“Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa.”
UNDUH Rapor Merah 2 Tahun Pemerintahan Joko Widodo – Ma’ruf Amin
Kalimat tersebut diucapkan dengan lantang oleh Joko Widodo dalam rangka pengambilan sumpah jabatan sebagai Presiden untuk periode yang kedua. Diucapkan di gedung DPR/MPR pada 20 Oktober 2019, pembacaan lafal sumpah tersebut menandai dimulainya rezim otoritarian. Dua tahun sudah pemerintahan Jokowi-Ma’ruf berjalan, agenda-agenda penguatan demokrasi, anti-korupsi dan pemenuhan hak asasi manusia semakin tergerus oleh kepentingan ekonomi yang dikuasai oligarki. Rangkaian kebijakan-kebijakan bermasalah yang disahkan di era Jokowi-Ma’ruf seperti Omnibus Law Cipta Kerja, penanganan pandemi COVID-19 hingga memaksakan Proyek Strategi Nasional (PSN) ditengah wabah penyakit adalah bukti telah ditungganginya pemerintahan hari ini oleh kekuatan oligarki untuk memperkaya diri dan kelompoknya. Lafal sumpah “memegang teguh Undang-Undang Dasar” yang begitu gamblang menyebutkan pemenuhan hak asasi manusia telah diacuhkan, terbukti dengan terbitnya kebijakan-kebijakan bermasalah.
Jokowi-Ma’ruf memang tidak memiliki rasa kepedulian untuk menciptakan kebijakan yang melindungi korban. Hal ini dikonfirmasi ketika RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) tak kunjung didorong untuk segera dibahas dan disahkan. Belum lagi para pekerja migran yang terus menjadi korban kekerasan akibat tidak adanya komitmen kebijakan negara yang pro terhadap perlindungannya. Padahal Indonesia sebagai negara pihak yang telah mengadopsi Deklarasi Hak Asasi Manusia yang juga melakukan ratifikasi terhadap Kovenan Ekonomi, Sosial, Budaya dan Kovenan Sipil dan Politik, memiliki tanggung jawab untuk menghormati (to respect), melindungi (to protect) dan memenuhi (to fulfil).
Hanya pada pemerintah Jokowi-Ma’ruf, skor indeks persepsi korupsi (IPK) yang dilakukan oleh Transparency International terus mengalami penurunan signifikan. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang sejak awal berdiri konsisten menghadang laju penyelenggara negara dan swasta yang korup, di era Jokowi-Ma’ruf sangat masif dilemahkan. Serangan-serangan yang dilakukan berbagai pihak yang terganggu kepentingannya dibiarkan tanpa pembelaan sedikit pun dari Jokowi-Ma’ruf. Penghujung September lalu, pemecatan sepihak terhadap 57+ Pegawai KPK berprestasi membuktikan bahwa rezim pemerintahan hari ini tak serius menjalankan agenda pemberantasan korupsi.
Alarm tanda bahaya bahwa negara telah dibajak oleh kepentingan kelompok elit pun terus berdengung. Demonstrasi untuk menyuarakan penolakan atas segala perampasan dan pengkerdilan hak-hak warga negara terus bergulir hampir di seluruh penjuru tanah air. Elemen masyarakat sipil mulai dari buruh, tani, akademisi, mahasiswa hingga pelajar bergantian menyesaki jalan protokol hingga gedung-gedung pemerintahan. Alih-alih kritiknya didengarkan dan diterima, demonstrasi damai kerap kali dibalas dengan rentetan aksi kekerasan aparat kepolisian. Hal tersebut menambah daftar panjang kasus pelanggaran sekaligus pemberangusan kebebasan sipil.
LBH Jakarta mencatatnya 13 catatan buruk kinerja pemerintahan selama rezim Jokowi-Ma’ruf. Pertama, kebijakan penanganan Pandemi COVID-19 yang simpang siur. Kedua, masih masifnya penggunaan pasal-pasal karet untuk membungkam kebebasan berekspresi. Ketiga, institusi POLRI digunakan sebagai pelindung kekuasaan yang akhirnya mensegregasi perlindungan terhadap rakyat. Keempat, tidak serius melaksanakan agenda pemberantasan korupsi hingga melemahkan KPK. Kelima, pengesahan Omnibus Law Cipta Kerja merupakan tren buruk dalam penyusunan peraturan perundang-undangan. Keenam, dinyatakan bersalah atas buruknya kualitas udara, Presiden justru naik banding. Ketujuh, minimnya perlindungan hukum dan HAM dalam praktik buruk Pinjaman Online.
