Dimanapun, pengadilan atau lembaga peradilan adalah tempat dimana masyarakat dan pencari keadilan menggantungkan harapan yang sebesar-besarnya untuk mendapatkan keadilan dan menyelesaikan permasalahan yang sedang dihadapinya. Namun pada kenyataannya tidaklah demikian, pengadilan seringkali menjadi tempat yang justru menjauhkan rasa keadilan bagi masyarakat.
Sebagian besar masyarakat mungkin telah mengetahui tentang azas peradilan cepat sederhana dan biaya ringan. Dalam prakteknya azas peradilan tersebut tidak pernah diterapkan, yang terjadi justru sebaliknya dimana proses peradilan tidak sederhana dan memakan waktu yang lama serta biaya yang sangat besar. Mengenai besarnya biaya yang ditimbulkan dari proses pengadilan tidak bisa dilepaskan dari permasalahan korupsi di pengadilan, berdasarkan data TI Indonesia – WJP 2011, LSI menyebutkan bahwa lembaga peradilan masih sebagai lembaga yang terkorup.[1] Dalam esai ini penulis akan membahas tentang pentingnya gerakan advokat anti korupsi dalam korupsi peradilan. Saat ini peradilan di Indonesia tidak lagi menjadi lembaga yang sakral dan bersih, padahal dalam setiap putusan yang dijatuhkan oleh hakim selalu mencantumkan irah-irah Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan demikian dapat dikatakan hakim adalah merupakan wakil Tuhan di dunia karena dia dapat menentukan seseorang bersalah atau tidak yang tentunya akan berakibat pada nasib bahkan nyawa seseorang, bayangkan apabila hakim salah dalam menjatuhkan putusan yang disebabkan karena praktik korupsi peradilan. Praktik Korupsi peradilan sudah terjadi di semua lini, mulai dari proses penyidikan di kepolisian, pra penuntutan di kejaksaan dan sampai pada pengadilan.
Ketika berperkara di pengadilan hal yang paling pertama para advokat lakukan adalah mengurus kelengkapan administrasi persidangan salah satunya pendaftaran surat kuasa untuk mewakili pihak yang berperkara di pengadilan. Untuk tahapan proses ini saja lima Pengadilan Negeri di DKI Jakarta menerapkan tarif “tidak resmi” yang sama dan seragam di kisaran Rp. 100.000,00 (seratus ribu rupiah) padahal jika merujuk pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yakni Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 2008 Tentang Jenis Dan Tarif Atas Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Mahkamah Agung dan Badan Peradilan Yang Berada Di Bawahnya pendaftaran surat kuasa untuk mewakili pihak yang berperkara di pengadilan hanya sebesar Rp. 5.000 (lima ribu rupiah). LBH Jakarta yang biasa memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma (pro bono) kepada mereka yang miskin, buta hukum dan tertindas tidak luput dari sasaran petugas pengadilan yang meminta “upeti” untuk pendaftaran surat kuasa. Namun para pengabdi bantuan hukum LBH Jakarta selalu menanyakan dasar hukum pembayaran biaya pendaftaran surat kuasa dan meminta kwitansi atas pembayaran yang dilakukan, tetapi yang terjadi adalah LBH Jakarta selalu “digratiskan” ketika mau membayar uang sebesar Rp. 5.000 (lima ribu rupiah) sebagaimana yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan, namun kami tetap membayar dan meminta kwitansi dari pembayaran tersebut, dan yang anehnya adalah pihak pengadilan tidak memiliki kwitansi untuk pembayaran pendaftaran surat kuasa.
Modus-modus yang biasa mereka gunakan pada saat melakukan pungutan liar, dengan menerima uang terlebih dahulu baru mereka mendaftarkan surat kuasa dengan cara mencatat dibuku pendaftaran surat kuasa, meminta tanda-tangan kepada panitera muda perdata atau pidana kemudian men-cap/stampel surat kuasa tersebut sebagai tanda surat kuasa tersebut sudah didaftarkan. Praktik semacam ini dianggap sebagai suatu hal yang biasa atau lumrah dan dibenarkan karena telah berlansung sejak lama. Selain itu beberapa modus korupsi peradilan dilakukan dengan cara Pengalihan Tahanan, Negoisasi Putusan, Peniadaan dan Penundaan Eksekusi, Pengaturan Majelis yang favourable penggunaan Jasa Advokat, Pengaburan Perkara, Pembocoran Putusan, Memperlambat Pengiriman Ekstrak/Salinan Vonis, “Surat Sakti”Intervensi, Pemalsuan Vonis, dan sebagainya.
Paradoks yang terjadi ketika pada saat pendaftaran surat kuasa di kepaniteraan Pengadilan Negeri para advokat sangat mudah untuk mengeluarkan uang sebesar Rp. 100.000,00 (seratus ribu rupiah) dan tidak sedikit advokat yang memberikan lebih dengan tujuan mendapat pelayanan yang baik dan kemudahan. Bayangkan dalam sehari saja berapa besar “pemasukan” para petugas di pengadilan terkait dengan pembayaran surat kuasa? Kalau perputaran uang untuk pungli saja minimal Rp. 100.000,00 (seratus ribu rupiah) bagaimana dengan korupsi peradilan yang lain?
Perbuatan semacam ini jelas masuk dalam klasifikasi Pungutan Liar atau Pungli karena : 1. Tidak ada dasar hukumnya karena meminta uang untuk pembayaran PNBP lebih besar dari pada yang ditentukan; 2. Tidak ada bukti tanda penerimaan atas pembayaran sejumlah uang untuk PNBP atau tidak ada kwitansi atas pembayaran yang telah dilakukan.
