Siaran Pers
Jakarta, 14 Juli 2020 – Gerakan Buruh bersama Rakyat (Gebrak) akan kembali menggelar aksi protes di sejumlah daerah pada Kamis (16/7) untuk mendesak penghentian pembahasan omnibus law RUU Cipta Kerja (Cilaka) yang cacat prosedur dan bermasalah dalam substansi.
Di Jakarta, belasan ribu orang akan mengepung Gedung DPR RI bertepatan dengan Sidang Paripurna DPR,
sementara aksi yang sama akan diadakan di Jawa Barat, Jawa Timur, dan Batam. Protokol kesehatan akan
diterapkan dalam aksi unjuk rasa tersebut untuk menghindari penularan Covid-19.
“Aksi damai ini merupakan peringatan bagi pemerintah dan wakil rakyat agar mendengar dan melihat
penderitaan rakyat yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) dan jadi korban pembiaran perampasan
tanah di mana-mana. Kami ingin pemerintah fokus atasi Covid-19 dan memastikan perlindungan kesejahteraan,
menegakkan keadilan, serta menghormati demokrasi,” ungkap Ketua Umum Konfederasi Kongres Aliansi Buruh
Seluruh Indonesia (KASBI) Nining Elitos. Dia juga mengingatkan aparat tidak berlaku represif dan mengadang
massa yang akan ikut aksi.
Gebrak menyerukan seluruh gerakan rakyat lintas sektor agar juga turut terlibat dalam aksi serentak ini termasuk
kepada kelompok serikat buruh yang bergabung dalam Tim Teknis Omnibus Law RUU Cilaka.
“Tim teknis hanya legitimasi pemerintah untuk memuluskan omnibus law. Buktinya, ada serikat buruh yang
sadar, kembali ke jalan yang benar, dan mundur dari tim teknis. Kami berharap kita dapat bertemu di lapangan
karena kita memiliki musuh yang sama,” kata Sekjen Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI) Damar Panca.
Dalam konferensi pers tersebut, Gebrak menegaskan posisi politiknya menolak keseluruhan klaster dalam
omnibus law RUU Cilaka.
“Kita saksikan pemerintah bersekongkol dengan oligarki melalui sertifikat untuk menjarah sumber daya alam dan
mengobral hidup pekerja serta anak muda yang sering disebut sebagai bonus demografi. Omnibus law bukan
jawaban krisis akibat pandemi namun justru akan memperparah krisis,” ungkap Ketua Serikat Pekerja Media dan
Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI) Ellena Ekarahendy. Teori Trickle-down, menurut dia, tidak bekerja
terlebih data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) ternyata menunjukkan peningkatan investasi
berbanding justru terbalik dengan penurunan penyerapan kerja.
Selain itu, omnibus law yang berwatak patriarkal juga dianggap dirancang untuk menundukkan, menghisap yang
lemah dan tak berkuasa demi melanggengkan kekuasaan. Dalam struktur masyarakat yang patriarkal, RUU ini
akan menyingkirkan perempuan dan meneguhkan ketidakadilan gender. Ia berpotensi mengeksploitasi dan
melemahkan pekerja/buruh perempuan dalam perundingan kerja serta mengancam perempuan atas kedaulatan
pangan. Masyarakat adat, nelayan, dan petani yang terhimpun dalam Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) juga akan terlibat dalam aksi serentak 16 Juli mendatang. “Kami coba menahan diri tapi lima bulan terakhir justru
pemerintah dan korporasi yang justru melanggar Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Sepanjang pandemi ada puluhan konflik agraria terjadi, puluhan petani ditangkap, dan bahkan ada surat ancaman dari PTPN (PT Perkebunan Nusantara) terhadap petani,” terang Sekjen KPA Dewi Kartika.
KPA menilai substansi omnibus law RUU Cilaka melanggar konstitusi termasuk melawan sepuluh keputusan
Mahkamah Konstitusi terkait agraria. “Kesimpulan kami RUU Cilaka merupakan undang-undang yang bukan
hanya liberal tapi juga neoliberal karena hendak menjadikan tanah sebagai benda komoditas untuk dikomersilkan bertentangan dengan Undang-undang Pokok Agraria. Ada motif jahat yang semakin vulgar untuk mengganti Undang-undang Pokok Agraria yang merupakan benteng terakhir petani melalui aturan ini.”
Dukungan terhadap aksi 16 Juli juga disampaikan Persekutuan Gereja Indonesia (PGI) karena menganggap
omnibus law RUU Cilaka sebagai instrumen imperialis dan neokolonialis dalam menaklukan sumber daya alam,
tanah air, dan manusia Indonesia. Untuk menggagalkannya, asosiasi pendeta seluruh Indonesia saat ini sedang
menggalang penolakan terhadap aturan ini di daerah-daerah.
“Yang bisa menyejahterakan Indonesia adalah rakyatnya sendiri. Investor adalah pembantu yang harus kita
kontrol. Tapi omnibus law RUU Cilaka membuat kita dikontrol investasi dan modal asing. Ide tentang Indonesia
sebagai rumah bersama akan kacau dan jadi impian kosong,” tegas Koordinator Komisi Hukum PGI Jhonny
Simanjuntak.
Sementara itu, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Arief Maulana menyampaikan proses advokasi
litigasi juga terus dilakukan dengan menggugat surat perintah Presiden yang menjadi dasar pembahasan omnibus law RUU Cilaka di DPR. “Namun watak tidak transparan dan akuntabel ditunjukkan pemerintah dengan mengulur persidangan. Bahkan dalam persidangan, nampak aparat keamanan diturunkan secara berlebihan yang ini tidak bisa dilepaskan dari peringatan presiden sebelumnya. Ini bentuk intimidasi dan represifitas pemerintah.”
Narahubung:
Nining Elitos
Ilhamsyah