Kedelapan, persoalan Papua: dari Otonomi Khusus Jilid II, diskriminasi hingga kriminalisasi terhadap aktivis Papua semakin masif. Kesembilan, mandeknya pembahasan RUU PKS dan RUU PPRT menunjukan pemerintah tidak tegas memberikan perlindungan terhadap warga negara. Kesepuluh, watak buruk pembangunanisme negara yang tertuang dalam Proyek Strategis Nasional (PSN). Kesebelas, minimnya perlindungan negara terhadap pekerja migran di luar negeri. Kedua belas, pepesan kosong janji untuk menuntaskan pelanggaran HAM berat masa lalu. Ketiga belas, gagap dalam melakukan penanggulangan bencana banjir.
Berdasarkan catatan-catatan buruk di atas, LBH Jakarta memandang bahwa Pemerintah Jokowi-Ma’ruf perlu melakukan evaluasi pemerintahan secara besar-besaran untuk meminimalisir dampak pelanggaran HAM pada masyarakat sekaligus menyelamatkan citra rezim pemerintahan dalam catatan sejarah. Adapun untuk itu, LBH Jakarta menuntut agar:
- Pemerintah Indonesia melakukan evaluasi besar-besaran dari hulu ke hilir kebijakan penanganan pandemi COVID-19 secara partisipatif yang melibatkan para pemangku kepentingan dan masyarakat secara luas, termasuk juga evaluasi kebijakan vaksinasi yang telah dilakukan selama ini;
- Pemerintah Indonesia harus menghadirkan suasana yang aman dan nyaman bagi segenap masyarakat Indonesia untuk dapat melangsungkan hak atas kebebasan berekspresinya dan menghadirkan aparat penegak hukum yang demokratis, berperspektif HAM, serta mampu menghargai kebebasan berekspresi;
- Pemerintah Indonesia tidak menggunakan kekuatan POLRI sebagai alat pembungkam kebebasan sipil dan bersama KAPOLRI mendorong reformasi kepolisian sipil dalam organisasi institusi POLRI;
- Pemerintah Indonesia serius melaksanakan agenda pemberantasan korupsi dengan mendorong penguatan kelembagaan KPK, mencabut revisi UU KPK dan bertanggungjawab atas pemecatan sepihak terhadap 57+ pegawai KPK yang dilakukan Firli Bahuri cs;
- Pemerintah Indonesia mencabut UU Cipta Kerja dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) demi melaksanakan amanat UUD 1945 dan penghormatan atas hak asasi manusia;
- Pemerintah Indonesia agar mencabut upaya hukum banding dalam kasus gugatan Citizen Law Suit polusi udara dan segera laksanakan putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat;
- Pemerintah Indonesia bersama Menteri dan Lembaga terkait menerbitkan regulasi yang memenuhi asas-asas pembentukan per-UU-an guna menjamin perlindungan hukum dan hak asasi manusia bagi pengguna jasa aplikasi pinjaman online (peer-to-peer lending), melakukan pengawasan serta penindakan tegas terhadap penyedia jasa pinjaman online;
- Pemerintah Indonesia agar melakukan penundaan/moratorium atas kebijakan Otsus Jilid II Papua, merumuskan ulang kebijakan yang berkeadilan dan partisipatif mengenai masa depan nasib warga Papua, serta merumuskan dan menerapkan kebijakan yang berkeadilan untuk menghapuskan praktik rasisme, diskriminasi, dan kriminalisasi serampangan terhadap Orang Asli Papua;
- Pemerintah Indonesia segera membahas dan mengesahkan RUU PKS dan RUU PPRT bersama DPR RI dengan melibatkan penuh korban kekerasan seksual, PRT, organisasi pendamping dan ahli;
- Pemerintah Indonesia agar mengevaluasi proyek-proyek strategis nasional yang berdampak pada akselerasi praktik pelanggaran hak asasi manusia terhadap warga sekitar yang terdampak khususnya, dan merumuskan ulang kebijakan yang lebih berkeadilan, melindungi hak asasi manusia, partisipatif-demokratis, serta ramah lingkungan;
- Pemerintah Indonesia agar memenuhi hak-hak pekerja, berkoordinasi aktif dalam upaya implementasi pemenuhan hak-hak pekerja, melindungi seluruh pekerja migran dari segala bentuk kekerasan serta vonis hukuman mati;
- Pemerintah Indonesia agar singkirkan dari lingkar kekuasaan serta adili pelaku pelanggaran HAM masa lalu, buka dokumen TPF Kasus Munir ke Publik;
- Pemerintah Indonesia agar serius menanggulangi banjir baik dalam tahap pra, darurat bencana maupun pasca bencana, serta membuka ruang partisipasi seluas-luasnya bagi masyarakat terdampak untuk terlibat dalam upaya penanggulangan bencana banjir secara komprehensif.
Jakarta, 23 Oktober 2021
Hormat Kami
Lembaga Bantuan Hukum Jakarta