Sebagai salah satu upaya non-litigasi unuk tetap menghidupkan isu penggusuran yang dilakukan oleh PT KAI terhadap pedagang stasiun se-Jabodetabek, LBH Jakarta, Persatuan Pegiat Usaha Stasiun se-Jabodetabek (PERPUSTABEK), bersama Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI) mengadakan “Eksaminasi Putusan nomor 355/PDT.G/PN.JKT.PST dan 338/PDT/2015/PT DKI Atas Gugatan Class Action Pedagang Stasiun se-Jabodetabek” pada tanggal 8 Januari 2015 yang lalu. Acara dihadiri oleh tiga pembicara, yaitu Yuli Indrawati, S.H., LL.M. (dosen keuangan publik FH UI), Bang Bono Budi Priambodo, S.H., M.Sc. (dosen Hukum Lingkungan, dan hukum dasar FH UI), serta Heru Susetyo, S.H., M.H., LL.M., M.Si, Ph.D (doktor dan dosen hukum dan hak asasi manusia FH UI).
Yuli Indrawati sebagai pembicara membenarkan bahwa pada hakikatnya PT. Kereta Api Indonesia (PT. KAI) merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Keberadaan BUMN dimaksudkan untuk menambah pendapatan negara selain dari pajak, PT. KAI sebagai BUMN juga demikian. Namun, PT. KAI tidak sepenuhnya melaksanakan fungsi bisnis, namun PT. KAI juga menjalankan fungsi untuk memenuhi kepentingan umum dalam hal transportasi. PT. KAI dalam menjalankan fungsinya sebagai perpanjangan tangan negara dalam menyelenggarakan transportasi umum mengggunakan tanah negara.
Yuli Indrawati menambahkan bahwa terdapat hubungan antara negara dengan BUMN dalam hal negara sebagai pemangku kepentingan. Presiden sebagai penguasa tertinggi negara menguasakan urusan keuangan negara kepada Menteri Keuangan, yang perihal BUMN diserahkan dari Menteri Keuangan ke Menteri BUMN. Kepentingan negara dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) direpresentasikan oleh Menteri BUMN. Oleh karena yang direpresentasikan oleh Menteri BUMN dalam RUPS adalah kepentingan negara, maka kepentingan rakyat juga harus direpresentasikan oleh Menteri BUMN.
Perihal pengambilan keputusan mengenai aset, RUPS memiliki kewenangan penuh untuk memutuskan. Direksi tidak dapat mengambil keputusan tanpa pertimbangan RUPS. PT. KAI sebagai BUMN untuk mengambil keputusan mengenai pengelolaan aset harus atas pertimbangan RUPS karena negara merupakan pemegang saham terbesar. Negara dalam mengambil pertimbangan juga harus mengambil keputusan yang memberikan keuntungan sebesar-besarnya untuk rakyat, karena pada hakikatnya keuangan BUMN adalah keuangan negara. Harus diingat kembali bahwa tanah yang dikuasai oleh PT. KAI sejatinya merupakan aset negara yang didayagunakan oleh PT. KAI.
Setelah Yuli Indrawati, Bono Budi Priambodo sebagai pembicara selanjutnya memberikan pemaparannya mengenai kasus ini dan kaitannya dengan ekonomi kerakyatan. Beliau menyesalkan bahwa putusan Hakim tersebut merupakan putusan yang tidak mau capek. Upaya pedagang dari awal sudah dipasang tembok, hati nurani dikhianati oleh penegak dan penyelenggara hukum itu sendiri. Dalam tataran teori maka tidak ada yang bisa dipersalahkan, namun tidak dalam tataran praktik yang mana menjadi tantangan dalam penegakan hukum di Indonesia.
Sejatinya tujuan negara ketika Indonesia memproklamirkan kemerdekaanya adalah menunaikan amanat penderitaan rakyat. Soekarno menyatakan bahwa perlawanannya bukan melawan penjajah tetapi melawan penindasan dan penghisapan orang yang kuat terhadap orang yang lemah. Bahkan, Bono Budi Priambodo menyatakan bahwa konstitusi Indonesia memihak pada pihak yang lemah.
Yuli Indrawati menambahkan bahwa banyak kebijakan ekonomi yang justru menindas orang yang lemah. Padahal jelas bahwa salah satu tujuan indonesia dibentuk adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia bukan hanya bagi mereka yang memiliki modal. Beliau juga mengingatkan bahwa saat in, reformasi menghasilkan pembangunan yang tidak hanya menekan kemiskinan, namun juga sekalian menekan orang miskin. Oleh karena itu Reformasi, UUD serta Pancasila perlu untuk dikaji ulang agar kembali ke ruh awalnya.
Heru Susetyo sebagai pembicara selanjutnya juga memberikan pendapat yang tidak jauh berbeda dari Bono Budi Priambodo perihal putusan yang diberikan hakim dalam kasus ini, yaitu putusan ini merupakan tamparan serius bagi keadilan. Tamparan ini dapat terlihat dengan jelas dengan semakin tertekannya rakyat yang lemah. Pengadilan sebagai cerminan aspek legalitas tercoreng akibat putusan ini. Putusan ini dirasa tidak memiliki logika hukum dalam hal pertimbangan hakim mengenai class action yang tidak sejalan dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002.
Heru Susetyo juga menambahkan bahwa di Indonesia pengadilan seringkali membuat legalitas formal (prosedural) menjadi alasan untuk mengabaikan keadilan substantif. Hal ini tentu bertolak belakang dengan progresifitas yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Tentu, permasalahan procedural jangan didahulukan dari keadilan substantif yang harus dicapai.
Pemaparan terakhir dari Heru Susetyo memberikan pernyataan yang sangat jelas bahwa penggusuran ini melukai kemanusiaan dan keadilan. Bahkan, Heru Susetyo menyatakan bahwa penggusuran ini jelas-jelas adalah sebuah pelanggaran HAM di saat Indonesia telah memiliki produk-produk hukum mengenai HAM seperti UU HAM pada tahun 1999 bahkan UUD 1945. Fungsi negara untuk memenuhi, memajukan, menghormati, dan menyediakan HAM tak terafirmasi dalam penggusuran ini lewat hilangnya pekerjaan pedagang stasiun se-Jabodetabek.
Pedagang harus terus berjuang karena perjuangan ini bukan hanya mewakili pedagang tapi seluruh orang yang terpinggirkan oleh struktur ekonomi yang ada sekarang. Seluruh pihak harus saling bekerja sama menjalankan advokasi sosial maupun advokasi hukum, menjamin bahwa perjuangan ini tidak akan berhenti hingga keadilan hadir bagi mereka yang terpinggirkan. (FHUI)