Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan diam-diam kembali melakukan reklamasi di teluk Jakarta. Pada 24 Februari 2020 lalu, Anies menerbitkan Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 237 Tahun 2020 tentang Izin Pelaksanaan Perluasan Kawasan Ancol Timur dan Dunia Fantasi seluas total ± 155 Hektar (“Kepgub 237/2020”). Termasuk ke dalam proyek tersebut adalah perluasan wilayah Ancol seluas ± 20 Ha yang sudah dilakukan. Dalam konsiderans izin pelaksanaan tersebut, diketahui bahwa Anies telah memberikan izin prinsip proyek tersebut pada 24 Mei 2019. PT. Pembangunan Jaya Ancol diminta untuk melengkapi kajian teknis terlebih dahulu seperti Amdal, kajian penanggulangan banjir, pengambilan material, dan beberapa kajian lainnya.
Koalisi menilai penerbitan izin tersebut sarat dengan masalah. Pertama, Pemprov DKI sepertinya berupaya mengelabui publik dengan menerbitkan izin secara diam-diam pada Februari 2020 lalu dan menyatakan bahwa proyek tersebut bukan merupakan reklamasi. Padahal jika merujuk pada ketentuan UU No. 27 Tahun 2007 jo UU No 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (“UU Pesisir dan Pulau Kecil”) perluasan wilayah Ancol dengan mengonversi wilayah laut pesisir menjadi daratan jelas merupakan reklamasi yang diatur dalam peraturan tersebut.
Kedua, Pemprov DKI Jakarta dengan sengaja melanggar ketentuan UU Pesisir dan Pulau Kecil dan juga Peraturan Presiden No 122 Tahun 2012 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Selain tidak memasukkannya sebagai dasar hukum penerbitan izin dalam bagian menimbang, Pemprov DKI juga melanggar ketentuan reklamasi di dalamnya sebab tidak didasarkan pada Perda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K). Karena kesesuaian dengan Perda RZWP3K merupakan syarat untuk dapat terbitnya izin pelaksanaan reklamasi. Karena tiadanya dasar hukum perencanaan ruang tersebut, patut diduga adanya pelanggaran pidana tata ruang sebagaimana diatur dalam Pasal 73 UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang. Sanksi pidana tersebut dapat berupa penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) serta pidana tambahan berupa pemberhentian secara tidak dengan hormat dari jabatannya.
Ketiga, Penerbitan izin juga diduga kuat tidak memenuhi syarat administrasi formil maupun substansial terhadap perlindungan dan pengelolan lingkungan. Beberapa kewajiban persyaratan yang diatur seperti Kajian Lingkungan Hidup Strategis, Dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, Surat Kelayakan Lingkungan Hidup dan Izin Lingkungan ataupun rencana induk reklamasi harus dipenuhi sebelum penerbitan izin pelaksanaan tersebut terbit. Beberapa kewajiban lingkungan tersebut justru baru diamanatkan dalam Kepgub 237/2020 tersebut. Hal ini patut untuk ditindaklanjuti dengan penegakan hukum pidana atas dugaan tidak adanya izin lingkungan dalam kegiatan penimbunan yang telah berjalan sejak 2009 sebagaimana diatur dalam Pasal 109 UU No. 32/2009 tentang Lingkungan Hidup.
Keempat, reklamasi Ancol merupakan bentuk perampasan laut berupa konversi kawasan perairan yang merupakan milik bersama publik menjadi konversi dalam bentuk komersialisasi ruang pesisir yang akan merugikan nelayan tradisional dan merusak lingkungan hidup. Koalisi telah melakukan upaya gugatan terhadap reklamasi Pulau I dan Pulau K atas dasar terganggunya wilayah nelayan karena kawasan tersebut adalah satu kesatuan ekosistem teluk Jakarta. Sudah berkali-kali disampaikan bahwa Reklamasi di teluk Jakarta akan menghilangkan wilayah tangkap nelayan tradisional yang dapat berujung pengurangan pendapatan atau bahkan hilangnya mata pencaharian. Berbagai penelitian juga telah banyak menunjukan dampak buruk reklamasi bagi ekosistem teluk Jakarta. Mengorbankan kepentingan nelayan untuk tujuan komersial di wilayah pesisir jelas bertentangan dengan Putusan MK No. 3 Tahun 2010.
Bagi koalisi, penerbitan izin tersebut kembali menunjukan bahwa Anies melanggar janji kampanyenya membatalkan reklamasi di teluk Jakarta. Dalam kampanye, Anies jelas menyatakan alasannya menolak reklamasi karena merugikan nelayan dan merusak lingkungan. Setelah sebelumnya Anies melanjutkan proyek reklamasi Pulau C, D dan G, kini Anies kembali memberikan izin pelaksanaan dalam proyek yang diakui oleh PT. Pembangunan Jaya Ancol merupakan kelanjutan dari rencana reklamasi Pulau K dan L yang masuk dalam rencana 17 pulau reklamasi di teluk Jakarta. Koalisi juga memandang hasil penimbunan tanah dari pengerukan sedimentasi sebaiknya digunakan untuk penanamanan mangrove dan perbaikan ekosistem mitigasi bencana lainnya. DKI Jakarta terutama Jakarta Utara terancam sebagai wilayah pesisir terancam tenggelam oleh karena penurunan muka tanah dan kenaikan air laut. Dengan pelaksanaan reklamasi ini jelas Pemprov DKI Jakarta tidak melakukan strategi mitigasi bencana pesisir.
Atas dasar tersebut, Koalisi menuntut Gubernur DKI Jakarta untuk segera menghentikan Reklamasi Ancol dengan segera mencabut Kepgub 237/2020. Koalisi juga meminta Anies untuk konsisten dengan janji politiknya dengan tidak melakukan reklamasi di teluk Jakarta dengan dalih apapun dan berkomitmen terhadap pemulihan lingkungan hidup di teluk Jakarta.
14 Juli 2020
Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta