekerja outsource menjadi pekerja tetap, untuk mencabut mafia-mafia outsourcing, dan untuk mencabut direktur-direktur BUMN yang tidak mau melaksanakan hal-hal ini.
Konferensi pers ditutup dengan pernyataan Said Iqbal Presiden FSPMI yang menuntut dirut PT. Jamsostek untuk mundur, dan menuntut pengangkatan para pekerja outsource di PT. Jamsostek tanpa syarat/tes. Bahwa ia juga menambahkan, karena uang pada PT. Jamsostek sesungguhnya adalah uang para pekerja, maka para pekerja menolak jika PT. Jamsostek membeli saham bluechip di pasar modal sebelum hak-hak para pekerja outsource ditingkatkan. Jika tidak demikian, lanjutnya, para pekerja akan mengadakan mogok nasional. (HIS/PSDHM)