Karya Latihan Bantuan Hukum (Kalabahu) 40 kembali digelar LBH Jakarta, Kamis (11/04). Memasuki pekan ke 2 ini para peserta mendapatkan materi tentang Hak dan Perlindungan Pencari Suaka. Materi ini disampaikan oleh Gading Gumilang Putra dari Jesuit Refugee Service (Jrs) yang aktif mengadvokasi hak-hak para pencari suaka.
Dalam materinya Gading menjelaskan tentang setiap orang yang datang ke Indonesia dengan alasan untuk menyelamatkan diri dari bahaya, maka Ia berhak untuk mencari suaka di Indonesia. Hal tersebut diatur dalam Pasal 28 Undang-undang HAM No.39 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak mencari suaka untuk memperoleh perlindungan politik dari negara lain.” Namun, permasalahan tentang pengungsi merupakan permasalahan yang tidak pernah selesai dan terus berlanjut.
Indonesia sebagai negara yang tidak meratifikasi Konvensi 1951 mengenai Status Pengungsi dan Protokol 1967, tidak bisa menolak kedatangan mereka dikarenakan Indonesia merupakan Negara yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia. Dalam prakteknya dikarenakan Indonesia belum meratifikasi konvensi tersebut maka penentuan status pengungsi dilakukan oleh UNHCR (United Nations High Commissioner for Refugees), sebagai lembaga Perserikatan Bangsa-bangsa yang menetapkan status pengungsi kepada seseorang.
Para pencari suaka yang telah terdaftar dapat mengajukan pengakuan status sebagai pengungsi dimana prosedur itu disebut sebagai penentuan status sebagai pengungsi (Refugee Status Determination/RSD). Para Pencari Suaka diwawancarai berkaitan dengan pengajuan mereka untuk mendapatkan perlindungan. Ketika pengajuan untuk mendapatkan perlindungan ditolak, prosedur RSD masih memberikan satu kesempatan lagi untuk mengajukan banding atas keputusan negatif itu.
Permasalahan yang kemudian muncul, seringkali bantuan dan nasihat hukum tidak disediakan untuk para pencari suaka, sehingga banyak keputusan yang diambil malah memberatkan mereka.
“Banyak pencari suaka yang tidak memahami proses yang harus mereka patuhi, terdapat beberapa faktor yaitu kendala bahasa, ketakutan untuk berbicara kepada pihak yang berwenang, efek traumatis yang dialami, ketakutan jika mereka akan dipulang kan ke negara asalnya dan karena mereka tidak mengetahui hak dan tanggung jawab mereka sebagai orang yang mengajukan status sebagai pengungsi,” jelas Gading.
Letak geografis Indonesia yang strategis, menjadi salah satu faktor pendukung bagi para pengungsi dalam perjalanannya menuju Negara penerima suaka seperti Australia dan lainnya. Dengan kedatangan mereka di Indonesia yang tidak meratifikasi Konvensi 1957 dan Protocol 1967, tentu saja menimbulkan permasalahan baru bagi para pencari suaka itu sendiri, yaitu ketidakjelasan status sebagai warga negara dan pastinya sangat rentan terhadap diskriminasi yang dilakukan oleh masyarakat setempat. Gading juga menceritakan bahwa para pencari suaka kerap mendapatkan diskriminasi dan perlakukan tidak menyenangkan dari warga Indonesia sebab mereka hanya melihat tampilan luarnya saja.
“Kurangnya sosialisasi dan pengenalan terhadap pencari suaka menyebabkan para pencari suaka sukar diterima warga setempat karena mereka terlihat mampu karena memiliki handphone misalnya atau karena diberikan makan,” tutup Gading. (Arko)