Hakim Konstitusi meminta agar bukti rekaman yang berisi upaya kriminalisasi terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), diperdengarkan kepada hakim. Hal itu dikatakan dalam sidang lanjutan uji materi Pasal 32 ayat 2 Undang-Undang KPK, mengenai pasal pemberhentian sementara Pimpinan KPK, yang dimohonkan Wakil Ketua nonaktif KPK Bambang Widjojanto.
“Apakah pemohon bisa menghadirkan rekaman itu? Apakah bisa diperdengarkan secara terbuka, atau di dalam rapat majelis, agar hakim dapat mengambil kesimpulan dan menggunakan rekaman sebagai refrensi?” ujar Ketua Majelis Hakim Konstitusi Arief Hidayat, dalam persidangan di Gedung MK, Jakarta, Selasa (23/6/2015).
Sebelumnya, ahli hukum tata negara, Zainal Arifin Mochtar, yang dihadirkan sebagai ahli dalam persidangan, menyebut proses penegakan hukum terhadap pemohon (Bambang Widjojanto) dalam keadaan yang tidak normal. Proses yang tidak normal, diketahui melalui adanya upaya kriminalisasi yang sempat direkam, dan diakui oleh penyidik KPK Novel Baswedan.
Salah satu Hakim Konstitusi, I Dewa Gede Palguna, mengatakan bahwa bukti rekaman tersebut memang dibutuhkan untuk diperdengarkan. Kehadiran KPK dalam persidangan kali ini sebenarnya dibutuhkan untuk mengonfirmasi bukti rekaman yang dimaksud.
“Itu yang kita tunggu, tapi KPK malah tidak datang. Ini seperti magnet plus ketemu plus, antara ada dan tidak (ada) rekaman itu,” kata Palguna.
Sementara itu, Bambang yang diminta untuk menghadirkan rekaman tersebut mengatakan bahwa hal itu bukan lagi menjadi kewenangannya, setelah tidak lagi menjabat sebagai Pimpinan KPK aktif. Bahkan, ia tidak bisa mengonfirmasi keberadaan rekaman tersebut.
“Itu saya serahkan kepada pimpinan KPK saja. Sebenarnya, intensi sekarang sudah cukup menunjukan kriminalisasi itu mudah dilakukan. Buktinya, beberapa hari setelah saya ditangkap, sudah ada surat pemberhentian,” kata Bambang. (kompas.com)