Upaya ini penting untuk menjamin adanya akses publik menguji proses penyusunan RUU yang sejak awal melanggar prosedur dan asas-asas umum pemerintahan yang baik tanpa harus menunggu pengesahan UU untuk diuji ke Mahkamah Konstitusi.
Pada Jumat 9 April 2021, Para Penggugat Surat Presiden Omnibus Law melalui kuasa hukumnya Tim Advokasi Untuk Demokrasi mengajukan upaya hukum kasasi kepada Mahkamah Agung melalui kepaniteraan PTUN Jakarta. Upaya tersebut ditempuh lantaran Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta (PTTUN Jakarta) melalui Putusan Nomor 9/B/2021/PT.TUN.JKT menolak upaya banding Para Penggugat. Putusan tersebut pada pokoknya menyatakan bahwa peradilan administrasi tidak berwenang mengadili Surat Presiden Omnibus Law lantaran merupakan bagian dari proses legislasi yang kewenangan pengujiannya ada di Mahkamah Konstitusi.
Upaya ini adalah kelanjutan dari gugatan yang dilayangkan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), Merah Johansyah Ismail (Koordinator Jatam) serta Konsorsium Pembaruan Agraria pada 30 April 2020 lalu kepada PTUN Jakarta. Yang menjadi obyek gugatan adalah Surat Presiden yang diterbitkan pada 12 Februari 2020 yang mengakhiri proses penyusunan RUU Cipta Kerja untuk membawa RUU tersebut segera dibahas di DPR RI.
Tindakan tersebut melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik dan ketentuan perundang-undangan. Pasalnya proses penyusunan RUU Cipta kerja oleh pemerintah yang jadi dasar penerbitan surat presiden tersebut dilakukan dalam waktu singkat, tidak transparan, tidak partisipatif dan diskriminatif. Berbagai fakta yang dibuktikan dalam proses persidangan membuktikan hal-hal tersebut yang mengarah pada pelanggaran ketentuan UU Administrasi Pemerintahan dan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Sayangnya pengadilan tidak mempertimbangkan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan tersebut. PTUN Jakarta menyatakan tidak berwenang memeriksa perkara tersebut melalui Putusan Nomor: 97/G/2020/PTUN.JKT pada 19 Oktober 2020 setelah UU Cipta Kerja disahkan. Putusan tersebut kemudian dikuatkan oleh Putusan PTTUN Jakarta yang diberitahukan pada 15 Maret 2021 lalu.
Tim Advokasi bersama Para Penggugat sangat menyayangkan pertimbangan hakim di tingkat pertama dan banding. Pasalnya jika merujuk pada ketentuan UU PTUN,UU Administrasi Pemerintahan dan SEMA No. 4 Tahun 2016, Surat Presiden memenuhi unsur untuk dinyatakan sebagai sebuah Keputusan Tata Usaha Negara yang dapat diuji di Peradilan Administrasi. Unsur tersebut mencakup penetapan tertulis yang diterbitkan pejabat yang berwenang yang menimbulkan akibat hukum bagi masyarakat dan bersifat final. Dalam hal ini, penerbitan Surpres berakibat pada beralihnya tahapan penyusunan RUU menjadi tahapan pembahasan yang bersifat politis di DPR RI. Pelanggaran hak-hak publik dalam proses penyusunan RUU Cipta Kerja di pemerintahan sangat merugikan publik yang berkepentingan dengan proses tersebut.
Selain itu, Tim Advokasi juga menyoroti argumentasi hakim yang keliru menerapkan ketentuan Pasal 5 ayat (1) UUD 1945. Dalam Putusan tingkat pertama, majelis bahkan menggunakan Pasal UUD 1945 yang belum diamandemen yang masih mengatur Presiden RI sebagai pemegang kekuasaan legislasi. Padahal dalam amandemen konstitusi pasca reformasi, kekuasaan legislasi tersebut sudah dilepaskan dari Presiden RI untuk memastikan tidak ada kekuasaan yang berlebihan oleh Presiden RI. Presiden RI pasca reformasi adalah pemegang kekuasaan pemerintahan yang hanya dapat mengusulkan undang-undang. Dasar hukum ini sangat penting menjadi pijakan hakim dalam menolak memeriksa gugatan karena dianggap yang diuji adalah kewenangan legislasi yang hanya dapat diperiksa di Mahkamah Konstitusi. Padahal Presiden RI dalam penerbitan Surpres tetap bertindak sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi yang mana terikat pada aturan hukum dan asas umum pemerintahan yang baik yang harus dapat diuji di peradilan administrasi.
Tim Advokasi dan Para Penggugat dalam pengajuan kasasi ini berharap Mahkamah Agung sebagai puncak dari lembaga peradilan administrasi dapat memutus perkara ini secara imparsial tanpa anasir-anasir politik lain yang kental meliputi persoalan UU Cipta Kerja ini. Segala tindakan pemerintahan sejatinya harus dapat diuji melalui peradilan administrasi sebagai konsekuensi logis dari negara hukum dan demokrasi sebagaimana dinyatakan dalam pertimbangan UU Administrasi Pemerintahan. Tentunya termasuk menguji Surpres Omnibus Law yang penerbitannya cacat prosedur dan melanggar hak masyarakat. Mahkamah Agung harus berani membuat preseden baik untuk menjamin hak masyarakat dalam tahapan-tahapan proses legislasi yang merupakan bagian dari tindakan pemerintahan. Upaya ini penting untuk menjamin adanya akses publik menguji proses penyusunan RUU yang sejak awal melanggar prosedur dan asas-asas umum pemerintahan yang baik tanpa harus menunggu pengesahan UU untuk diuji ke Mahkamah Konstitusi.
Jakarta, 8 April 2021
Hormat Kami
Tim Advokasi Untuk Demokrasi Bersama Para Pengugat Surat Presiden (KPBI, KPA, Merah Johansyah Ismail, YLBHI)