Secara hukum Pungli merupakan penyalahgunaan kewenangan jabatan karena adanya pemanfaatan jabatan untuk mendapatkan keuntungan ekonomi dengan memanfaatkan sarana Negara untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan masuk dalam kategori korupsi. Untuk Pungli yang dikorupsi memang bukan uang Negara yang dikorupsi melainkan uang masyarakat namun dalam para petugas pengadilan dalam melakukan Pungli menyalahgunakan jabatan dan menjadikan birokrasi sebagai industri maka tidaklah heran jika kualitas penegakan hukum di Indonesia sangat rendah dan jauh dari harapan.
Mendasarkan pada United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) konferensi PBB anti korupsi yang mana Indonesia telah meratifikasinya dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2007 Tentang Ratifikasi Konvensi Anti korupsi yang didalamnya mengatur dan mencantumkan beberapa jenis korupsi salah satunya adalah memperdagangkan pengaruh dan penyalahgunaan jabatan untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Dalam korupsi memang tidak harus ada kerugian Negara namun intinya masyarakat atau publik yang dirugikan.
Langgengnya praktik korupsi di lingkungan pengadilan merupakan andil dari para Advokat juga yang menganggap perbuatan tersebut adalah kebiasaan yang dibenarkan oleh hukum. Advokat atau kuasa hukum adalah orang yang memberikan advis atau nasihat hukum dan melakukan pembelaan atau mewakili klien dalam berhubungan dengan orang lain atau terkait dengan penyelesaian kasus. Advokat dianggap orang yang mengerti hukum dan memahami peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu sungguh ironis jika para advokat sendiri yang justru merusak kewibawaan hukum dengan tetap membudidayakan Korupsi Peradilan. Mengenai Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 2008 Tentang Jenis Dan Tarif Atas Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Mahkamah Agung dan Badan Peradilan Yang Berada Di Bawahnya penulis yakin banyak para Advokat yang mengerti dan memahami aturan tersebut namun sangat sedikit yang menegakannya padahal sesuai fungsinya Advokat bagian dari penegak hukum sama seperti Polisi, Jaksa, dan Hakim. Semangat untuk menciptakan peradilan yang bersih dan jujur harus terus dikembangkan oleh para Advokat, sehingga pengadilan dapat menjadi lembaga dimana masyarakat mendapatkan keadilan dan hal kecil yang sangat mungkin dilakukan adalah tidak lagi membudidayakan Korupsi Pengadilan. Menurut penulis tindakan tersebut sangat mungkin dapat dilakukan oleh para Advokat.
Korupsi Peradilan oleh sebagian Advokat dianggap sebagai hal yang biasa dan wajar dan menjadi kebiasaan dalam setiap menangani perkara. Menghadapi persoalan seperti ini, pemberantasan Korupsi Peradilan atau Mafia Peradilan tidak bisa dilakukan secara sendiri-sendiri. Pemberantasan korupsi peradilan harus dilakukan secara sistematis dan terorganisir dalam bentuk gerakan. Menurut analisis penulis Advokat adalah kalangan yang sangat strategis dalam pemberantasan Korupsi Peradilan, ringannya hukuman yang dijatuhkan terhadap para koruptor tidak dapat dipungkiri merupakan peran dari Advokat yang membela habis-habisan para koruptor. Kondisi semacam ini sungguh sangat ironis karena dalam menjalankan profesinya Advokat hanya berorientasi pada honorarium semata padahal Advokat merupakan Officium Nobile (profesi yang terhormat) dimana dalam menjalankan profesinya dilandasi dengan semangat altruism.
Sudah saatnya Gerakan Advokat Anti Korupsi dibentuk dan dijalankan agar pemberantasan korupsi peradilan dapat efektif. Gerakan Advokat anti korupsi diharapkan akan menjadi wadah agar dalam menjalankan profesinya dapat meninggalkan praktik korupsi peradilan dan juga merupakan jaring pengaman Advokat agar tidak melakukan praktik korupsi peradilan dan menjadi control social yang dapat mengingatkan rekan sejawatnya apabila ingin membela tersangka koruptor, karena sudah saatnya pula para advokat memboikot para tersangka koruptor dan mengenyampingkan sejenak azas praduga tidak bersalah khusus untuk perkara korupsi demi terciptanya suatu peradilan yang jujur, adil dan bersih dari korupsi. Sudah cukup kita melihat para Advokat Senior yang semasa mudanya mengabdikan diri sebagai pengabdi bantuan hukum yang mempunyai visi misi peradilan yang jujur dan bersih dan sekarang membela koruptor.
Disamping itu Gerakan Advokat anti korupsi harus aktif dalam pencegahan terhadap Korupsi Peradilan. Menurut penulis adalah dengan membangun sistem yakni dengan menerapakan transparansi dan keterbukaan setiap jenis pelayanan publik di pengadilan merupakan bentuk pencegahan. Hal lain yang dapat dilakukan adalah dengan cara di buat papan pengumuman mengenai biaya yang harus dibayarkan untuk PNBP di pengadilan tentunya juga peran Advokat agar tidak memanjakan petugas yang melakukan Pungli dengan tidak melakukan pembayaran apapun kecuali pembayaran yang ada aturannya, formal dan ada tanda terima. (Oleh Ahmad Biky, Penulis adalah Lulusan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Sekarang sebagai Pengacara Publik LBH Jakarta Bidang Penanganan Kasus)
[1] Emerson Yuntho, Mencermati Korupsi Peradilan Di Indonesia, Disampaikan pada Karya Latihan Bantuan Hukum (Kalabahu) LBH Jakarta tahun 2012
[box type=”note” align=”aligncenter” ]Disclaimer: Seluruh tulisan dalam rubrik Opini merupakan representasi pribadi penulis sebagai personal dan bukan merupakan representasi dari LBH Jakarta.[/box]