Setelah sidang ditutup, seketika itu pula terbit gagasan penggugat untuk mengajukan banding akan putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pikiran seketika itu muncul usai majelis hakim menolak gugatan warga negara (citizen law suit/CLS) para Pekerja Rumah Tangga (PRT), Selasa (7/2).
“Kami akan mengajukan banding, dan menolak seluruhnya keputusan majelis hakim,” ungkap kuasa hukum penggugat Restaria Hutabarat di PN Pusat.
Restaria melanjutkan bahwa ia dan teman-teman yang tergabung dalam Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) menyesalkan putusan yang dibacakan oleh ketua majelis hakim Herdi Agusten.
Menurut Restaria, majelis tidak mempertimbangkan bukti-bukti yang telah mereka ajukan baik itu program legislasi nasional (Prolegnas) maupun pengalaman PRT dalam negeri dan luar negeri yang merasakan kekerasan.
“Mereka semua menyatakan bahwa ada sejumlah kekerasan yang dialami oleh PRT yang diakibatkan oleh kebijakan dalam negeri yang minim,” tegas Restaria.
Ia pun menilai keputusan ini sebagai sebuah bentuk kemunduran dari lembaga pengadilan yang independen. Meski dalam amar putusannya majelis hakim menyatakan bahwa pengadilan sebagai salah satu lembaga yang memiliki peran untuk mengontrol pemerintah dan DPR, naum dalam praktiknya pengadilan tidak menjalankan dengan baik sebagai lembaga yudisial.
Majelis hakim manyatakan bahwa gugatan penggugat kepada pemerintah terkait pengesahan Rancangan Perundang-undangan PRT dan Pekerja Migran tidak jelas dan kabur. Selain itu majelis hakim juga berpandangan bahwa selama ini pemerintah telah melakukan upaya perlindungan terhadap PRT dan Pekerja Migran.
“Buat kami, pemerintah dan DPR telah lalai menciptakan kebijakan buruh dalam negeri maupun migran,” tutur Restaria.
Koordinasi Aksi Jala, Lita Anggraini menilai bahwa dalam mengambil keputusan majelis hakim tidak melihat proses yang terjadi selama ini. Faktanya, sejak tahun 2004 hingga 2010, pemerintah dan DPR belum memberikan hasil apapun terhadap perlindungan PRT. Ia melanjutkan bahwa selama ini pemerintah hanya berpegang pada apa yang telah ditetapkan, namun tidak melihat apa yang dihasilkan.
“Konvensi PBB tahun 1990 tentang Perlindungan Hak-Hak Pekerja Migran Anggota Keluarganya belum juga diratifikasi oleh pemerintah dan DPR hingga saat ini,” ucap Lita.
Padahal, dalam amar putusannya majelis hakim membenarkan bahwa perlindungan PRT memang dimuat dalam Konvensi PBB Tahun 1990, yang mana sampai saat ini belum diratifikasi oleh pemerintah. Namun dalam pertimbangannya majelis hakim tidak mengabulkan gugatan para penggugat untuk segera meratifikasi Konvensi PBB Tahun 1990 ini.
“Ini menunjukkan bahwa majelis hakim tidak inkonsistensi dalam mempertimbangkan fakta-fakta tersebut dan putusan jadi tidak berimbang,” ungkap Pratiwi Febri . kuasa hukum PRT yang juga tergabung dalam JALA.
Majelis hakim pun membenarkan bahwa pemerintah saat ini sedang menjalani proses pembahasan draft RUU PRT maupun revisi UU No 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri, namun tetap tidak menjadi pertimbangan Majelis hakim dalam memutuskan perkara gugatan warga negara ini.
Sayangnya, hingga saat ini, dari 2004 hingga saat ini RUU PRT ini masih saja dalam proses dan belum diputus oleh pemerintah dan DPR. Maka dari itu, gugatan ini juga merupakan bentuk desakan kepada pemerontah dan DPR agar segera merampungkan RUU PRT karena sudah terlalu lama dibahas.
Sumber: http://www.hukumonline.com