Jakarta, LBH Jakarta – Puluhan warga Jalan Pemuda RT 02/ 02 Rawamangun, Kecamatan Pulogadung, Jakarta Timur menggelar unjuk rasa di depan Mapolres Jakarta Timur, Selasa (23/9). Dengan membentangkan spanduk dan poster, warga mendesak pihak kepolisian menghentikan kasus kriminalisasi terhadap 12 warga yang dituding menyerobot tanah seluas sekitar 2.900 meter persegi yang diklaim milik seseorang bernama Wiliam Silitonga.
Warga juga menuntut agar Propam Polres Jakarta Timur memberikan sanksi kepada oknum polisi yang diduga melanggar kode etik karena menetapkan status tersangka kepada 12 warga termasuk warga bernama Samsudin Sar atas kasus dugaan tindak pidana penyerobotan tanah. Warga menganggap penetapan status tersebut tidak berdasar proses penyidikan yang sah karena Samsudin tidak pernah dimintai keterangan sebelumnya.
Hendra Supiatna, Pengacara Pidana dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta yang juga kuasa hukum warga mengatakan, kliennya dituding melakukan tindak pidana penyerobotan lahan oleh seseorang bernama Wiliam Silitonga. Atas tudingan itu, William melaporkan Samsudin dan 11 warga lainnya kepada Polres Jakarta Timur yang menetapkan mereka sebagai tersangka.
“Padahal, tanah yang berupa masjid itu ditempati klien kami sejak tahun 1970 dengan alas hak berdasar Hak Guna Bangunan nomor 1542, 1548,dan 2287 yang diterbitkan kantor pertanahan setempat,” kata Hendra di sela-sela aksi unjuk rasa.
Selain itu, penetapan status tersangka tersebut terasa janggal karena Samsudin dan 11 warga lainnya, kata Hendra, tidak pernah dimintai keterangan sebelumnya. Apalagi, penetapan status tersangka itu tidak berdasar bukti permulaan yang cukup sebagaimana diamanatkan pasal 183 KUHP.
“[Sebanyak] 12 warga ini langsung ditetapkan menjadi tersangka tanpa ada pemeriksaan sebelumnya. Warga juga resah dengan adanya pemanggilan ini,” kata Hendra.
Hendra menyatakan, selain menetapkan tersangka tanpa proses yang jelas, sejumlah oknum polisi itu juga membuat ulah dengan menakut-nakuti warga agar meninggalkan tanah tersebut. Dikatakan, sejumlah anggota kepolisian datang dengan senjata lengkap dan melakukan pengukuran tanah milik warga. Dengan tindakan tersebut, sebanyak 150 keluarga yang menempati lahan merasa cemas dan terintimidasi.
“Sebanyak 150 keluarga menjadi frustasi dan takut karena kehadiran penyidik melakukan pengukuran. Padahal seharusnya tugas dari BPN,” katanya.
Hendra mengapresiasi Propam Polres Jakarta Timur yang memeriksa dan menyidangkan oknum polisi tersebut. Hendra berharap selain mengusut dugaan pelanggaran kode etik, pihak kepolisian juga mengeluarkan surat penghentian penyidikan kasus tersebut atau SP3.
“Kami minta kasus dengan tersangka 12 warga itu di SP3. Selain itu, kami juga mengapresiasi Propam Polres Jakarta Timur yang sudah memeriksa penyidik yang diduga melakukan pelanggaran kode etik,” ungkap Hendra.
Hendra menyatakan, kriminalisasi warga oleh pihak kepolisian seperti yang terjadi pada 12 warga Rawamangun ini hanya satu dari sejumlah kasus serupa. Dikatakan, di Jawa Barat saja, hingga semester I 2014, terdapat 30 anggota kepolisian yang melanggar kode etik.
“Jumlah ini meningkat sebanyak 275 persen dibanding periode yang sama tahun lalu yang tercatat hanya delapan anggota kepolisian yang melanggar kode etik,” kata Hendra. (beritasatu.com)