Minggu, 25 November 2018 pagi, kantor Lembaga Bantuan Hukum Jakarta sudah tampak ramai oleh para peserta Karya Latihan Bantuan Hukum (Kalabahu) Buruh. Hari libur ternyata tak mengusik semangat mereka untuk terus mengikuti rangkaian acara Kalabahu Buruh yang pada hari itu telah memasuki sesi ke-7 penyelenggaraannya. Sembari menunggu sesi yang akan berlangsung, mereka terlihat asik membahas tentang gerakan anti korupsi yang akan menjadi pokok materi pada sesi hari itu.
Sesi tentang gerakan anti korupsi ini difasilitasi oleh Yudi Purnomo. Yudi Purnomo merupakan seorang Penyidik Independen dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang juga menjabat sebagai Ketua Wadah Pegawai KPK (WP KPK).
Kepada para peserta Yudi menceritakan perjalanan pemberantasan korupsi di Indonesia. Ia memaparkan bahwa sejak tahun 1967 telah diprakarsai pembentukan Tim Pemberantasan Korupsi (TPK). Sampai pada akhirnya di tahun 2001, terbit Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menjadi landasan lahirnya KPK.
“KPK merupakan sebuah organisasi yang independen, yang dalam perjalanannya banyak sekali menemui rintangan. Ada juga upaya pelemahan-pelemahan terhadap gerakan anti korupsi, salah satunya yaitu adanya kriminalisasi terhadap beberapa anggota KPK. Termasuk kasus Novel Baswedan,” ujar Yudi.
Sejatinya, gerakan buruh tak terlepas dari perjalanan gerakan anti korupsi. Bahkan ketika terjadi upaya pelemahan terhadap KPK, gerakan buruh setia datang untuk turut menemani dan menjaga KPK. Dari kondisi tersebut terlihat bahwa sebuah gerakan bersama akan menjadi sebuah alat untuk terus mendobrak upaya-upaya pelemahan gerakan anti korupsi.
Gerakan buruh sebagai sendi yang harus terus dirawat.
Kondisi permasalahan dan kasus-kasus yang dialami oleh buruh, tak terlepas dari buruknya cerminan sistem sebuah negara untuk aktif menekan dan menghapus kasus-kasus yang dialami oleh kaum buruh. Penyelesaian sengketa dalam ranah perburuhan, pasti bersinggungan dengan aparat penegak hukum mulai dari polisi, jaksa, mediator, hakim, pengacara/penasehat hukum sampai dengan orang-orang yang bekerja dalam instansi pemerintahan seperti Suku Dinas Tenaga Kerja, dsb. Dalam perjalannya, LBH Jakarta merekam bahwa masih banyak terdapat kejanggalan-kejanggalan dalam upaya penanganan kasus-kasus bidang perburuhan.
Di situasi ini, buruh dapat turut aktif untuk memantau dan melaporkan jikalau dalam perjalanan peyelesaian kasus yang dialami terdapat suatu kejanggalan. Dalam konteks ini tentu yang menyangkut dengan instansi pemerintah. Sebab, dewasa ini makin ditemukan modus-modus “korupsi” yang sering terjadi dalam ranah peradilan, diantaranya seperti suap yang menyangkut beberapa hakim dan jaksa. Tak ayal, dari kondisi tersebut dapat membuahkan dampak buruk terhadap buruh yakni banyaknya kasus yang mandeg ataupun mendiator, jaksa sampai hakim yang berpihak terhadap mereka yang memiliki “uang”.
Gerakan buruh dapat diibaratkan seperti rangkaian sendi yang harus terus dirawat supaya organ dapat bekerja dengan baik. Organ ini-lah yang akan bekerjasama dengan organ lain (baca: KPK) untuk terus aktif menekan angka tindak pidana korupsi di Indonesia. Yudi juga menambahkan bahwa KPK terus aktif menerima pengaduan terkait tindak pidana korupsi dari masyarakat. Kemudian juga akan dilakukan konsolidasi terkhususnya dengan gerakan buruh yang menjadi imbas korupsi dengan terenggutnya hak-hak yang mereka miliki.
Kondisi diatas merupakan cerminan kecarut-marutan sistem pemerintahan di negara ini, yang seakan enggan mendukung adanya gerakan anti korupsi. Upaya pelemahan-pun terus mewarnai langkah perjalanan penanggulangan korupsi. Bahkan dikirimkan langsung oleh mereka yang hingga kini masih nyaman bertandang membangun sebuah dinasti. (Ope)