Jakarta, bantuanhukum.or.id-Sidang perdana 26 aktivis korban kriminalisasi yang terdiri dari: 2 Pengacara LBH Jakarta, Tigor dan Obed; 23 buruh; dan 1 mahasiswa dilakukan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (21/03). Pada sidang perdana hari ini Hakim memanggil para terdakwa namun Penasihat Hukum para terdakwa menyatakan para terdakwa secara sadar menolak hadir di ruang persidangan. Para terdakwa menolak hadir ke ruangan sidang dikarenakan surat pemanggilan terdakwa yang dikirimkan oleh Jaksa Penuntut Umum cacat prosedur. Hal tersebut karena Jaksa tidak memenuhi aturan pemanggilan minimal 3 (tiga) hari sebelumnya, dan tidak dijelaskan alasan pemanggilan.
Secara umum sidang berjalan lancar. Sebelum dimulai, kursi penonton sudah penuh sesak diisi oleh buruh, mahasiswa, masyarakat umum, tokoh masyarakat, dan seluruh Pengabdi Bantuan Hukum LBH Jakarta untuk bersolidaritas. Mereka menyanyikan lagu Indonesia Raya sebelum Majelis Hakim masuk dan membuka sidang. Selain dipenuhi oleh masyarakat yang bersolidaritas, Pengadilan juga dipenuhi oleh Polisi. Dua barracuda diparkir tepat di depan pintu masuk pengadilan, bahkan, terlihat personel Polisi yang mengantongi senjata api di dalam Pengadilan.
Di kursi Penasihat Hukum, terdapat 20 orang perwakilan Kuasa Hukum 26 aktivis yang terdiri dari advokat-advokat lintas lembaga yang bersolidaritas, diantaranya: LBH Jakarta, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, dan beberapa kantor advokat lainnya. Dalam Persidangan para Penasihat Hukum menuntut Hakim untuk berperspektif progresif dan mencari keadilan substansial.
Pokok-pokok yang disampaikan Penasihat Hukum selain, cacatnya surat panggilan dari Jaksa Penuntut Umum adalah: bahwa para Terdakwa merupakan korban kriminalisasi; para Terdakwa tidak pernah di BAP sebagai tersangka; para Terdakwa hanya pernah diperiksa satu kali oleh penyidik dan sebagai saksi; para Terdakwa dilindungi oleh hak menyampaikan pendapat di muka umum dan hak imunitas advokat; serta berbagai fakta yang menunjukan indikasi rekayasa kasus dan cacat prosedur.
Selain itu, di dalam persidangan para Penasihat Hukum juga mengkritik Jaksa Penuntut Umum yang terlambat selama 2 jam, sehingga menyebabkan sidang baru dimulai pukul 13.00 WIB. Padahal, buruh harus dipotong upahnya karena tidak bekerja yang disebabkan oleh terlambatnya sidang. Namun semua pernyataan Penasihat Hukum di atas hanya ditanggapi oleh Majelis Hakim bahwa secara prosedural sidang ini bukan forumnya untuk menilai berbagai kecacatan prosedur yang dilakukan Penyidik dan Penuntut Umum.
Namun ketika berbicara mengenai cacatnya prosedur pemanggilan Terdakwa, tiba-tiba Majelis Hakim berubah dan melarang Penasihat Hukum dan Terdakwa untuk menilai hukum secara prosedural. Dan menyatakan, “Jangan kita terlalu prosedural, hadirkan saja terdakwanya ke persidangan.”
Akhirnya, karena surat panggilan kepada Terdakwa melanggar ketentuan Pasal 146 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Majelis Hakim yang diketuai Hakim Suradi memutuskan untuk menunda sidang sampai Senin (28/03), dan memerintahkan kepada Jaksa Penuntut Umum yang diketuai oleh Sugih Carvallo untuk memperbaiki surat panggilan.
Sebagai tambahan, 26 aktivis korban kriminalisasi terdiri dari: 2 Pengacara LBH Jakarta, 23 buruh, dan 1 mahasiswa. Buruh dan mahasiswa dipukuli oleh personel Polri dan dikriminalisasi saat melakukan aksi menolak PP Pengupahan pada 30 Oktober 2015 silam. Pengacara LBH Jakarta, Tigor Gemdita Hutapea dan Obed Sakti Andre Dominika, yang sedang melakukan tugas pendampingan dan advokasi massa aksi, juga ikut dipukuli oleh polisi dan dikriminalisasi. Mereka dikriminalisasi menggunakan pasal karet 216 dan 218 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. (Dema)